Orang-orang yang Wajib dan Sunah Imsak Meskipun Batal Puasa
HIDAYATUNA.COM – Ada enam orang yang ketika batal puasa, mereka berkewajiban qadha’ dan imsak (tidak dibolehkan makan dan minum di sepanjang siang). Syaikh Salim bin Abdullah al-Hadrami dalam Safinat al-Najah kemudian dijelaskan secara terperinci oleh Syaikh Nawawi dalam Kasyifat al-Saja.
Orang yang sengaja membatalkan puasanya di siang hari pada bulan Ramadan, selain berdosa ia juga berkewajiban qadha’. Sepanjang siang, wajib baginya untuk tidak makan dan minum (imsak) sampai masuk waktu maghrib.
Imam al-Syarqawi mencontohkan bahwa ketika seseorang minum khamr di malam hari, kemudian siang harinya ia berpuasa. Maka ia dihadapkan dua kewajiban yang saling bertentangan:
1. Berkewajiban imsak (tidak makan dan minum di sepanjang siang)
2. Berkewajiban taqayyu’ (memuntahkan khamr yang diminumnya)
Dari dua kewajiban di atas, lebih diprioritaskan imsak dibanding taqayyu’ karena kewajiban imsak telah menjadi konsensus ulama’. Sedangkan taqayyu’ masih menjadi perdebatan di kalangan mereka.
Hal ini berbeda ketika konteksnya adalah puasa sunah. Dalam konteks puasa sunah, taqayyu’ tidak diwajibkan meski diperbolehkan, dengan pertimbangan muhafadzatan li hurmat al-ibadah (menjaga kemuliaan ibadah puasa).
Kewajiban Menjaga Imsak
1. Orang yang tidak Berniat Puasa di Malam Hari (Tabyit al-Niat)
Seseorang yang tidak melakukan tabyit al-niat karena lupa (nasiyan), tidak mengetahui hukumnya (jahilan) atau sengaja (ta’ammud), maka puasanya tidak sah. Namun ia tetap berkewajiban untuk tidak makan dan minum (imsak) sampai masuknya waktu berbuka serta membayar puasanya di hari yang lain (qadha’).
Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa kedua permasalahan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Bagi yang menyengaja tidak niat, diwajibkan qadha’ puasa di hari atau bulan yang lain dengan segera (tidak boleh ditunda-tunda).
Sedangkan bagi yang lupa niat, tidak ada kewajiban menyegerakan qadha’ puasa. Orang yang lupa niat, menurut Syaikh Nawawi, disilahkan bertaqlid kepada imam Abu Hanifah yang membolehkan niat siang hari saat Ramadan.
2. Orang yang Terlewat Waktu Sahur dan yang Berbuka Sebelum Waktunya
Ketika seseorang sahur dengan sangkaan bahwa waktu masih malam, namun ternyata terjadi setelah tebitnya fajar (setekah subuh). Dalam kondisi demikian, puasanya tidak sah, ia berkewajiban mengganti puasanya di hari lain.
Meski begitu, ia tetap wajib menahan dari makan dan minum sebagaimana orang puasa (imsak) hari itu sampai masuknya waktu maghrib. Alasannya karena orang tersebut dianggap ceroboh (taqshir) karena tidak disertai ijtihad (mengenai tetapnya waktu malam).
Puasa sebelum waktunya tidak boleh meneruskan makan dan minumnya (wajib imsak). Semula ia berasumsi bahwa matahari telah terbenam (waktu maghrib telah masuk), namun ternyata asumsi tersebut salah (matahari belum terbenam).
Ia wajib imsak pada waktu-waktu yang tersisa hingga matahari benar-benar tenggelam. Ia juga wajib mengganti puasanya di hari atau bulan yang lain.
Menurut Imam al-Syarqawi, kejadian seperti ini sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak memperhatikan dan mengetahui batasan-batasan waktu puasa.
3. Orang yang Mengira Masih tanggal 30 Sya’ban, Ternyata Sudah 1 Ramadan
Orang yang berada di tanggal 30 Sya’ban, dan ternyata hari tersebut sudah masuk tanggal 1 Ramadan. Sementara ia belum berpuasa, maka ia wajib imsak pada hari itu.
Namun menurut imam Romli, ketika hari itu telah ditetapkan sebagai hari puasa (1 Ramadan), sementara ia belum makan sesuatu. Maka ia disunahkan untuk berniat puasa. Konsekuensi hukum ini berbeda bagi para musafir (orang yang melakukan perjalanan jauh yang membolehkannya qashar salat).
Bagi mereka yang sudah pulang dari perjalanan jauh dan sudah sampai di rumahnya, sementara mereka sedang tidak berpuasa. Maka mereka tidak diwajibkan berpuasa pada hari itu, meski mereka tahu bahwa pada hari tersebut telah masuk bulan Ramadan.
4. Orang yang Kemasukan Air Wudhu
Orang yang kemasukan air karena mubalaghah (berlebihan dalam penggunaan air) ketika berkumur atau istinsyaq (mengisap air ke dalam hidung) saat berpuasa. Maka puasanya batal namun ia berkewajiban imsak dan qadha’ puasa.
Alasannya, karena mubalaghah dalam berkumur dan istinsyaq bagi orang yang berpuasa dianggap taqshir (ceroboh) dan ta’ammud (ada unsur kesengajaan). Oleh karena itu, puasa orang yang melakukan kecerobohan dan kesengajaan tersebut menjadi batal.
Hal-hal yang Menyebabkan Kesunahan Imsak
Selain wajib, dalam konteks tertentu, imsak hanya diperhitungkan sebagai bentuk kesunahan, di antaranya:
1. Wanita Haid Atau Nifas Yang Suci di Pertengahan Siang
Sa’id bin Ali Wahaf al-Qahthani menegaskan bahwa wanita haid atau nifas yang tiba-tiba berhenti darahnya di pertengahan siang pada bulan Ramadan. Maka ia disunnakan untuk tidak makan dan minum (imsak). Alasannya karena hilangnya uzhur syar’i yang menyebabkan mereka boleh berbuka puasa.
Sa’ide al-Qahthani mengatakan:
وَإِذَا طَهُرَتْ اَلْحَائِضُ أَوِ النُّفَسَاءُ فِي أَثْنَاءِ نَهَارِ رَمَضَانَ لَمْ يَصِحَّ صَوْمُهَا بَقِيَّةَ الْيَوْمِ لِوُجُوْدِ مَا يُنَافِي الصِّيَامَ فِي حَقِّهَا فِي أَوَّلِ النَّهَارِ. وَعَلَيْهَا الإِمْسَاكُ بَقِيَّةَ النَّهَارِ فِي أَصَحِّ قَوْلَي الْعُلَمَاءِ لِزَوَالِ الْعُذْرِ الَشَّرْعِي الذِّي أُبِيْحَ لَهَا اَلْفِطْرُ مِنْ أَجْلِهِ
Ketika wanita haid atau nifas telah suci di pertengahan siang Ramadan. Maka puasanya di sisa hari itu tidak sah karena adanya sesuatu yang menyebabkan mereka tidak wajib berpuasa sejak permulaan siang. Namun mereka disunahkan imsak di sisa hari menurut dua pendapat ulama yang paling sahih. Alasannya karena hilangnya udzur syar’i yang menyebabkan mereka boleh berbuka. (Sa’id bin Ali Wahaf al-Qahthani, al-Shiyam fi al-Islam fi Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah, hlm. 114)
2. Anak Kecil yang Tiba-Tiba Baligh Pada Saat Tidak Berpuasa
Anak kecil (shabi) yang tiba-tiba baligh pada saat ia sedang tidak berpuasa Ramadan, maka ia disunahkan untuk imsak. Baginya tidak ada kewajiban untuk qadha’ puasa karena dalam kondisi tersebut, anak kecil tidak dianggap ceroboh (muqshir).
Sebaliknya, jika anak kecil tiba-tiba baligh pada saat ia sedang berpuasa, maka ia berkewajiban meneruskan puasanya sampai masuk waktu maghrib. Anak tersebut tidak dikenai kewajiban qadha’ puasa di hari yang lain.
Sebab statusnya telah berubah menjadi min ahli al-wujub fi asna’i al-ibadah (orang yang berkewajiban puasa di tengah-tengah ibadah puasa). Namun, jika anak kecil yang sudah baligh tersebut melakukan hubungan intim di siang hari, maka ia berkewajiban membayar denda (kafarat).
3. Orang Gila, Musafir dan Orang Sakit yang Sudah Hilang Udzurnya
Orang gila yang ketika sembuh dari penyakit gilanya, atau muallaf yang telah masuk Islam, orang sakit atau musafir yang udzurnya telah hilang sementara ia sedang tidak berpuasa, maka mereka tidak diwajibkan imsak (bagi mereka imsak hanya sunah), tetapi mereka berkewajiban qadha’ puasa.
Namun bagi musafir atau orang sakit yang udzurnya telah hilang sementara mereka dalam keadaan berpuasa, maka mereka wajib menyelesaikan puasanya sampai masuk waktu maghrib. (Syaikh Nawawi, Kasyifatus Saja, hlm. 468-469)