Muslim Rohingya di India: Corona? Lapar akan Bunuh Kami Lebih Dulu
HIDAYATUNA.COM – Selama seminggu terakhir, Din Mohammad, pria berusia 59 tahun, yang tinggal bersama istri dan lima anaknya di kamp pengungsian Madanpur Khadar di ibukota India, New Delhi, berpatroli di sekitar gubuk-gubuk pengungsian Muslim Rohingya untuk memastikan orang-orang disana sudah melakukan social distancing dan menjaga gubuk mereka yang terbuat dari kayu dan plastik seprai tetap bersih.
Tapi dia tahu bahwa langkah-langkah ini sangat sulit untuk diterapkan di kamp-kamp pengungsian yang padat seperti di tempat mereka, dimana orang hidup dalam kondisi berdempetan dan kekurangan fasilitas dasar seperti toilet dan air bersih.
“Kami seperti duduk di atas tong berisi mesiu. Tidak membutuhkan waktu yang lama sebelum ini meledak,” kata Mohammad.
Saat ini, hampir 40.000 pengungsi Muslim Rohingya yang tinggal di berbagai kamp pengungsian yang berada di India merasa sangat khawatir akan bencana kemanusiaan menjulang tinggi di atas mereka, saat mereka dibiarkan untuk berjuang seorang diri dalam melawan pandemi virus corona yang mematikan.
Pada hari Selasa lalu, Perdana Menteri India Narendra Modi telah mengumumkan status lockdown secara ketat bagi 1,3 miliar warga India, hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus yang telah menewaskan lebih dari 30.000 orang di seluruh dunia.
Tapi, langkah itu telah berubah menjadi sebuah tragedi, dengan puluhan ribu pekerja migran melarikan diri dari kota-kota, dan banyak dari mereka yang terpaksa untuk berjalan ratusan kilometer demi mencapai rumah mereka, menyusul penutupan dari bisnis dan pabrik-pabrik tempat mereka bekerja.
Para kritikus pun telah menuduh bahwa pemerintah terlalu terburu-buru dengan penetapan status lockdown tanpa rencana yang tepat.
Badar Alam, seorang pria dari kamp pengungsian Nuh, yang bekerja di sebuah lokasi konstruksi sebagai pekerja harian, saat ini tidak dapat bekerja lagi akibat status lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah India. Pria berusia 31 tahun itu mengatakan bahwa keluarganya, termasuk istri dan tiga anaknya, selama seminggu belum bisa mendapatkan makan makanan yang layak.
Di rumah Alam, tersisa dua kilo beras, 250 gram lentil, dan 250 rupee (IDR54.376), tanpa adanya prospek pekerjaan yang jelas untuk setidaknya dua minggu ke depan.
“Dengan apa aku harus memberi makan anak-anakku? Batu?” kata Alam.
Sekitar 1.200 keluarga Muslim Rohingya yang tinggal di distrik Jammu di wilayah Kashmir yang disengketakan, yang bergantung pada pabrik kacang kenari untuk bekerja sehari-harinya, juga kekurangan beras. Para pengungsi mengatakan bahwa ini hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum mereka harus tidur dengan perut kosong.
Hafiz Mubashar, seseorang yang mengelola sebuah sekolah Islam dengan fasilitas asrama untuk anak-anak dari Muslim Rohingya di wilayah Bathindi, kota Jammu, mengatakan bahwa dia telah menutup kelasnya dari seminggu yang lalu. Tetapi selama tiga hari terakhir, ia telah menerima telepon dari para siswanya yang sedang mencari bantuan dalam penyediaan nasi dan tepung untuk keluarga mereka.
“Lockdown ini telah memperburuk permasalahan makanan kami. Banyak dari kami yang sudah (di titik) kelaparan, sementara yang lainnya telah bergeser untuk hanya makan satu kali sehari, atau terpaksa mengurangi porsi makanan mereka,” kata Mubashar.
Mubashar percaya bahwa tujuh hari ke depan akan sangat penting bagi komunitas Muslim Rohingya di India, saat sebagian besar keluarga disana akan segera kehabisan persediaan beras yang tersisa.
“Kami sedang berjuang (melawan) kelaparan dan virus corona pada saat yang bersamaan,” kata Mubashar.
“Tapi saya pikir rasa lapar akan membunuh kami (terlebih dahulu) sebelum virus (corona) melakukannya,” tambahnya.
Sumber : Aljazeera.com