Panglima Soedirman, Bapak TNI yang Lahir dari Rahim Muhammadiyah

 Panglima Soedirman, Bapak TNI yang Lahir dari Rahim Muhammadiyah

HIDAYATUNA.COM – Jendral Besar TNI yang mendapat julukan Bapak TNI tak lain adalah Jendral Soedirman, beliau adalah salah satu kader terbaik Muhammadiyah. Panglima Besar Jendral Soedirman adalah pemimpin perang kemerdekaan ketika para pemimpin sipil Indonesia menyerah ditawan Belanda. Ia melakukan perlawanan terhadap berbagai serangan yang dilakukan tentara Belanda yang ingin menancapkan kembali kekuasannya di Indonesia melalui perang gerilya.

Lahir pada 1916 di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Soedirman lahir dari pasangan Kartawiraja dan Siyem. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga priyayi yang agamis. Bapak angkatnya adalah Raden Cokrosunaryo yang merupakan kakak ipar dari ayahnya. Selain mengenyam pendidikan formal, Soedirman kecil juga dikirim untuk belajar mengaji ilmu agama pada KH Qahar di surau tidak jauh dari rumah keluargnya.

Sebagai anak seorang pejabat, Soedirman bisa bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Gubermen atau HIS Negeri. Sekolah ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak keturunan priyayi, pejabat dan Belanda. Ketika belajar di HIS, Soedirman bukan termasuk murid yang menonjol ataupun malas. Ia tidak pandai juga tidak bodoh. Ketika naik ke kelas lima, Soedirman mulai mengalami perlakuan kasar dari teman-temannya yang mengejek dirinya. Karena sering diejek, ia meminta orang tuanya untuk pindah ke sekolah HIS Taman Siswa.

Belum genap satu tahun, sekolah HIS Taman Siswa terpaksa ditutup karena kekurangan dana. Kemudian, orang tuanya membawanya kembali ke sekolah HIS Gubermen, akan tetapi ia tidak bisa diterima kembali sehingga pada akhirnya ia dimasukkan ke Sekolah Wiworotomo Cilacap. Lulus dari Wiworotomo, ia masuk ke sekolah Taman Dewasa hingga kelas dua.

Soedirman kemudian harus pindah karena sekolah tersebut ditutup atas tekanan pemerintah kolonial. Kemudian, oleh gurunya yang bernama R Sumirat Danudiporo, Soedirman disarankan untuk pindah ke MULO Wiworotomo. Di lingkungan sekolah inilah, Soedirman berkembang dengan cepat dan tampak lebih menonjol dibandingkan saat ia berekolah di HIS Pemerintah.

Cara berpikirnya yang sudah matang dan dewasa, menjadikannya sering dpercaya untuk memimpin dan mengorganisasi penyelenggaraan sebuah kegiatan yang diadakan di sekolah. Selain itu, ia juga sering membimbing atau mengajarkan teman-temannya sehingga dijuluki sebagai “guru kecil” atau pembantu guru.

Di MULO Wiworotomo ini, bibit nasionalisme dan sentimen anti penjajah tumbuh dalam diri Soedirman. Ada tiga guru di Wiworotomo yang sangat berpengaruh bagi Soedirman. Yang pertama adalah R. Sumoyo, seorang tokoh yang memberinya pemahaman tentang pergerakan nasional. Guru yang kedua adalah R. Suwarjo Tirtosupono, alumni Akademi Militer Breda Belanda yang tidak bersedia menjadi seorang tentara KNIL dan memilih menjadi seorang penggerak.

Guru yang ketiga adalah R. Moh. Kholil, seorang tokoh Muhammadiyah yang ahli dalam bidang keislaman, yang memberikan pendidikan kepadanya tentang ajaran dan nilai-nilai kebaikan yang berlandaskan cara pandang sebagai manusia yang beragama dan taat perintah Tuhan. Di sekolah ini juga, Soedirman dapat menyalurkan kegemarannya dalam berorganisasi. Ia pun aktif dalam berbagai organisasi seperti Ikatan Pelajar Wiworotomo dan Hizbul Wathan.

Seusai tamat dari MULO Wiworotomo, Soedirman masuk ke sekolah guru, yaitu HIS Muhammadiyah Solo. Perguruan Muhammadiyah kemudian dipilih Soedirman sebagai tempat untuk melanjutkan studinya karena minatnya yang besar di bidang agama.

Saat usianya 18 tahun, ia memutuskan untuk bekerja karena saat itu ayah angkatnya Raden Cokrosunaryo meninggal dunia dan tidak ada lagi yang membiayai sekolahnya. Ia kemudian melamar untuk menjadi guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap. Sudirman kemudian menjadi guru, walaupun secara formal ia bukan lulusan dari pendidikan guru dan tidak memiliki ijazah, namun kemauan dan kemampuan serta keterampilannya sebagai guru dapat diperhitungkan.

Sebagai guru, Soedirman selalu menjalin hubungan yang baik sesama teman sejawatnya, menaati peratuan sekolah dan hormat kepada pimpinan. Ia juga seseorang yang jujur dan mudah bergaul serta bukan tipe yang pemarah. Oleh karena itu, wajar apabila ia disegani dan menjadi contoh bagi guru-guru yang lain. Alasan itulah yang kemudian mengantarkan Soedirman untuk menjadi kepala sekolah HIS Muhammadiyah Cilacap.

Ketika Jepang datang ke Indonesia pada Oktober 1943, Sudirman masih menjabat sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. Ia kemudian memulai karir militernya dengan bergabung di angkatan PETA (Pembela Tanah Air). Ia mengikuti latihan komandan PETA pada 1944. Ia dilatih untuk menjadi Daidancho PETA atau Komandan Batalyon yang mana lokasi pelatihannya ada di Bogor. Selesai latihan, Soedirman kemudian diangkat menjadi Komandan Batalyon PETA di Kroya.

Soedirman kemudian membuat suatu resiman “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) dan ia sendiri yang menjadi pemimpinnya. Ia kemudian menjadi komandan resimen I/ dvisi I. Salah satu pencapaian Soedirman selama memimpin resimennya adalah kebehasilannya dalam merebut gudang senjata milik Jepang, yang kemudian oleh Letnan Jendral R. Oerip Soemohardjo, Kepala Staf Markas Besar Umum TKR, ia diangkat menjadi panglima divisi V/ daerah Banyumas.

Karir militernya melesat dengan cepat. Pada 12 November 1945, para panglima Divisi Komandan Renzim mempercayakannya menjadi Panglima Besar melalui suatu pemilihan. Setelah berhasil menggempur dan menghalau tentara Inggris di Palagan Ambarawa, Soedirman kemudian diangkat dan dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia dengan berpangkat Jendral pada 18 Desember 1945.

Soedirman adalah seorang prajurit muslim yang taat. Nilai-nilai keagamaan tampaknya berakar kuat dalam dirinya. Disekolah, ia pun mendapat julukan kaji  atau haji karena kesalehannya dan ketaatannya dalam beribadah. Ia pun rajin mengikuti pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah agama di berbagai tempat. Bahkan, Soedirman sendiri mulai memberikan ceramah agama di lingkungan kawan-kawan pemuda atau lingkungan anak-anak di suatu wilayah di sekitar tempat tinggalnya. Hingga kemudian Soedirman dikenal sebagai da’i kondang di wilayah Kedu dan Banyumas.

Kepiawaiannya dalam berdakwah memang tidak dapat dilepaskan dari pemahamannya tentang kemuhammadiyahan yang cukup kental dan keislamannya yang cukup mendalam. Sebagai kader Muhammadiyah yang cukup mendalami Islam, Soedirman juga seorang juru Dakwah yang handal.

Soedirman dikaruniai sembilan orang anak, dua diantaranya meninggal dunia sewaktu zaman penjajahan Jepang, enam putera dan satu putri dari hasil pernikahannya dengan Siti Alfiah pada 1936.

Selama menjadi Panglima Besar, Soedirman memiliki pengaruh yang sangat besar dalam terciptanya religiusitas di kalangan Tentara Nasional Indonesia. Dalam hal ini pengaruh panglima muda ini dilihat dalam dua hal. Pertama, pengaruhnya secara institusional. Pengaruh pemikiran dan prinsip keberagamaannya dalam merumuskan Etika Keprajuritan dan pembentukan institusi pembinaan mental di lingkungan TNI. Kedua, pengaruh secara personal. Sikap keberagamaan yang dimiliki oleh Soedirman menjadi suri tauladan atau contoh bagi seluruh anggota TNI dan masyarakat.

Pada pembentukan institusi atau lembaga pembinaan mental di lingkungan TNI, Soedirman membentuk Pejabat Pendidikan Keagamaan Tentara untuk kesatuan di Pulau Sumatera, ayng kemudian berubah namanya menjadi Bagian Urusan Agama pada Staf Kementrian Pertahanan RI (1949). Setahun kemudian, Badan Urusan Agama berubah menjadi Dinas Agama dan akhirnya berubah menjadi Dinas Pembinaan Mental Angakatan Darat pada 20 September 1976.Panglima Jendral Soedirman kemudian dinobatkan sebagai Bapak TNI dalam bidang pembinaan mental di kalangan TNI. Jendral muda ini meninggal pada 29 Januari 1950 di usia 34 tahun karena penyakit tubercolosis yang dideritanya. Bapak TNI dan Jendral Besar ini dimakamkan di Yogyakarta.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *