#PalestinianLivesMatter, Demo Pembunuhan Pria Palestina Penyandang Autisme yang Tak Bersenjata
HIDAYATUNA.COM – Selama tiga malam setelah polisi Israel menembak dan membunuh seorang pria Palestina penyandang autism yang tidak bersenjata, selama itu pula aksi demonstrasi telah berkobar di seluruh wilayah Palestina yang telah diduduki oleh Israel.
Ratusan demonstran berkumpul pada hari Selasa di kota Tel Aviv, Haifa, Yerusalem Timur, dan kota-kota kecil lainnya, menyusul penembakan fatal yang dilakukan oleh polisi Israel terhadap penyandang autisme Eyad al-Halak di luar sekolah kebutuhan khusus, di Kota Tua Yerusalem Timur, yang terjadi pada hari Sabtu.
“Palestinian Live Matter!” Para demonstran meneriakkan kata-kata tersebut, meniru aksi demonstrasi “Black Live Matter!”, yang akhir-akhir ini muncul dari protes besar-besaran yang terjadi di Amerika Serikat.
Polisi Israel telah membunuh Halak setelah mengklaim bahwa dia sedang bersenjata, mereka menembaknya beberapa kali dengan M-16 ketika Halak seorang penyandang autisme yang berusaha untuk melarikan diri.
Pada hari Minggu, guru dari Halak mengatakan kepada stasiun berita Channel 13 Israel, bahwa dia telah mencoba untuk memperingatkan para polisi tersebut dengan berteriak, “Dia cacat! Dia cacat!”, sebelum akhirnya mereka melanjutkan untuk menembaki Halak.
Insiden itu pun akhirnya memicu kemarahan, yang telah meningkat akibat adanya aksi demonstrasi #BlackLivesMatter yang telah mencengkeram Amerika Serikat selama sepekan terakhir, setelah kematian George Floyd, seorang pria berkulit hitam tak bersenjata yang berusia 46 tahun, yang terbunuh ketika seorang polisi berkulit putih meletakkan dan menekan lututnya di leher Floyd selama sembilan menit.
Di Haifa, ratusan orang telah berkumpul dalam aksi demonstrasi yang berlangsung sembari memegang papan dengan tulisan-tulisan seperti “Keadilan untuk Eyad, Keadilan untuk George,” serta “Black Lives Matter.”
Amir Marshi, seorang mahasiswa dan aktivis Palestina, mengatakan bahwa para demonstran telah membandingkan dua kematian yang terjadi di kedua negara ini, karena mereka berdua dipandang menjadi korban pembunuhan oleh polisi yang dianggap rasis, yang akhirnya juga menghidupkan kembali pengaduan tentang pasukan keamanan di kedua negara yang selalu menggunakan kekuasaannya secara berlebihan.
“Kebrutalan polisi Amerika Serikat dan pemerintahan Israel, telah digarisbawahi oleh logika supremasi kolonial yang sama, yang mengkriminalkan mereka yang secara historis telah tertindas dan terusir,” kata Marshi.
Selama aksi demonstrasi di Haifa, para demonstran juga turut mengangkat papan-papan tulisan yang berisi nama warga Palestina lainnya yang tidak bersenjata, tetapi tetap ditembak mati oleh pasukan Israel, seperti Razan al-Najjar, seorang paramedis Palestina berusia 21 tahun, yang ditembak mati oleh pasukan Israel selama aksi demonstrasi besar-besaran di Gaza pada tahun 2018 lalu.
“Secara solidaritas dan bersama-sama, kita harus berdiri menentang sistem penindasan ini, dalam semua inkarnasi dan di semua lokasi dimana mereka muncul,” kata Marshi. (Middleeasteye.net)