Natal dan Hal-hal yang Belum Selesai
HIDAYATUNA.COM – Meski tidak kaget, saya tetap risih tatkala salah seorang katib Jumat mengatakan bahwa siapa yang mengucapkan natal sama dengan menyetujui ketuhanan Yesus. Dampaknya tidak main-main, siapa saja yang mengucapkan dua patah kata ‘selamat’ dan ‘natal’ maka ia telah menyekutukan Allah.
Tentu, posisi saya berada di seberangnya, meski tidak menganggap bahwa posisi ini adalah paling benar. Namun, pernyataan yang dibuat-buat sebagai konsekuensi dari mengucapkan natal saya kira terlalu berlebihan. Tidaklah sampai kepada derajat kekafiran, orang yang hanya mengucapkan selamat terhadap orang lain.
Dengan catatan, ia masih meyakini Tuhannya sendiri. Lagian, orang bodoh mana yang percaya bahwa mengucapkan sama dengan berikrar pada Yesus?
Desember adalah bulan yang rumit atau lebih tepatnya dibuat rumit. Perdebatan terjadi sepanjang tahun—dengan topik dan narasi yang sama. Seorang teman di warung kopi mengatakan suatu hadis sapu jagat; barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.
Ia mengutip hadis itu dengan bahasa Arab, meski saya tahu hafalannya sangat buruk. Saya menahan ketawa, meski saya lebih hafal soal hadis sapu jagat itu di luar kepala.
Ia kemudian membuat semacam alegori “Jika saya mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu, saya berarti mengakui kelahiran kamu. Hal itu sama juga dengan ucapan natal.” Saya menimpali dengan mengatakan, bahwa mengucapkan natal selama bertahun-tahun tidak membuat iman saya berkurang.
Memahami Konteks ‘Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku’
Cerita-cerita semacam itu akan terus terlontar dari siapa saja, dari orang-orang terdekat kita barangkali. Kalau mereka meyakini itu adalah hal yang benar, tanpa menegasi posisi orang lain, mungkin cukup itu dianggap sebagai kemajemukan perspektif.
Namun, ketika hendak menegasi posisi yang diseberangnya dan hanya menganggap bahwa posisinya sendiri yang mewakili apa kata Tuhan, di situlah permasalahan mencolok. Saya tahu, ini hanya sebuah perbedaan penafsiran terhadap suatu realitas—atau ayat bahkan.
Mereka menggunakan Q.S:109(6) sebagai bahan pentungan: bagimu agamamu, yo agamaku urusanku. Demikian kira-kira terjemahan bebasnya.
Namun, sebetulnya konteks yang mengekang ayat itu tidak sama degan konteks di mana ayat itu dijadikan sebagai pentungan. Tidak ada unsur untuk mencampurkan peribadatan muslim dengan nonmuslim.
Hanya dan hanya sesederhana mengucapkan. Jika, sebagai contoh, salat sambil menyanyikan lagu kerohanian mungkin bisa dipukul pakai ayat itu.
Akan tetapi, untuk sekadar ucapan, hal demikian saya rasa-rasa sangat berlebihan. Apalagi yang dipentung juga masih salat di masjid yang sama dan mengikrarkan ketuhanan Allah.
Perdebatan Hukum Mengucapkan Natal
Sementara hal yang belum selesai adalah perdebatan soal hukum itu. Di kalangan para ulama sudah jelas bahwa terkait pengucapan menjadi hal yang ikhtilaf.
Namun, masih saja terdapat beberapa orang yang tidak capek-capek untuk menyatukan pandangan, bahwa mengucapkan natal menjerumuskan kepada liang kekafiran dan orang yang terjerumus mirip babi-babi nyemplung ke dasar kali. Gelap dan hanya menunggu azab Allah. Demikianlah, pernyataan mereka mengandung asumsi, bahwa kekafiran akan diganjar dengan azab pedih.
Sebetulnya, saya bisa berbaik sangka dengan meyakini bahwa orang-orang yang hendak menyatukan pandang itu tidak membaca lebih lanjut mengenai perspektif yang majemuk. Kemajemukan dalam melahirkan hukum yang berangkat dari nas yang sama perlu kiranya mendapat tempat.
Sampai di sini saya teringat sekelompok mahasiswa yang baru mendirikan partai untuk mendapat jabatan kampus berteriak: kestabilan lahir dari perbedaan, bung! Hal itu, yang tidak pernah bisa dipahami banyak orang setiap bulan desember.
Jangankan memahami titik perbedaan, ada yang berbeda sedikit saja sudah menaruh tatapan miring. Sementara, lembaga-lembaga fatwa juga bersikap tidak jauh beda terburu-burunya sehingga, fatwa-fatwa yang ditandatangani dijadikan sebagai alat legitimasi kaum awam, sebagai kebenaran tunggal.
Semestinya, lembaga fatwa harus memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Utamanya ihwal ikhtilaf terkait natal ini. Jika hanya menggunakan satu kacamata saja, kemungkinan besar kemajemukan tidak akan mendapat tempat.
Padahal, mau mengucapkan natal atau tidak, jika imannya masih sama tentu tidak akan menjadi persoalan lebih lanjut. Toh, persoalan iman juga tidak ada yang tahu. Maka, tidak sepantasnya juga dihakimi dengan apa yang tampak. Iman soal dapur dan terletak di dalam, ucap Sujiwo Tejo. Kita hanya tamu, mestinya hanya melihat yang tampak di depan.