Negara vs Kelompok Sipil: Ketimpangan Sosial Tanggung Jawab Siapa?

 Negara vs Kelompok Sipil: Ketimpangan Sosial Tanggung Jawab Siapa?

Pungli Bansos Dosa Besar (Ilustrasi/Hidayatuna)

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

HIDAYATUNA.COM – Kehidupan yang ideal, dalam benak saya, ibarat lima jari di satu satu tangan. Masing-masing berperan sesuai fitrahnya, tanpa memandang rendah satu sama lain.

Jempol alias ibu jari yang berukuran besar tidak pernah merasa lebih baik dari jari kelingking, bukan? Begitu juga dengan jari tengah yang, meskipun menempati posisi paling tinggi, tidak merasa paling unggul dari yang lainnya.

Semuanya memiliki tugas yang terberi, saling melengkapi, dan saling membantu. Membayangkan kita makan menggunakan sendok tanpa ibu jari saja saya sudah merasa kewalahan. 

Saat ini kita hidup di dunia yang secara umum dijalankan dengan prinsip ekonomi-politik neoliberal. Pada masa Orde Baru, awal mula Indonesia menerapkan sistem ini, negara mulai menarik diri dari kegiatan ekonomi dan menyerahkannya pada mekanisme pasar.

Tidak ada subsidi untuk pendidikan orang-orang miskin, bahan makanan pokok, termasuk subsidi bahan bakar (Bruinessen, 2010). Pemerintah ketika itu sangat meyakini bahwa “ideologi pembangunanisme” yang ditandai dengan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sejak 1969.

Program tersebut akan mampu membawa masyarakat Indonesia lepas landas menuju bangsa berdaulat secara ekonomi dan politik. Hantaman krisis moneter pada 1997 telah meruntuhkan mimpi itu.

Angka kemiskinan membengkak. Pengangguran merajalela. Ekonomi lumpuh. Sampai saat ini pun, meski kita telah diperkenalkan dengan berbagai program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), bantuan modal untuk petani, dan beragam program lainnya, kemiskinan itu tetap ada di sekitar kita.

***

Ketimpangan sosial dengan mudah dapat kita jumpai di sekitar kita. Modal yang hanya terkonsentrasi di segelintir orang, akses pendidikan yang tidak dapat dinikmati oleh semua warga negara. Petani menjerit lantaran ketidakpastian harga dan harga pupuk yang semakin tidak terjangkau. 

Saya sendiri, andai tidak ada lembaga pondok pesantren, mustahil bagi saya untuk bisa menikmati pendidikan lanjutan setamat SMP. Sungguh, dalam hal ini terkadang sakit hati kepada negara itu masih teras.

Pada saat yang sama, saya menyadari satu hal, bahwa negara tidak akan mampu untuk menyeponsori kesejahteraan rakyatnya yang berjumlah 260 juta jiwa ini. Sebagaimana negara dengan sistem negara kesejahteraan (welfare-state) yang dianut oleh sejumlah negara-negara di dunia seperti Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Australia.

Dalam sistem welfare-state, negara mengelola kekayaannya untuk menjamin kehidupan warganya tanpa membedakan latar sosial untuk bisa mengakses pelayanan dasar. Seperti pendidikan, kesehatan, tunjangan untuk pengangguran, dan jarring pengaman sosial lainnya. 

Sangat mungkin bagi Indonesia untuk menerapkan sistem welfare-state seperti itu. Namun, mungkin butuh waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun lagi untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu, dengan menyadari keterbatasan negara tersebut, mau tidak mau, kita membutuhkan keterlibatan aktor non-negara. Untuk berperan aktif dalam mengurai dan menyelesaikan masalah ketimpangan sosial tersebut.

Kita mendambakan dan harus terus berupaya untuk membangun masyarakat sipil yang bergairah yang mendorong terjadinya perubahan sosial dalam berbagai aspeknya. 

Pesantren sebagai Kelompok Sipil

Pesantren telah lama dikenal sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia yang berperan signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Nurcholish Madjid (1997) menegaskan bahwa pesantren adalah artefak peradaban Indonesia sebagai institusi pendidikan keagamaan yang bercorak tradisional, unik, dan indigenous.

Abdurrahman Wahid dalam salah satu ceramahnya menyatakan bahwa pesantren merupakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pertama di bumi Nusantara ini. Ucapan tersebut merujuk kepada kemandirian pesantren secara ekonomi, tidak bergantung kepada bantuan pemerintah maupun lembaga donor.

Sebaliknya, banyak pesantren justru menjadi penggerak roda ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dalam hal ini, saya membayangkan pesantren sebagai salah satu contoh kelompok sipil yang ideal.  

Pada masa lalu, santri yang belajar di pesantren, terutama dari kalangan keluarga tidak mampu, akan bekerja membantu kiainya. Begitu juga yang penulis jalani selama di pesantren.

Pesantren tidak hanya menjadi tempat yang ramah bagi semua kalangan, tetapi juga menjadi miniatur masyarakat itu sendiri. Para santri di dalamnya digembleng untuk menjadi manusia yang berguna bagi sekitarnya.

Dengan cara demikianlah pesantren menjadi contoh bagaimana aktor non-negara menjalankan tugasnya dalam mengurai ketimpangan sosial. 

Praktik Kedermawanan: Orientasi Sosial atau Pasar?

Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia menyaksikan munculnya beragam inisiatif kedermawanan Islam. Hal ini ditandai dengan menjamurnya berbagai lembaga amil zakat yang digerakkan oleh negara maupun aktor non-negara.

Gerakan kedermawanan yang kini lebih dikenal sebagai filantropi tersebut mengandaikan terjadinya keadilan sosial, kesetaraan, dan pemerataan ekonomi. Semangat kedermawanan ini merupakan perwujudan dari keutamaan zakat dan sedekah yang tidak hanya berdimensi vertikal. Akan tetapi juga horizontal (Al-Taubah: 71; Al-Baqarah: 272; Ali-Imran: 180), sekaligus larangan menimbul harta (Al-Taubah: 34) dalam rangka pemerataan ekonomi.

Dalam hal ini, zakat dan sedekah diwujudkan dalam bentuk program pemberdayaan melalui beasiswa, modal usaha, dan lainnya.

Chihan Tugal (2013), Sosiolog dari Universitas Berkeley, memberikan kritik terhadap lembaga filantropi dikarenakan lebih berorientasi pasar ketimbang sosial. Proses birokratisasi dan pendekatannya yang terlalu rasional dalam melihat kemiskinan menjadikan lembaga filantropi kurang menyentuh permasalahan riil di akar rumput.

Mereka cenderung menunggu masyarakat untuk datang alih-alih bergerilya ke masyarakat bawah untuk mencari anak-anak dari keluarga miskin untuk diberi beasiswa sekolah. Duafa sakit untuk diobati, dan anak-anak muda untuk diberdayakan agar terlepas dari jeratan pengangguran. 

***

Praktik yang serupa nampaknya juga terjadi di bidang lainnya. Dalam bidang pendidikan, misalnya, kini mulai bermunculan sekolah-sekolah elit yang dijalankan dengan pendekatan bisnis untuk meraup keuntungan.

Begitu juga dengan media massa, terutama media daring di mana lebih mementingkan orientasi bisnis dengan meliput pemberitaan yang sedang viral atau mengundang kontroversi demi naiknya jumlah pengunjung. Padahal, jika kita renungkan lebih dalam, setiap organisasi kemasyarakatan memiliki andil dalam menyelesaikan masalah ketimpangan sosial.

Seperti di awal tulisan ini, perumpamaan lima jari di tangan dalam rangka menyelesaikan ketimpangan sosial di Indonesia. Tidak lain adalah negara beserta perangkatnya dan aktor non-negara yang terejawantah dalam beragam kelompok sipil.

Dengan menyadari beratnya beban yang dipikul negara dalam menjamin hak dasar setiap warga, kita mengharapkan peran aktif dari kelompok sipil dalam pembangunan dan kemajuan negeri. Kehadiran mereka tidak hanya penting dalam menyelesaikan ketimpangan sosial di masyarakat, tetapi juga menjadi esensi dari demokrasi itu sendiri.

Dalam sistem demokrasi, kelompok sipil menjadi saluran bagi beragam ekspresi kepentingan dan perbedaan pendapat di dalam masyarakat. Sekaligus mengontrol atau bahkan melawan dominasi negara atas warganya (Sulistiyanto, 2021). 

Akhirnya, apakah kita akan terus menerus menyalahkan negara atas ketimpangan sosial di negeri ini? Ataukah akan tergerak untuk turut ambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan ini sesuai dengan bidang yang kita geluti? Jawaban sepenuhnya berada di tangan Anda!

Aziz Ahmad

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *