Nazik al-Mala’ikah, Perintis Puisi Bebas Arab
HIDAYATUNA.COM – Di tanah padang pasir, puisi jadi tradisi yang telah mengakar kuat. Puisi digemakan dari generasi ke generasi. Sekian nama menterang perpuisian muncul dari tanah padang pasir, Arab.
Bahkan sekian nabi yang diutus menyebarkan wahyu kepada umat manusia, di masa silam, pernah peroleh tandingan dari para penyair melalui puisi-puisinya. Kendati upaya tandingan ini gagal, tetapi secara tidak langsung, puisi di masa itu menjadi alat unggul yang digunakan oleh bangsa Arab untuk mengekspresikan sesuatu.
Saya rasa belakangan ini, puisi Arab masih peroleh perhatian yang cukup signifikan, baik dari sisi pengembangan maupun kritik-kritiknya. Meskipun proporsinya sudah agak berkurang. Hal ini mengingat ada sekian keilmuan yang telah berkembang dalam dunia sastra Arab itu sendiri.
Nazik al-Mala’ikah merupakan salah satu yang melakukan pengembangan dan kritik terhadap puisi Arab. Ia dikenal sebagai penggagas puisi bebas. Puisi yang tidak terjerat pada aturan formal, membawa gema kebaruan, dan tentu saja ada pengaruh dari dunia Barat.
Ia lahir pada 23 Agustus 1923 dari keluarga yang terbilang mencintai sastra. Ibunya, Salma Abd al-Razzaq adalah penyair yang menerbitkan kumpulan puisinya, Unsyudah al-Majad. Sedangkan ayahnya menjadi pengajar sastra Arab dan editor. Dari sini benih kecintaan Nazik kepada perpuisian tumbuh dan peroleh dukungan.
Penyair kelahiran Baghdad ini tercatat merampungkan studi berjenjang dari dunia Timur dan Barat sekaligus. Serampungnya meraih gelar sarjana di tanah kelahirannya, ia melanjutkan studinya di Universitas Princenton dan rampung pada 1950 dengan mengambil studi sastra bandingan. Kemudian pada 1954, ia menempuh studinya lagi di Universitas Wisconsin dan rampung pada 1957.
Sekembalinya dari studi, ia peroleh tawaran mengajar dari berbagai kampus di dalam maupun luar negeri. Sampai pada 1985 ia mesti pindah dan menetap di Kairo, Mesir sampai hayatnya karena penyakit mata yang ia derita. Penyakit yang muncul dari dampak kegemarannya membaca buku yang melebihi batas normal. Nazik al-Mala’ikah tutup usia pada 20 Juni 2007 dengan usia 84 tahun.
Gema Puisi Bebas Nazik al-Mala’ikah
Achmad Atho’illah dalam artikelnya Nazik al-Mala’ikah: Sepintas Biografi dan Pemikirannya tentang Puisi Bebas (2009), menjelaskan ihwal puisi-puisi karya Nazik di dunia Arab. Ia menandai kumpulan puisi Nazik muncul kali pertama pada 1947 dengan ‘Asyiqah al-Lail.
Secara umum, kumpulan puisinya yang pertama ini lekat dengan aliran romantisme. Di tahun 1930-an sampai 1940-an, perpuisian di Arab memang didominasi oleh aliran tersebut. Hanya saja, puisinya berjudul al-Kulira di kumpulan ‘Asyiqah al-Lail, dinilai oleh para sastrawan kala itu sebagai gerakan pembaharu. Puisi al-Kulira jadi pemantik munculnya gaya puisi bebas (al-syi’r al-hurr).
Puisi al-Kulira diciptakan oleh Nazik berdasarkan keresahan nyata yang ia alami. Karena di tahun 1947 itu, wabah kolera masuk dari Mesir sampai Iraq, tanah kelahirannya dan mengambil nyawa manusia dengan cepat. Maka puisinya yang satu ini juga terasa agak emosional: Malam tenang // dengarkan efek gema suara rintihan // di gelap gulita di bawah kesunyian, di atas mayat-mayat.
Di tahun-tahun selanjutnya, Nazik semakin produktif menulis puisi sesuai dengan kaidah yang ia bangun. Guna menyokong basis keilmuannya, dalam karyanya yang kedua Syazaya wa Ramad (1949), Nazik menambahkan teori matra puisi baru di bagian pengantarnya. Selain buku-buku puisi, ia juga menerbitkan buku kritik sastra, Qadaya al-Syi’r al-Mu’asir (1962). Buku ini juga mengguncang perpuisian di Arab yang dinilai telah mapan dengan sekian aturannya.
Kendati kiprah Nazik dalam perpuisian di dunia Arab cukup menterang, tidak sedikit pihak yang mengkritik gagasan puisi bebasnya. Tetapi saya rasa wajar karena, setiap penggagas pertama mesti peroleh kritik dan pengembangan dari pemikir selanjutnya. Bila tidak ada, maka bisa dipastikan gagasannya tidak menarik, tidak relevan, dan tidak ada kebaruan.
Wallahul’alam