Para Kiai Selalu Bersama NKRI
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kami mencintai negeri ini karena dalam catatan sejarah para kiai selalu bersama dengan NKRI bahkan sejak sebelum negeri ini merdeka.
Tahun 1936
Saat itu NKRI belum terwujud. Namun para kiai dalam Muktamar NU di Banjarmasin telah memutuskan bahwa negeri ini bukanlah negeri kafir, berdasarkan Fatwa Ulama Yaman:
أَنَّ أَرْضَ بَتَاوِي بَلْ وَغَالِبُ أَرْضِ جَاوَةْ دَارُ اِسْلَامٍ لِاسْتِيْلَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا سَابِقًا قَبْلَ الْكُفَّارِ
Artinya:
“Jadi bisa diketahui bahwa Betawi bahkan kebanyakan Pulau Jawa adalah Negara Islam karena umat Islam telah menguasainya jauh sebelum orang-orang kafir.” (Bughyat al-Mustarsyidin, 254)
Tahun 1945
Setelah Merdeka sekutu hendak menjajah lagi. Pak Karno meminta Fatwa kepada KH Hasyim Asy’ari soal membela negara yang sudah merdeka tapi hendak dijajah lagi.
Apakah membela negara termasuk jihad fi sabilillah dan bukan Ashobiyah?
Ternyata Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menggolongkan sebagai jihad fi sabilillah.
Sebab Ashobiyah adalah membela negara berbuat kezaliman. Mbah Hasyim Asy’ari memiliki dalil sendiri dalam riwayat Imam Ahmad.
Musnid Al-Ashr, Syekh Yasin Al-Fadani. Dalam kitab beliau yang berjudul “Arbaun Al-Buldaniyah”, berisi 40 hadis dari 40 guru di 40 Negara, pada hadis urutan 36 Syekh Yasin menampilkan sanad melalui Hadlratusy Syekh Hasyim Asy’ari:
ﺃﻣﻦ اﻟﻌﺼﺒﻴﺔ ﺃﻥ ﻳﺤﺐ اﻟﺮﺟﻞ ﻗﻮﻣﻪ؟ ﻗﺎﻝ: ” ﻻ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻦ اﻟﻌﺼﺒﻴﺔ ﺃﻥ ﻳﻌﻴﻦ اﻟﺮﺟﻞ ﻗﻮﻣﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻈﻠﻢ “
Artinya:
“Apakah seseorang yang mencintai kaumnya termasuk ashobiyah?” Nabi menjawab: “Bukan. Ashobiyah adalah seseorang membantu kaumnya untuk berbuat kezaliman.”
Tahun 1955
Ada upaya dari sebagian kelompok muslim yang tidak mengesahkan Pak Karno sebagai presiden.
Untuk kemaslahatan yang lebih besar yakni Indonesia dalam keadaan aman dan damai, para kiai di Muktamar NU Surabaya, 1954, menetapkan bahwa Pak Karno adalah pemimpin yang sah karena telah dipilih oleh perwakilan rakyat dan memiliki kekuatan.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih:
(ﻓﺈﻥ ﺗﻌﺬﺭ ﺟﻤﻊ ﻫﺬﻩ اﻟﺸﺮﻭﻁ) ﻓﻲ ﺭﺟﻞ (ﻓﻮﻟﻰ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﻟﻪ ﺷﻮﻛﺔ ﻓﺎﺳﻘﺎ ﺃﻭ ﻣﻘﻠﺪا ﻧﻔﺬ) ﺑﺎﻟﻤﻌﺠﻤﺔ (ﻗﻀﺎﺅﻩ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ) ﻟﺌﻼ ﺗﺘﻌﻄﻞ ﻣﺼﺎﻟﺢ اﻟﻨﺎﺱ
Artinya:
“Jika syarat-syarat menjadi pemimpin sulit ditemukan dalam diri seseorang lalu ada yang menjadi penguasa karena kekuatan, baik orang fasik atau orang yang taqlid, maka keputusannya berlaku karena darurat. Supaya tidak ada kekosongan dalam kemaslahatan penduduknya.” (Qulyubi, 4/298)
Tahun 1965
Ketika terjadi gerakan PKI sudah pasti para Kiai bersama dengan NKRI.
Tahun 1984
Di masa itu Pak Harto menerapkan Asas Tunggal Pancasila. Ternyata beberapa Kiai awalnya ada yang menerima dan menolak.
Tetapi pada akhirnya di Munas Alim Ulama Situbondo para kiai menerima Pancasila.
Karena Pancasila bukan Agama dan selamanya tidak akan menggantikan Agama. Pancasila adalah falsafah hidup bernegara.
Tahun 1998
Orde Baru berakhir dan memasuki masa reformasi. Usulan tentang dasar negara pun bermunculan.
Ada yang mengusulkan Syariat Islam, negara federal dan sebagainya. Namun para kiai tetap berdiri bersama pilihan mayoritas masyarakat Indonesia.
Karena soal sistem bernegara apapun namanya yang terpenting umat Islam bisa menjalankan ajaran Islam tanpa dihalangi oleh negara.
Syaikhul Azhar, Syekh Jad Al-Haq, menjelaskan:
اﻟﺨﻼﻓﺔ ﻭاﻹﻣﺎﺭﺓ ﻭاﻟﻮﻻﻳﺔ ﻭﺭﺋﺎﺳﺔ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭﻳﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ اﻷﺳﻤﺎء ﻣﺠﺮﺩ اﺻﻄﻼﺣﺎﺕ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ ﺭﺳﻢ اﻟﺪﻳﻦ ﻭﻻ ﻣﻦ ﺣﻜﻤﻪ
Artinya:
“Kekhilafahan, keamiran, kewilayahan, kepresidenan dan nama lainnya ada sekedar istilah, bukan bagian dari terminologi agama dan hukum agama.”
Hingga 78 tahun kemerdekaan kami akan mengikuti jejak para kiai kami dan tidak mau menjadi pengkhianat pertama dalam sejarah para santri. []