Negara Madinah dalam Kacamata Sejarah
NEGARA MADINAH DALAM KACAMATA SEJARAH. Dalam Artikel Ini Akan Diulas dan Dibahas Mengenai Negara Madinah dalam Sejarah.
اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يا أَيُّهَا النّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذي خَلَقَكُم مِن نَفسٍ واحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنها زَوجَها وَبَثَّ مِنهُما رِجالًا كَثيرًا وَنِساءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذي تَساءَلونَ بِهِ وَالأَرحامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلَيكُم رَقيبًا
Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan Allah SWT,
Pada Jum’at yang insyaallah mubarok ini, izinkanlah saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin sekalian, agar senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Karena hanya itulah yang menjadi tujuan hidup kita sekaligus penyelamat kita di dunia dan di akhirat.
Dalam khotbah kali ini saya akan menyampaikan sebuah tema: “Negara Madinah dalam Kacamata Sejarah”. Tema ini dirasa masih sangat urgen, mengingat sampai sekarang ini masih terjadi pergulatan pemahaman tentang upaya pembentukan Negara Islam di Indonesia. Ada beberapa kalangan yang mengkritik bahwa Indonesia adalah negara kafir karena hukum di Indonesia tidak berdasarkan hukum Allah (Syari’at Islam), Sebagaimana pemaknaan tekstual terhadap surat Al-Maidah ayat 44. Untuk itulah kiranya perlu kita komparasikan konsep Negara Madinah yang mempunyai landasan Piagam Madinah (Madinah Charter) dengan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah..
Dalam kacamata sejarah, Madinah merupakan tonggak utama peradaban Islam. Kota ini identik dengan Nabi Muhammad SA W, karena itu disebut Madinah al-Nabi (kota Nabi). Juga disebut dengan Dar al-Hijrah (kota migrasi); dan juga disebut dengan Dar al-‘Ilmi (kota ilmu). Tapi yang paling penting untuk kita revitalisasi dan reinterpretasi dari sejarah Madinah adalah adanya ‘Piagam Madinah” yang dikenal dengan konstitusi tertulis pertama di dunia.
Hadirin yang dirahmati Allah
Jika kita mencermati ulang sejarah (pemikiran) Islam, pemahaman Islam terhadap Negara tidaklah tunggal. Karena Rasulullah SAW tidak pernah mewariskan kepada kita satu bentuk negara pun kepada kita. Secara historis, cikal bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya Piagam Madinah. Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak diartikulasikan secara tegas oleh Nabi Muhammad SAW, persyaratan sebagai negara telah dipenuhi oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi. Hampir tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik muslim modern tentang bagaimana sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam.
Negara dalam Islam merujuk pada kata ummah. Dalam Al-Qur’an istilah ummah disebut 64 kali dalam 24 surat. Ini menunjukkan bahwa konsep Negara dalam Islam lebih merujuk pada kata ummah (rakyat atau masyarakat) dari pada kata daulah (kekuasaan). Dalam konteks Negara Madinah, ummah berarti masyarakat Islam yang di dalamnya terdapat Muslimin Muhajirin, Muslimin Anshar dan Yahudi (non muslimin), yang bergabung serta tunduk dibawah pemerintahan Islam. Dalam masyarakat tersebut terdapat kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan beragama serta kemerdekaan menjalankan hak-hak pribadi.
Tujuan adanya konsep ummah dan pengembangannya adalah adanya mayarakat yang disebut Masyarakat Madani. Masyarakat Madani adalah model masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW selepas hijrah ke Madinah. Masyarakat Madani adalah suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al-Musawah), toleransi (tasamuh) dan kebebasan (al-Hurriyah), amar ma’ruf nahi munkar, musyawarah (al-Syura), keadilan (al- ‘Adalah), dan keseimbangan.
Jadi secara prinsip sepanjang suatu negara berpegang kepada prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, pesaudaraan, musyawarah. dan lain-lain maka pembentukan “Negara Islam” dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.
Hadirin fi ‘Aunillah,
Jika kita menengok sejarah Indonesia, para pendiri negara pada waktu itu telah melahirkan Piagam Jakarta yang mengandung tujuh kata yang mewajibkan dijalankankannya syari’at Islam bagi pemeluknya, setelah sila Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi atas nama persatuan dan kesatuan bangsa serta kebesaran jiwa para pcndiri bangsa, termasuk dua Ulama yang ada dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia, yaitu almaghfurllah Wachid Hasyim, ayahanda Gus Dur, dan Kyai Mas Mansur. yang Saat itu kemudian legowo, secara ikhlas menerima penghapusan tujuh kata itu demi persatuan dan kesatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Karena itu kita sebagai unlat Rasulullah SAW, dalarn mempraktekkan nilai-nilai demokrasi di negara ini hendaknya berpegang pada konsep Masyarakat Madani sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, agar kita tidak terjebak seolah-olah yang namanya Khilafah itu pasti Islami.
Kenapa demikian? karena kalau kita merujuk kepada sejarah, yang namanya praktek penyelenggaraan penunjukan pemimpin, setelah Rasulullah SAW wafat. bahkan ketika Rasulullah diangkat menjadi pemimpin Negara Madinah, sesungguhnya adalah praktek-praktek kepemimpinan berdasarkan demokrasi. Rasulullah SAW diangkat menjadi pemimpin Negara Madinah didasarkan dengan adanya utusan dari Madinah dan kemudian beliau di bai’at, yang dikenal sebagai Bai’at Aqobah, yang pertama maupun yang kedua. Beliau didaulat sebagai pemimpin, kemudian diminta untuk hijrah ke Madinah, dan setelah hijrah ke Madinah Rasulullah SAW membuat piagam Madinah, bukan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar Negara Madinah. Fakta ini yang menarik!
Rasulullah SAW yang membawa risalah kenabian, yang membawakan agama Islam, tidak menggunakan Al-qur’an sebagai dasar Negara Madinah yang beliau pimpin, tetapi beliau menggunakan piagam Madinah. Jadi piagam Madinah ini adalah kalimatun sawa satu kalimat bersama yang menyatukan pada waktu itu pemeluk agama Yahudi, Nasrani, Islam, dan agama-agama lain yang ada di Madinah pada Saat itu, di bawah kepemimpinan Rasul SAW. Sehingga pada dasarnya Rasulullah SAW sendiri tidak mewariskan bentuk negara yang final.
Model pendaulatan atau pembai’atan Rasulullah SAW sebagai pemimpin Madinah dalam kacamata hari ini bisa disebut sebagai demokrasi. Karena pada waktu itu jumlah masyarakat masih sedikit, maka orang mengangkat pemimpin dengan cara bai’at.
Begitu juga pada pemimpin yang kedua setelah Rasulullah SAW Wafat, yaitu Abu Bakar r.a, Khulafa’urrasyidin yang pertama. Pada Saat itu para sahabat Nabi berkumpul di tsaqifah bani sa’idah, yang Saat itu Suasananya bukan seperti sekarang, di mana orang menonjolkan-menonjolkan diri untuk dipilih menjadi pemimpin. Saat itu Abu Bakar justru menominasikan atau mendorong ‘Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah untuk menjadi pemimpin. Tetapi dua-duanya menolak, justru ‘Umar r.a kemudian membai’at Abu Bakar. Pendek kata pemilihan Abu Bakar r.a kurang lebih sama dengan pemilihan Rasulullah SAW , yakni pembai’atan.
Yang ketiga, pengangkatan ‘Umar sebelum Abu Bakar wafat dengan penunjukan langsung. Pertimbangannya adalah, Saat itu Islam masih dalam kondisi lemah, berhadapan dengan Persia dan Romawi, yang merupakan super power, ibaratnya Saat ini adalah Amerika dan Cina. Dikhawatirkan kalau ada kericuhan dalam kepemimpinan, Islam bisa melemah, maka Abu Bakar r.a langsung menunjuk ‘Umar bin Khattab r.a.
Yang keempat, ‘Umar bin Khattab r.a ketika menjelang wafat tidak lagi menggunakan cara bai’at. Tetapi menunjuk Ahlul Halli wal ‘Aqdi yakni enam orang yang dipercaya oleh ‘Umar. Enam itu antara lain adalah Abdullah bin ‘Umar, putranya sendiri. untuk menunjuk khalifah sesudahnya, dengan syarat Abdullah bin ‘Umar tidak boleh dipilih menjadi khalifah.
Ketika Umar bin Khattab r.a., ditanya kenapa memilih mekanisme formatur, atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi ketika menunjuk Utsman bin Affan sebagai penggantinya. ia katakan: Kalau saya menggunakan penunjukan langsung maka itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari saya yaitu Abu Bakar r.a.. Kalau saya tidak menggunakan penunjukan langsung maka itu juga telah dilakukan oleh pendahulu kita semua yang lebih baik dari kita semua yaitu Rasulallah SAW”
Pemilihan kepemimpinan selanjutnya yaitu ‘Ali bin Abi Thalib dilakukan kembali dengan pembai’atan. Namun dalam suasana ummat Islam sedang dalam kekacauan dan penuh fitnah sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah ‘Utsman Bin ‘Affan r.a., Pemilihannya dilakukan oleh ummat Islam Madinah. namun mendapat protes dari Gubernur Damaskus yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan yang kelak mendirikan Khilafah Bani Umayyah. Protes Mu’awiyah tersebut bukan karena tidak setuju dengan diri pribadi ‘Ali bin Abi Thalib. sebagai khalifah, akan tetapi Mu’awiyah meminta diusut terlebih dahulu siapa pembunuh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a, barulah kemudian dipilih dan diangkat khalifah. Hal ini menjadi pemicu konflik berkepanjangan antara pendukung ‘Ali bin Abi Thalib. dengan pendukung Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, yang kemudian terjadilah Perang Shiffin.
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,
Dalam kacamata modern, bai’at hari ini adalah melalui pemilu, yaitu suara rakyat yang diberikan kepada calon-calon pemimpin. Dengan cara itulah kita berdialog dengan sejarah, doktrin, dan kenyataan demokrasi hari ini, Sehingga dalam kacamata itu, jelas kita sudah menjalani demokrasi yang tidak melenceng dari prinsip Islam. Demokrasi dalam bahasa yang sederhana adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Lantas di mana posisi Allah SWT?. Demokrasi bukanlah konsep universal yang disetiap negara harus sama. ltulah kenapa pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai landasan demokrasi, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Ini adalah tafsir konstitusional atau bahasa ketatanegaraan dari kalimat قُل هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. Di sinilah posisi Allah SWT. Karena itulah demokrasi kita harus tetap dijiwai dan dilandasi dengan agama.
pemerintahan ini diciptakan untuk semua agama, bukan satu agama. Tetapi ingat. kita sebagai unnat Islam wajib hukumnya menguasai. Kenapa? Karena Imam Ghazali dalam kitab ‘Ihya ‘Ulumuddin mengatakan “addinu wal mulku tau’amaani…”, bahwa yang namanya agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar, di mana agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya.
Jama’ah yang dimuliakan Allah,
Islam merupakan sebuah agama yang sempurna dan cinta akan perdamaian. Dalam Islam tidak dijelaskan bentuk negara yang pasti, Islam hanya menjelaskan prinsip-prinsip bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adalah naif jika kita memaknai mentah-mentah surat Al-Maidah ayat 44 bahwa negara yang tidak memakai hukum Islam adalah negara kafir (sebagaimana telah dijelaskan di awal). ltu adalah tindakan penafsiran tekstual yang tidak bisa mengungkap makna di balik arti.
Pemaknaan secara tekstual ini sama saja dengan kisah Abu Nawas ketika diperintah oleh khalifah Harun al-Rasyid untuk menjaga pintu. Karena Abu Nawas berpikir secara tekstual “menjaga pintu”, pintu itu kemudian dibongkar dibawa ke toilet oleh Abu Nawas karena ia akan buang hajat. Gara-gara pintu dibongkar dan dibawa ke toilet yang cukup jauh, banyak barang berharga di dalam ruang di balik pintu itu yang hilang. Inilah ilustrasi pemahaman tekstual yang kadang dapat menyesatkan.
Atas dasar kaidah fiqih al-hukmu yaduuru ma’al illat nujudan wa adaman (penetapan hukum berdasarkan alasan yang ada), dan kaidah taghayyurul ahkam hi taghayyiril azminah wal amkaninah (perubahan hukum karena perubahan konteks ruang dan waktu), maka pembentukan Negara Islam yang didasarkan atas hukum-hukum Islam menjadi tidak lebih urgen dari pada pembentukan sebuah negara yang dapat memenuhi tujuan hukum Islam (Maqhasid Al Syariah) yang lima. Yaitu: menjaga Agama (Hifdz al-Din); menjaga Jiwa (Hifdz An-Nafs); menjaga Akal Pikiran (Hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (Hifdz al-Nasl); dan menjaga kepemilikan Harta Benda (Hifdz al-Mal). Maqhasid Al Syariah itulah yang sesungguhnya tujuan pembentukan negara, yakni kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan yang melingkupi kebebasan beribadah sesuai syari’ah.
Akhirnya marilah kita tebarkan benih kedamaian Islam. Janganlah kita gampang saling mengkafirkan satu sama lain. NKRI yang kita huni ini sudah final, tidak perlu kita memperdebatkannya. Yang perlu kita lakukan adalah menjaga bagaimana cara agar hukum di negara kita berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam sehingga memberi kesejahteraan kepada seluruh penduduknya. Itulah yang menjadi esensi, subtansi atau ruh didirikannya sebuah Negara.
: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا أَطيعُوا اللَّهَ وَأَطيعُوا الرَّسولَ وَأُولِي الأَمرِ مِنكُم ۖ فَإِن تَنازَعتُم في شَيءٍ فَرُدّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسولِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الآخِرِ ۚ ذٰلِكَ خَيرٌ وَأَحسَنُ تَأويلًا. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ