Muharram, Bulan Sebaik-Baik Puasa Sunnah Setelah Bulan Ramadhan

 Muharram, Bulan Sebaik-Baik Puasa Sunnah Setelah Bulan Ramadhan

Independensi Sunnah dalam Penetapan Hukum

Tak lama lagi, kita akan memasuki tahun baru Hijriyyah (1 Muharram 1441 H), satu dari empat bulan mulai (al-haram) yang memiliki banyak keutamaan dan keistimewaan. Mengenai bulan Muharram ini Allah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَى عَشَرَ شَهْرَا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَواتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Sesungguhnya hitungan bulan di sisi Allah ada 12 bulan, dalam ketentuan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang mulia.” (QS. al-Taubah:36)

Rasululullah SAW. menjelaskan 4 bulan mulia (al-haram) yang dimaksud adalah bulan Dzulqa’dah, Dzuhlhijjah, Muharram dan Rajab.

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ. متفق عليه

Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah Muharram, Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al-akhir) dan bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kemulian bulan Muharram begitu memancing perhatian Rasululullah SAW. Sampai-sampai beliau menyebutnya dengan bulan Allah (syahr Allah) sebagaimana sabda beliau:

اَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ. رواه مسلم

Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadlan adalah puasa di bulan Allah yakni bulan Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardlu adalah shalat malam.”(HR. Muslim).

Di antara keutamaan bulan Muharram adalah dilipatgandakannya pahala amal shalih dan dosa akibat kemaksiatan. Qatadah sebagaimana dikutip Ibnu Katsir mengatakan:

إن العمل الصالح والأجر أعظم في الأشهر الحرم. والذنب والظلم فيهن أعظم من الظلم فيما سواهن، وإن كان الظلم على كل حال عظيم. ولكن الله يعظم من أمره ما شاء.

“Sungguh amal shalih dan pahala akan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram. Begitu juga dosa dan kezaliman yang dilakukan merupakan seberat-berat kesalahan daripada bulan-bulan yang lain. Kezaliman apapun termasuk kesalahan berat. Akan tetapi Allah SWT. memberatkan apapun yang Dia kehendaki.”

Keutamaan lain di bulan Muharram adalah memperbanyak puasa. Rasululullah menyebutkan sebaik-baik puasa setelah bulan ramadhan adalah puasa di bulan Allah/Muharram (afdhalu al-siyam ba’da ramadhan syahru Allah al-Muharram). Lalu pertanyaannya, apakah anjuran berpuasa di bulan Muharram dikerjakan satu bulan penuh?. 

Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan bahwa alasan Rasulullah lebih sering berpuasa di bulan Sya’ban dibanding bulan Muharram disebabkan dua hal;pertama, bisa jadikarena tahunya beliau tentang keutamaan puasa di bulan Muharram terjadi di akhir kehidupan beliau (sehingga beliau belum sempat berpuasa). Kedua, disebabkan karena adanya uzur seperti bepergian, sakit atau yang lain. 

Ibnu Rajab dalam Lathaif al-Ma’arif mengatakan bahwa hadis di atas dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik puasa sunnah setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Ia kemudian melanjutkan bahwa kemungkinan yang dimaksud adalah puasa sebulan penuh di bulan Muharram. Nuruddin al-Mala al-Harawi dalam Mirqat al-Mafatih, komentar (syarh) terhadap kitab Misykat al-Mashabih juga mengatakan sama (kesunahan puasa di bulan Muharram adalah satu bulan penuh).

Hanya saja, dari keseluruhan hari di bulan Muharram, ada penekanan untuk berpuasa di tanggal 10 Muharram (asyura’). Dan para ulama sepakat bahwa hukum berpuasa di hari asyura’ adalah sunnah. Nabi Musa, orang-orang Yahudi bahkan orang Quraisy di zaman Jahiliyyah telah terbiasa puasa di hari asyura’ sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap hari itu. Adapun mengenai pahala puasa Asyura’ dijelaskan Rasululullah sebagai berikut:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. رواه مسلم

Puasa hari Arafah saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tuhan sebelum dan sesudahnya. Dan puasa hari Asyura’ saya berharap kepada Allah dapat mengapus dosa satu tahun sebelumnya. HR. Muslim.

Kemudian, agar tidak menyamai orang Yahudi yang hanya mengkhususkan puasa Asyura’, ulama menganjurkan agar mengiringi puasa di hari Tasu’a (tanggal 9 Muharram). Pendapat ini disimpulkan dari hadis riwayat Ibnu Abbas yang berbunyi:

 حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ: فإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ  إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ اَلْعَامُ اَلْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم. رواه مسلم

Ketika Rasulullah SAW. berpuasa hari asyura’ dan memerintahkan (sahabat-sahabatnya) untuk berpuasa, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah hari asyura’ itu hari yang diagungkan orang-orang yahudi dan orang-orang Nashrani?.” Lantas beliau bersabda, “Kalau begitu tahu yang akan datang insyallah, kami akan berpuasa pada hari Tasu’a.” Ibnu Abbas berkata, “Belum sampai tahun berikutnya datang, Rasulullah SAW. wafat. HR. Muslim.

Lalu bagaimana hukum berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram saja?. Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm mengatakan bahwa berpuasa hanya pada hari asyura’ tidak ada masalah (la ba’sa). Artinya, kita tidak perlu mempermasalahkan jika ada orang yang hanya berpuasa asyuro saja, tanpa diiringi puasa satu hari sebelum atau setelahnya.

Menurut imam al-Nawawi dalam al-Majmu’, hikmah dianjurkannya puasa Tasu’a (tanggal 9 Muharram) adalah; pertama, agar tidak menyamai puasanya orang-orang Yahudi. Kedua, untuk menyambung puasa Asyura’ dengan hari yang lain. Ketiga, untuk mengantisipasiberkurang hilal sehingga akan terjadi kesalahan dalam menetapkan hitungan hari kesembilan sebenarnya sudah masuk hari kesepuluh.
Wallahu A’lam       

Oleh: Abdul Wadud Kasful Humam (Staf Pengajar STAI Al Anwar Sarang)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *