Nabung 16 Tahun Kakek-Nenek Penjual Bubur Naik Haji
Kisah tukang bubur naik haji tak hanya ada di sinetron yang tayang berseri di layar televisi. Di Jombang, kenyataan itu benar adanya.
Menunaikan ibadah haji ke baitullah merupakan dambaan kaum muslim. Samsuri (72) dan Siti Mukianik (67), warga Desa/Kecamatan Mojowarno, pasangan lanjut usia yang menjadi CJH (Calon Jemaah Haji) dan berangkat ke tanah suci pada 23 Juli 2019. Mereka merupakan penjual bubur di Pasar Mojowarno. Uang hasil berjualan bubur itulah yang mereka gunakan untuk membayar ONH (Ongkos Naik Haji).
Samsuri dan Mukianik mengumpulkan biaya naik haji sedikit demi sedikit. Prosesnya puluhan tahun. Kini, Samsuri dan Mukianik memanen hasil jerih payahnya. Mereka bisa menunaikan rukun Islam kelima. Kedua lansia itu sibuk menata perbekalan, Kamis (11/7). Dikutip dari Kumparan,com
Sejumlah pakaian mereka masukkan ke dalam koper berukuran besar. Tidak ketinggalan, perbekalan lainnya juga mereka simpan di koper itu. Sesekali, tas kecil sebagai tanda pengenal ia pasang menggantung di leher.
Pada permukaan tas tersebut terlihat jelas foto Samsuri dan bendera merah putih. Begitu juga tas leher milik Mukianik. Samsuri dan istrinya seakan tidak sabar mengenakan tanda pengenal itu.
“Berangkatnya 23 Juli 2019. Semua perbekalan sudah siap. Termasuk seragam dan tas sebagai tanda pengenal,” kata Mukianik sembari mencopot tas yang tergantung di lehernya.
Mukianik kemudian berkisah tentang lika-liku perjalanan hidupnya hingga bisa berangkat ke tanah suci. Semua itu tidak lepas dari kerja keras memeras keringat bersama sang suami. Mukianik mulai berjualan bubur di Pasar Mojowarno pada 2003. Ketika itu pula Samsuri dan Mukianik sudah menabung untuk berangkat haji.
Bubur olahannya itu sudah memikat hati pelanggan. Laris manis setiap hari. Hasil dari penjualan tersebut dia gunakan untuk menopang ekonomi keluarga. Termasuk menyekolahkan enam anaknya hingga lulus SMA. Sedangkan sisanya ditabung tiap hari, besarannya antara Rp 10 ribu- 15 ribu.
“Awalnya uang yang kita sisihkan itu ditabung di rumah. Saya taruh di bawah kasur. Ketika sudah terkumpul selama satu bulan, kemudian kita titipkan ke biro bimbingan haji atau KBIH,” kata Mukianik mengenang.
Waktu terus berjalan, uang tabungan kakek-nenek dengan 13 cucu ini semakin banyak. Pada akhir 2010, Samsuri dan Mukianik resmi mendaftarkan diri sebagai calon jemaah haji. Meski begitu, pasutri asal Mojowarno ini tak lelah mengumpulkan uang lewat tabungan. Setelah menanti 9 tahun sejak 2010, keduanya mampu melunasi seluruh biaya menunaikan rukun Islam kelima pada tahun 2019.
“Pada 2019 ini pula, kami dinyatakan berhak berangkat. Doakan semoga kami menjadi haji yang mabrur,” kata Samsuri dan Mukianik, hampir bersamaan.
Samsuri mengamini cerita sang istri. Bahkan, Samsuri menambahkan, lika-liku perjuangannya sebelum berjualan bubur di pasar Mojowarno. Samsuri berkisah, dirinya sudah berjualan bakso keliling sejak 1970. Mulai berjualan dengan cara dipikul, hingga keliling menggunakan gerobak. Dari desa satu, ke desa lainnya. Dari gang satu, ke gang lainnya.
Dari usaha itu, Samsuri mampu membangun rumah, juga menyekolahkan semuanya anak-anaknya. Berdagang bakso tersebut dijalani Samsuri selama 30 tahun. Tentu saja, puluhan tahun kemudian kondisi fisik warga Mojowarno ini tak sekokoh sewaktu muda.
Makanya, sekitar tahun 2000 dirinya banting setir. Tongkat estafet berjualan bakso diteruskan oleh salah satu anaknya. Sedangkan Samsuri memilih berjualan gorengan di sebuah sekolah yang tidak jauh dari rumah.
Namun, berjualan gorengan bagi Samsuri tak ‘seindah’ menjadi tukang bakso. Hingga akhirnya pada 2003, bapak enam anak ini berhenti berjualan gorengan. Sebagai gantinya, Samsuri bersama sang istri berjualan bubur di pasar Mojowarno.
“Sampai sekarang ini masih jualan bubur. Namun sekarang libur dulu, karena mau berangkat ke tanah suci. Sekali lagi, doakan kami menjadi haji mabrur,” kata Samsuri menutup kisahnya.