Pandangan Islam Terkait Aborsi bagi Korban Kekerasan Seksual
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Praktik aborsi kini seakan sudah menjadi rahasia umum, rahasia tetapi khalayak juga tahu sama tahu. Terutama dengan semakin meluasnya pergaulan bebas serta prostitusi.
Juga dengan semakin meningkatnya kasus-kasus kehamilan di luar nikah dan berbagai alasan lainnya.
Aborsi atau menggugurkan kandungan menjadi solusi bagi sebagian perempuan untuk menghilangkan aib.
Pada dasarnya Islam melarang perbuatan aborsi. Termasuk aborsi yang dilakukan akibat perbuatan zina atau seks bebas.
Pelakunya termasuk dalam kategori melakukan dosa besar karena membunuh tanpa hak. KUHP juga mengkategorikan aborsi yang demikian sebagai tindakan pidana.
Dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 151 dikatakan:
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُم مِّنْ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,
dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
Berdasarkan ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa Allah melarang adanya pembunuhan (mengakhiri) kehidupan manusia.
Kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar. Dalam hal ini aborsi merupakan bentuk pembunuhan terhadap bayi yang dikandungnya.
Mengenai batas waktu keharaman aborsi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Al-Ghazali dan mayoritas ulama Malikiyah, aborsi diharamkan sejak terjadinya pembuahan.
Bahkan merupakan dosa besar karena menurutnya awal kehidupan manusia dimulai sejak janin tersebut ada dalam rahim.
Sementara itu, Madzhab Syafi’i dan Hambali pada umumnya berpendapat bahwa aborsi sebelum janin berusia 40 hari sejak pembuahan, tidak masuk dalam kategori pembunuhan karena ia belum bernyawa.
Sedangkan menurut pendapat ulama Hanafi, aborsi sebelum 120 hari bukan termasuk pembunuhan manusia karena ruh belum ditiupkan.
Lalu, bagaimana aborsi yang dilakukan oleh perempuan korban kekerasan seksual (perkosaan) yang tidak mengharapkan adanya kehamilan?
Kekerasan Seksual, Kehamilan Tak Diinginkan dan Derita Korban
Pemerkosaan yang terjadi selain dapat merusak mental dari korban, ternyata faktanya dapat menimbulkan trauma yang mendalam dan sulit untuk dipulihkan.
Selain itu, ketika di rahimnya tumbuh janin akibat perkosaan, bukan rasa sayang yang muncul melainkan penderitaan, kebencian, dan trauma yang mendalam.
Korban tidak bisa menerima kehamilan akibat perbuatan yang sama sekali tidak diinginkan.
Jika terjadi pada korban yang masih berusia anak-anak atau remaja maka akan menghambat pendidikan, karir, dan masa depannya.
Kemudian stigma masyarakat yang memandang bahwa korban perkosaan adalah perempuan hina. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan.
Pandangan tersebut membuat masyarakat memberi label bahwa ia sengaja menggoda dan menantang laki-laki dengan berpakaian ketat, berdandan menor, dan sebagainya yang sengaja mengundang nafsu birahi para lelaki.
Jika kehamilan tetap dipertahankan, hal tersebut dapat berdampak buruk pada anak akibat keluarga dan masyarakat yang tidak menerima kehadirannya.
Anak tersebut akan hidup dalam stigma anak haram dan dikucilkan serta mendapat diskriminasi.
Perlakuan tersebut sangat tidak adil bagi korban karena hanya memperburuk beban psikologis dan sosial bagi ibu serta anaknya.
Hukum Islam Hadir untuk Kemaslahatan Umat
Dalam kaidah pembentukan hukum Islam, ditegaskan bahwa tujuan utama pembentukan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) adalah mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dengan mendatangkan kesejahteraan dan menjauhkan bahaya dalam kehidupan mereka.
Kemaslahatan manusia itu dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).
Fikih dalam hal ini harus berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi perempuan.
Sebagaimana K.H. Sahal Mahfudz dalam bukunya Fiqih Sosial yang menyatakan fiqih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syariat Islam.
Jika dikaitkan dengan aborsi bagi korban kekerasan seksual, maka harus diperhatikan sisi kemaslahatan dan bahaya bagi korbannya. Karena hukum islam mengatakan demikian.
Kapan Aborsi Diperbolehkan?
Dari penjelasan di atas, aborsi boleh dilakukan jika terjadi kondisi yang membahayakan untuk menyelamatkan sang ibu.
Baik disebabkan faktor fisik maupun psikis dan sosial sebagaimana dialami oleh para korban pemerkosaan.
Jika ditinjau dari hukum syara’, batasan yang dianggap membahayakan harus mengacu pada kondisi yang dapat mengancam lima hal, yaitu menjaga agama (hifdz al diin), menjaga jiwa (hifdz al nafs), menjaga akal (hifdz al ‘aql), menjaga keturunan (hifdz al nasl), dan menjaga harta (hifdz al maal).
Dalam hal ini, aborsi yang dilakukan oleh korban kekerasan seksual sehingga terjadi kehamilan merupakan upaya menjaga akal (hifdz al ‘aql).
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ketika kehamilan tetap dipertahankan, korban akan mengalami trauma berkepanjangan.
Argumentasi lainnya yakni jika kita melihat pada kaidah fikih maka akan ditemukan:
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (dihaharamkan).”
“Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
Dalam hal ini, ketika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka dapat memilih salah satu kondisi yang tingkat bahayanya paling ringan.
Idzaat’aaradhat al-mafsadataani ruu’iya a’dzamuhuma dhararan
Artinya:
“Apabila bertemu dua mafsadat maka yang lebih besar kemudharatannya harus diutamakan dengan mengorbankan yang lebih ringan kemudharatannya.”
Secara syariat sangat jelas bahwa apapun yang dapat mengancam kebinasaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (ad-dlaruuriyyat al-Khamsah) disebut darurat.
Artinya, segala situasi dan kondisi apapun yang dapat mengantarkan atau mengakibatkan pada rusaknya lima perkara tersebut dapat dilakukan meskipun harus bertentangan dengan hal-hal yang dalam situasi normal dilarang, misalnya memakan sesuatu yang diharamkan untuk obat diperbolehkan.
Namun pemahaman-pemahaman mengenai batasan bahaya (dlarurat) tersebut dalam hal aborsi seringkali terjebak pada ukuran-ukuran fisik, padahal dalam konteks manusia antara fisik dan psikis itu tidak dapat dipisahkan.
Seseorang yang kondisi fisiknya sehat belum tentu secara psikis sehat, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, faktor fisik dan psikis tidak dapat dipisahkan, keduanya harus menjadi ukuran dalam mempertimbangkan bahaya atau tidaknya seseorang.
Termasuk di dalamnya seluruh situasi dan kondisi yang menjadi latar belakang, perantara atau penyebab yang mengantarkan (washilah) terjadinya kondisi darurat menjadi bagian yang juga harus dianalisa dalam menetapkan hukum.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagai dasar pembentukan hukum tidak dapat dipisahkan dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan terhadap ibunya.
Karena ibu merupakan induk (al-ashl) dari janin sehingga harus dipertahankan dan harus dilindungi.
Ibu telah memiliki tanggung jawab kemanusiaan terhadap keluarganya maupun masyarakatnya.
Sementara janin belum memiliki tanggung jawab apapun. Didukung dengan kaidah fikih dan pertimbangan rasional maka aborsi menjadi jalan terakhir dalam kondisi darurat setelah upaya lain berupa pencegahan Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) tidak berhasil dilakukan.
Pilihan terakhir yang dimaksud adalah jika situasi dan kondisi fisik, psikis dan sosialnya memang tidak memungkinkan kalau kehamilannya dilanjutkan.
Dengan syarat dilakukan oleh tenaga medis yang berkompeten serta melalui proses konseling sebelum maupun sesudah melakukan aborsi.
Sedangkan terkait masa diperbolehkannya aborsi akibat perkosaan, Menurut KH. Husein Muhammad mengutip dari Kajian Fikih Kontemporer terbitan Riyadh-Saudi Arabia membolehkan aborsi setelah usia 120 hari.
Dan jika tidak yakin dengan usia janin melebihi 120 hari maka peluang untuk pengguguran tetap diperbolehkan. []