Pahit Getir Kehidupan Perempuan Mencari Keadilan Sejak Zaman Nabi
HIDAYATUNA.COM – Perbincangan mengenai perempuan selalu memiliki keasyikannya tersendiri. Bahkan dari sekadar yang remeh-temeh hingga yang serius kerap menjadi objek perbincangan. Dari pola kehidupan yang dilalui hingga struktur sosial yang membentuk kerap menjadi sorotan.
Terlebih dalam soal ketidakadilan yang dialami para perempuan. Apabila kita mau jujur dan mengakui hampir semua produk sejarah, hukum, ekonomi, budaya, turut serta memberikan legitimasi ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk pula agama yang turut dijadikan alat legitimasi melalui tafsir atau pemahaman misoginis yang cenderung patriarkis.
Hal inilah yang diseru melalui teriakan-teriakan mereka yang mendaku diri sebagai seorang feminis. Memang perempuan kerap menjadi korban ketidakadilan, seolah-olah tindak-tanduk kehidupannya dipenuhi salah dan dosa, jangankan bertindak, berdiam pun kadang dipenuhi tanya?
Contoh sederhananya begini, bagaimana masyarakat memandang perempuan yang keluar malam? Perempuan berkarir atau perempuan yang menempuh pendidikan tinggi? Hal demikian acapkali bernada negatif.
Masyarakat kita kebanyakan masih cenderung beranggapan bahwa perempuan hanyalah orang yang akan mengurus rumah tangga. Kalau bukan di dapur, sumur, dan yang pasti bakal di kasur, pokoknya perempuan tidak jauh-jauh dari itu.
Lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyudutkan “buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya bakal lari ke dapur, kok masih ngejar karir, kapan nikahnya?” Alhasil terbentuk dan terpatri pemikiran yang meminggirkan hak-hak kaum hawa, perempuan tersubordinat hanya pada ruang reproduksi dan prokreasi.
Akar Sejarah Kesenjangan Gender
Perbedaan gender secara esensial bukanlah suatu masalah sejauh berpegang pada prinsip keadilan dan tidak memunggungi nilai kesetaraan hak-hak masing-masing (gender equality). Namun realita lapangan berbicara sebaliknya, potret historis memperlihatkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan beragam ketidakadilan gender, khususnya pada diri perempuan.
Dari realitas historis ini, perbedaan gender terbentuk bahkan tersosialisasi. Dengan kata lain, terkonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan bahkan negara juga seringkali terlibat melanggengkan ketidakadilan.
Sehingga yang terjadi kemudian beragam polemik ketidakadilan seolah-olah sebagai titah langsung dari Tuhan. Padahal itu bagian dari produk sejarah yang melahirkan kebakuan dan pemahaman yang kokoh tak tergoyahkan. Apa pun nasib dan perbedaan gender baik yang secara biologis maupun sosiologis tidak dapat diubah dan merupakan kodratNya.
Kembali pada problem feminisme, secara definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme memiliki pengertian tersendiri. Feminisme ialah “gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki”.
Sementara disitir dari buku Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam karya Hamid Fahmi Zarkasyi menyebutkan bahwa femina, feminis dan feminisme berasal dari bahasa latin fei-minus. Fei memiliki arti iman sementara minus memiliki arti kurang, jadi feminus berarti kurang iman. Wanita di Barat sejarahnya memang diperlakukan seperti manusia kurang iman.
Sedangkan lawan kata feminis yaitu masculine, bukan lantas memiliki arti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Dengan demikian dalam agama, wanita di Barat korban inquisisi dan di masyrakat jadi korban pemerkosaan laki-laki. (lihat Misykat, hal: 237)
Memberantas Patriarki di Zaman Nabi
Benih-benih keadilan dan pembelaan atas hak-hak wanita telah dilakukan Nabi Muhammad. Di mana sebelumnya, budaya Arab pra-Islam sangat patriarikis dengan memperlakuan perempuan tidak sebagaimana mestinya.
Bahkan masyarakat Arab menganggap kaum hawa sebagai sebuah petaka yang mengundang banyak bencana, menjadikan budak seks, dijual-belikan layaknya barang dagangan. Maka tidak heran apabila terlahir bayi perempuan kemudian harus harus dikuburkan saat itu, bahkan untuk yang paling buruk menganggapnya bukan manusia.
Hal ini melebihi dari konco wingking—sebagaimana orang Jawa menyebutnya demikian—atau jika mau memakai istilah Simone de Beauvoir sebagai the second sex, manusia kelas dua setelah laki-laki. Kehina-dinaan kaum hawa bukan lagi rahasia umum, bahkan sejarah turut menjadi saksi kekejaman atas penderitaan yang dialami kaum hawa sebagai objek semata. (Mahar dan Teologi Pembebasan versi Asghar Ali Engineer, Yusrolana Nur Haqiqi)
Nabi Muhammad pun hadir menjadi angin segar yang menyejukkan bagi perempuan. Harkat dan martabat yang begitu dikesampingkan menemukan celah untuk besanding sejajar bersama laki-laki lainnya sebagai sesama manusia yang sama-sama memiliki hak.
Perspektif Perempuan Kini: Berpegang pada Alquran
Secara bertahap, Nabi mengangkat derajat para kaum hawa dengan beberapa perubahan yang senada dengan teriakan-teriakan feminis sekarang, meski dengan cara yang berbeda. Kalau boleh saya menyebutnya sebagai “seorang feminis tulen” karena telah berhasil mengangkat harkat martabat perempuan.
Kesadaran mengutarakan perjuangan mengentas ketidakadilan dan ketertindasan pada wanita menjadi proyek penting untuk ditindak-lanjuti. Sebagaimana telah dicanangkan Nabi Muhammad dan Alquran sebagai panduan utama yang melandasinya.
Teks-teks keagamaan maupun tafsir keagamaan yang cenderung mendiskreditkan perempuan harus pula disuguhi prespektif berbeda. Melalui reinterpretasi sebagai wacana pemahaman tandingan untuk memperoleh pemahaman yang lebih holistik-komprehensif dan kaya prespektif.
Dengan catatan, tetap berpegang pada prinsip-prinsip qur’ani sehingga terbentuk kesadaran kolektif bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama sebagai sama-sama manusia. Sebagai pengganti-Nya (khalifah fi al-ard) yang harus saling melengkapi kekurangan masing-masing untuk menjaga hulu-hilir kehidupan yang lebih baik sesuai rel-rel kemanusiaan dan sebagaimana diperintahkan-Nya.
Wallahu a’lam bil as-shawab