Nasehat Seorang Sufi Kepada Khalifah Harun al-Rasyid
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dikisahkan dalam kitab Tadzkiratul Aulia, Syaqiq al-Balkh, seorang sufi terkemuka mengadakan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Ketika sampai di kota Baghdad, Khalifah Harun al-Rasyid memanggilnya untuk menghadap ke Istana.
Setelah menghadap dan kemudian berjumpa dengan Harun al-Rasyid, bertanyalah Harun kepada Syaqiq al-Balkh: “Apakah engkau Syaqiq al-Balkh seorang pertapa?”
“Aku adalah Syaqiq al-Balkh, tetapi aku bukan seorang pertapa,” jawab Syaqiq al-Balkh.
Kemudian Harun al-Rasyid berkata “Berikanlah petuah kepadaku wahay Syaqiq!”
“Jika itulah keinginanmu, maka dengarkanlah!” Kata Syaqiq.
Kemudian Syaqiq al-Balkh memulai petuahnya kepada Harun al-Rasyid.
“Allah yang Maha Besar telah memberi kepadamu kedudukan Abu bakar yang selalu setia dan Allah menghendaki kesetiaan yang sama darimu.
Allah telah memberi kedudukan Umar yang terbukti dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan, Allah menghendaki engkau dapat pula membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Allah telah memberimu kedudukan Utsman yang memperoleh cahaya kesederhaan dan kemuliaan, dan Allah menghendaki agar engkau juga bersikap sederhana dan mulia.
Allah telah memberikan kepadamu kedudukan Ali yang diberkahinya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, dan Allah menghendaki agar engkau mampu bersikap bijaksana dan adil.”
“Lanjutkanlah!” Harun. “Allah mempunyai sebuah tempat yang diberi nama neraka,” kemudian Syaqiq al-Balkh meneruskan petuahnya.
“Allah telah mengangkatmu menjadi penjaga pintu neraka dan mempersenjatal dirimu dengan tiga hal: yaitu kekayaan, pedang dan cambuk.
Allah memerintahkan Dengan kekayaan, pedang dan cambuk ini usirlah umat manusia dari neraka.
Jika ada orang yang datang mengharapkan pertolonganmu, janganlah engkau bersikap kikir, jika ada orang yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cambuk ini.
Jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang ini! Jika engkau tidak melaksanakan perintah Allah itu, niscaya engkau akan menjadi pemimpin orang-orang yang masuk ke dalam neraka itu.”
Harun al-Rasyid kembali mendesak Syaqiq untuk melanjutkan.
Kemudian Syaqiq al Balkh melanjutkan.
Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya ia tidak akan cemar karena kekeruhan anak-anak sungai tersebut. Apabila telaga itu keruh, betapakah mungkin anak-anak sungai tersebut akan bening?”
“Lanjutkanlah!” Desak Harun al-Rasyid kembali.
“Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan seteguk air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?” tanya Syaqiq kepada Harun
“Berapapun yang dimintanya,” jawab Harun.
Kemudian Syaqiq meneruskan. “Seandainya ia baru menjual air itu seharga setengah kerajaanmu?”
“ Aku akan menerima tawarannya itu,” jawab Harun dengan tegas.
“Lalu seandainya air yang telah engkau minum itu tidak bisa keluar dari dalam tubuhmu , dan engkau terancam binasa,” Syaqiq al-Balkh kemudian melanjutkan kembali petuahnya.
“Sesudah itu datang pula seseorang menawarkan bantuannya kepadamu dan mengatakan akan menyembuhkanmu tetapi dengan syarat harus menyerahkan dari setengah dari kerajaanmu kepadaku,” Apakah jawabanmu?”
“Akan kuterima tawaranitu,” jawab Harun al-Rasyid.
“Maka dari itu, mengapa engkau sangat membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang engkau minum lantas engkau keluarkan kembali?” Tanya Syaqiq kepada Harun.
Pada akhirnya khalifah Harun al-Rasyid menangis dan termenung dengan petuah Syaqiq kepadanya dan selanjutnya melepaskan Syaqiq al-Balkh dengan penuh kehormatan.
Hingga dikemudian hari kisah ini sangat terkenal serta Syaqiq al-Balkh menjadi salah satu ulama sekaligus sufi terkemuka pada masa itu. []