Objek Zakat Profesi

 Objek Zakat Profesi

Bolehkah Zakat Fitrah di Tempat Kerja? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Zakat dikenakan pada objek tertentu yang telah dijelaskan oleh syariat. Objek zakat adalah materi yang terukur yang darinya muncul keuntungan atau aset.

Objek zakat mal adalah harta. Dari harta tertentu yang ditentukan oleh syariat, apabila ia mempunyai hasil, maka wajib dibayar zakatnya ketika mencapai batas tertentu.

Di antara harta yang ada zakatnya adalah harta dagangan, harta sebagian jenis pertanian, harta sebagian jenis ternak, harta temuan, harta pertambangan dan sebagainya. Tetapi tidak semua harta ada zakatnya, meskipun banyak sekali.

Misalnya saja harta warisan atau hadiah, meskipun mencapai harga milyaran rupiah tetap tidak ada zakatnya. Harta warisan atau hadiah baru menjadi objek zakat apabila telah diubah menjadi harta yang wajib dizakati.

Demikian juga aset seperti rumah dan tanah, meskipun banyak dan bernilai fantastis tetap tidak ada zakatnya, kecuali bila dijadikan objek perdagangan.

Objek zakat fitrah adalah badan manusia.  Selama badannya masih menghasilkan kehidupan, maka wajib dizakati dengan zakat fitrah setahun sekali. Kehidupan adalah aset paling asasi dari manusia.

Zakat Profesi Tidak Memiliki Objek

Apa objek zakat profesi? Tidak ada. Profesi merupakan jasa dan jasa merupakan sesuatu yang abstrak, bukan materi sehingga tidak layak disebut objek.

Satu-satunya materi yang layak disebut objek zakat dalam zakat profesi adalah badan manusia yang melakukan profesi tersebut. Akan tetapi zakat badan sudah ditentukan, yakni zakat fitrah karena itu maka hasil dari profesi tidak ada zakatnya meskipun banyak.

Apabila harta hasil profesi yang dijadikan objek zakat, maka sama artinya dengan menjadikan nyaris seluruh harta sebagai objek zakat. Sebab harta menusia memang dia dapatkan dari profesinya, tetapi tentu saja ini berkonsekuensi membatalkan semua ketentuan zakat mal.

Pasalnya tidak perlu lagi ada pembedahan dan klasifikasi harta. Dengan nalar tersebut, zakat akan berubah menjadi pajak kekayaan, tetapi sudah jelas ada perbedaan antara keduanya.

Di masa Rasulullah, ada tidak profesi yang menghasilkan banyak harta? Tentu ada. Profesi sebagai pejabat negara, jenderal atau apalagi raja membuat seseorang mendapat banyak sekali harta.

Hukum dan Nishab Zakat Profesi

Apakah Rasulullah mewajibkan zakat pada profesi tersebut? Ternyata tidak. Artinya profesi bukanlah objek zakat menurut syariat.

Oleh karena bukan objek zakat, maka profesi tidak mempunyai nishab (batasan wajib zakat). Biasanya dalam wacana zakat profesi dihitung seolah ada nishabnya adalah gaji/upah profesi.

Hal ini tidak tepat, sebab gaji/upah adalah hasil dari profesi, bukan profesi itu sendiri. Bedakan antara objek zakat dengan hasilnya.

Padi di sawah misalnya, ia adalah objek zakat yang terukur dan menghasilkan keuntungan berupa uang di saat panen. Adapun yang dihitung untuk nishab adalah jumlah padi itu sendiri, bukan uang hasil penjualannya.

Sedangkan profesi berbeda, ia tidak mempunyai nishab sebab bukan sebuah materi. Menghitung upah uang dari profesi sama saja dengan menghitung jumlah uang yang dihasilkan dari penjualan padi di sawah atau penjualan ternak sapi. Ini jelas salah perhitungan.

Apabila yang salah perhitungan ini hendak dipaksakan juga, maka mau ikut batasan apa sebagai nishab? Tidak ada hadis yang menjelaskan batasan nishab bagi profesi (sebab memang bukan materi).

Spirit dalam Menunaikan Zakat Profesi

Akhirnya para tokoh yang mewacanakan zakat profesi mengkiaskan dengan objek zakat lainnya. Hal ini tentu memaksakan diri sebab dikiaskan pada yang mana pun akan ada celah perbedaannya.

Pada hakikatnya, zakat mempunyai unsur ta’abbudi juga sehingga tidak bisa dikiaskan antara objek satu dengan lainnya. Coba saja ukur nominal harga nishab emas, sapi dan padi bila tidak percaya, tidak ada kesamaan yang logis padanya sebab memang ta’abbudi.

Atas dasar problem di atas, maka sebanyak apa pun saya membaca wacana tentang zakat profesi, tetap saja hati sulit untuk mengiyakan. Apalagi alasan para tokoh yang mewacanakannya biasanya mentok di “pasal karet” yang bernama maqashid asy-syari’ah dan maslahah.

Ini dasar yang tidak kuat untuk “mendosakan” orang karena tidak menzakati gajinya. Bagi saya pribadi lebih baik cukup digalakkan sedekah yang memang menjadi pelengkap dari zakat.

Kalau dianggap zakat, maka betapa banyak yang dianggap berdosa. Meskipun saya tidak sepakat pada wacana zakat profesi, tetapi saya suka spiritnya.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *