MUI Pusat: Setiap Doa Mengandung Dimensi Teologis dan Ibadah
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengimbau agar para pejabat tak memakai salam pembuka atas semua agama saat memberi sambutan resmi, dan hal itu disambut baik oleh MUI pusat.
Selian itu, MUI pusat, Sekjen MUI Anwar Abbas menilai imbauan tersebut kalau umat Islam menjadi tercerahkan mengenai bagaimana harus bersikap, dah tentu itu sangat bagus. Karena di dalam setiap doa itu dalam Islam ada dimensi teologis dan dimensi ibadahnya.
“Adanya fatwa dari MUI Jatim ini menjadi penting karena dengan adanya fatwa tersebut maka umat tidak bingung sehingga mereka bisa tertuntun secara agama dalam bersikap dan dalam membangun hubungan baik dengan umat dari agama lain,” ungkapnya, di Jakarta, Minggu (10/11/2019).
Dalam Islam, lanjut Sekjen MUI itu, setiap doa mengandung dimensi teologis dan ibadah. Umat Islam hanya diperbolehkan berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah. Dengan begitu, berdoa kepada Tuhan dari agama lain tidak dibenarkan.
Oleh karena itu, kalau ada orang Islam dan orang yang beriman kepada Allah, berdoa dan meminta pertolongan kepada selain Allah SWT, maka Tuhan pasti murka dan akan menimpa diri mereka.
“Seorang muslim dalam berdoa jangan meminta tolong kepada selain Allah dan atau kepada Tuhan dari agama lain. Apalagi UUD 1945 pasal 29 ayat telah menjamin kita untuk beribadah dan berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang kita anut,” tuturnya.
Lebih lanjut, mengenai toleransi masing-masing agama memiliki ajaran dan sistem kepercayaan sendiri-sendiri. Karena, setiap orang berhak mengucapkan salam berdasarkan agamanya masing-masing.
“Kita tidak boleh memaksakan kepercayaan dan keyakinan suatu agama kepada pengikut agama lain. Untuk itu, dalam hal ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan masing-masing dari kita,” jelasnya.
“Harus bisa dalam kehidupan kita sehari-hari, saling menghormati ucapan salam yang disampaikan oleh pemeluk suatu agama dengan mempergunakan salam yang sudah lazim dalam agamanya tanpa harus menambah dan mengucapkan salam yang akan disampaikannya dengan salam dalam agama lain,” tambahnya.
Di lain sisi, senada dengan Wasekjen MUI Pusat Misbahul Ulum yang mengatakan bahwa adanya imbauan tersebut agar para pejabat tak memakai salam pembuka semua agama saat sambutan resmi juga telah menjadi perhatian MUI Pusat.
“Itu memang juga menjadi perhatian dari MUI Pusat, namun posisi saat ini adalah masih dalam tahapan kajian dari komisi fatwa, setelah itu nanti akan keluar keputusan, bisa berbentuk fatwa atau pedoman mengucap salam bagi kaum muslimin,” ujar Misbahul.
Imbauan ini terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim, KH Abdusshomad Buchori. Saat dikonfirmasi, Kiai Somad, sapaan akrabnya, membenarkan surat imbauan ini. Dan ini merupakan salah satu hasil dari Rakernas MUI di Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu.
“Jadi begini, kami menandatangani atau membuat seruan itu karena doa itu adalah ibadah, misalnya saya terangkan salam, ‘Assalamualaikum’ itu doa, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah,” papar Kiai Somad kepada awak media, di Surabaya, Minggu (10/11/2019).
“Kalau saya menyebut ‘Assalamualaikum’ itu doa semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam. Jadi ketika umat muslim bertemu itu diawali dengan itu, semoga mendapat keselamatan yang diberikan oleh Allah,” imbuhnya.