Panduan Menjadi “Budak Cinta” yang Rahmatalil’alamin

 Panduan Menjadi “Budak Cinta” yang Rahmatalil’alamin

Apa itu Ketulusan Cinta dalam Pandangan Islam? (Ilustrasi/Freepik)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tulisan ini lahir dari sebuah karya seorang kiai yang juga juragan café di kota Jogja. Karya yang cukup renyah dinikmati oleh kaum muda yang ingin belajar agama. Bucin merupakan singkatan dari “budak cinta” yang sedang tren di kalangan anak muda di era sekarang.

Julukan budak cinta ini sering dilontarkan untuk orang-orang yang hidupnya sedikit-sedikit berkaitan dengan cinta, seperti galau karna cinta juga bisa di sebut dengan bucin.

Istilah budak cinta tersebut tentunya sudah tidak asing di telinga muda-mudi dan orang-orang yang mengikuti tren hari ini

Buku menarik dan nyentrik mengenai kisah bucin Citi dan Cito yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu telah rilis di tengah pandemi April kemarin.

Kisah-kisah percintaan mereka yang di jadikan ilustrasi pada setiap kaidah ushul fiqh dalam bukunya yang bertajuk Belajar Ushul Fiqh ala Bucin menjadi menarik sekali untuk dibaca para kaum muda.

Judulnya yang tidak kalah menggelitik juga membuat saya pribadi melahap habis buku tersebut.

Buku tersebut disajikan dengan menyenangkan dan sederhana. Bagimana tidak menyenangkan, buku ini menggunakan bahasa yang ringan, penuh canda, tetapi jelas dan tuntas dalam hal penyampaian.

Memang belajar kaidah ushul fiqh tidak mudah, tetapi buku ingin cukup meringankan beban berat dalam belajar kaidah ushul fiqh.

Secara garis besar buku ini memang membawa para pembacanya untuk memahami kaidah-kaidah yang ada dalam ushul fiqh.

Kitab Al Fawaid al-Janiyah karya Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dan kitab ‘Ilm Ushul al-Fiqh adalah kitab rujukan yang digunakan untuk menyusun buku ini.

Sehingga tidak perlu ragu akan kualitas ilmu yang disampaikan dalam buku ini.

Buku ini detail menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip, seperti penjelasan apa itu syariat, fikih dan ushul fiqh.

Hal-hal yang tampaknya rumit untuk dipahami ternyata disajikan oleh buku ini dengan ringan dan penuh ketwa-ketiwi.

Kaidah ushul fiqh yang berjumlah 53 ini juga dibumbui dengan ilustrasi kisah-kisah dua anak muda yang sedang merasakan bara asmara yaitu Cito dan Citi.

Sehingga kebucinan cito dan citi sangat befaedah, sebab kisahnya yang dapat dijadikan penjelasan di setiap kaidah fiqh.

Selain esensi buku yang luar biasa, pesan kasih sayang juga melekat kuat dalam buku tersebut.

Bedasarkan pada konsep rahmatallil ‘alamin dari Profesor Abudin yang pernah di sampaikan dalam kuliah tamu pada 2016 silam di UIN Maulana Malik Ibrahim.

Bahwasanya rahmatalil’alamin adalah memahami Al-Qur’an dan Hadis untuk kebaikan semua manusia, alam dan lingkungan.

Nabi Muhammad membawa Islam dengan penuh kasih sayang untuk semua, baik manusia tumbuhan, binatang dan dunia seisinya.

Konsep saling menyayangi sesama juga pernah disampaikan melalui perkataan Nabi Saw bahwasanya:

“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahman. Rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit.” (HR. Abu Dawud no 4941 dan At-Tirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)

Dua penjelasan tersebut mengantarkan kita pada pentingnya menyayangi semua ciptaan Allah, termasuk pada sesama manusia.

Pesan kasih sayang juga tersaji dalam buku tersebut karya penulis yang sering di sapa dengan Pak Kyai Edi oleh followers di media sosialnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis akan menjabarkan dimana posisi pesan kasih sayang hadir dalam buku ini.

Pertama, Pak Kyai Edi sebagai penulis menjelaskan apa itu syariat, fikih, dan ushul fiqh sebagai prinsip dalam lingkungan pembelajaran ilmu kaidah ushul fiqh yang bertujuan untuk menciptakan keluwesan, legawa, dan lapang hati.

Tujuan tersebut merujuk pada terciptanya sikap yang tenang dan adem dalam menghadapi perbedaan yang terjadi di anatar umat manusia, justru perbedaan akan diartikan sebagai kenikmatan yang perlu disyukuri.

Melalui upaya tersebut tidak lain akan menyurutkan suasana panas sebab pertentangan karena perbedaan, dan akan menciptakan suasana damai yang begitu menyejukan dengan keharmonisan.

Kedua, pada buku tersebut ada satu bab yang berjudul Menuju kepada Derajat Jiwa yang Tenang (Al-Nafsu Mutmainnah).

Dalam satu bab tersebut Pak Kyai Edi menjelaskan mengenai khittah kemajemukan pemahaman yang perlu kita terima dengan lapang dada dan gembira serta sebagai ladang untuk belajar.

Sehingga hal tersebut menjadi bukti bahwa pertentangan, menyalahkan satu sama lain, serta merasa paling benar lalu alih-alih menggunakan dalil-dalil guna menguatkan membenarkan diri sendiri adalah hal yang tidak memiliki manfaat sama sekali untuk dipelihara dalam diri setiap manusia, serta hal tersebut yang dapat mengikis rasa saling menyayangi pada diri kita.

Ketiga, dari seluruh penjabaran mengenai kaidah ushul fiqh yang ada dalam buku tersebut memiliki ajakan yang sangat masif pada pembacanya untuk berislam yang menyenangkan dan menggembirakan.

Selain itu, gaya Kyai Edi yang penuh ketawadhu’an juga memberikan pembelajaran pada pembacanya untuk menjadi orang yang berilmu, menyejukan serta merangkul semua kalangan.

Dari ketiga uraian yang penulis sampaikan tentu masih banyak hal-hal penting lainnya yang belum bisa tertulis dalam tulisan ini.

Sekali lagi, buku bergaya seperti buku Belajar Ushul Fiqh ala Bucin ini  sangat recomended dikonsumsi bagi para kaum milenial.

Selain maknanya yang mudah dipahami, suasana segar dan sejuk dengan kasih sayang dan kedamaian juga menyelimuti buku tersebut.

Semoga kita senantiasa selalu mendapatakan hikmah dari berbagai hal dan bisa menyampaikan hal-hal baik untuk sekitar kita.

Wallahua’lam. []

Khoniq Nur Afiah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *