Nafkahi Istri Nomor Dua, Ini Urutan Kewajiban Nafkah Dalam Islam
HIDAYATUNA.COM – Nafkah merupakan sebuah kewajiban yang diberikan oleh seseorang sebagai bentuk pemenuhan tanggugjawab. Nafkah dapat berupa materi atau non materi. Berdasarkan jenisnya nafkah diberikan berdasarkan beberapa faktor diantanya faktor pernikahan, faktor keluarga dan faktor kepemilikan (budak).
Nafkah pernikahan adalah kewajiban seorang suami untuk memenuhi kebutuhan hidup kepada seorang Istri. Tanggung jawab nafkah tersebut dibebankan kepada suami yang merupakan kepala keluarga.
Sementara nafkah berdasarkan keluarga adalah kewajiban memenuhi kebutuhan karena hubungan darah. Misalnya anak kepada orang tuanya sendiri dalam keadaaan membutuhkan. Juga kepada kerabat dan sanak saudara yang membutuhkan sesuai urutan kewajiban menafkahi.
Nafkah kepemilikan yaitu pemilik budak bertanggung jawab memenuhi kebutuhan budaknya. Kepemilikan terhadap samba sahaya menjadi tanggung jawab tuannya.
Islam membebankan kewajiban nafkah secara berurutan berdasarkan prioritas utama. Pertama, kewajiban menafkahi paling utama adalah diri sendiri. Seseorang harus menafkai dirinya sendiri baru menafkahi orang lain. Sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
Artinya: “Gunakanlah ini untuk memenuhi kebutuhanmu dahulu, maka bersedekahlah dengannya untuk mencukupi kebutuhan dirimu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada keluargamu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada ini dan itu.” (HR Muslim).
Kedua, menafkahi Istri. Sebagaimana yang dijelaskan diatas nafkah kepada Istri ini wajib karena faktor pernikahan. Dimana suami adalah kepala keluarga dan tulang pungung keluarga.
Kewajiban pemberian nafkah dalam hal ini dimaksudkan untuk pernikahan yang sah sesuai syariat Islam. Dijelaskan dalam Alquran kewajiban menafkahi suami
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(QS An-Nisaa: 34)
Ketiga, nafkah kepada Keluarga. Kewajiban menafkahi ini berdasarkan hubungan darah, dalam madzhab Syafi’i yang wajib dinafkahi dalam hal in adalah orang tua, anak, cucu dan kakek (ushul dan Furu’).
Menurut madzhab Maliki yang berhak dinafkahi hanya orang tua dan anak. Sementara meurut Madzhab Hanafi yang wajib dinafkahi yaitu orang tua, anak, cucu dan kakek juga kerabat pada jalur simpang dan kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu (dzawi al-arham). Madzhab hambali lebih luas lagi yaitu kerabat yang ada dalam jalur nasab wajib dinafkahi.
Keempat, Nafkah Kepemilikan. Nafkah ini dalam berbagai penjelasan kitab klasik zaman dahulu diumpamakan pemberian nafkah kepada budak. Dalam konteks sekarang yaitu menfkahi hewan piaraan dengan memberi makan dan minum.
Dalam kewajiban memberi nafkah ini Islam mengajarkan tanggung jawab. Dimana tanggung jawab paling utama adalah kepada diri sendiri, baru kemudian diluar dirinya. Beban tanggung jawab yang demikian bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia.