Muhammadiyah: Kesehatan Demokrasi ditopang Moderasi Islam
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pengurus Pusat Muhammadiyah menilai kesehatan demokrasi di Indonesia ditopang oleh moderasi umat Muslim. Dengan begitu, penelitian tentang Islam di Indonesia tidak perlu dicurigai.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti melihat bahwa agenda penelitian mengenai Islam di Indonesia tidak perlu dicurigai, bahkan perlu diterima secara terbuka dan kritis oleh para da’i sebagai bahan evaluasi dan pemandu langkah untuk memperkuat gerakan dakwah.
“Islam Indonesia menjadi komoditas Islam yang paling seksi. Sering menjadi objek penelitian baik dalam konteks strategis, politis maupun relasi negara lain,” kata Abdul Mu’ti dalam keterangan resminya, dilansir HIDAYATUNA.COM, Kamis (16/1/2020).
Abdul Mu’ti mengungkapkan, awal reformasi yang dikhawatirkan (peneliti) adalah kaitan Islam dengan demokrasi, HAM, dan gender. “Tapi karena terbukti Islam Indonesia tidak bermasalah, kemudian bergeser temanya kepada radikalisme,” ungkapnya.
Membandingkan dengan Timur Tengah, Mu’ti menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia memiliki kelebihan dalam sifat toleran, kerukunan dan moderasi sehingga program deradikalisasi yang selalu dialamatkan kepada muslim Indonesia dinilainya tidak tepat.
“Di Indonesia, Islam menjadi kekuatan utama demokrasi yang pelaksanaannya tidak berdarah-darah seperti yang dikhawatirkan para peneliti Barat bahwa Islam tidak akan mampu berjalan selaras dengan demokrasi seperti di Timur Tengah,” ungkap Mu’ti.
Dalam diseminasi hasil penelitian “Peran Organisasi Islam Moderat dalam Menangkal Ekstrimisme Kekerasan: Studi Kasus Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah” International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Rabu (15/1) tersebut Mu’ti mengutip peran Muhammadiyah terhadap moderasi Islam sekaligus kritik terhadap isu radikalisme.
“Daripada memakai istilah deradikalisasi, Muhammadiyah memperjuangkan penggunaan istilah moderisasi dan Wasathiyah Islam karena memiliki konstruksi teologis yang sangat banyak rujukannya,” tuturnya.
“Dimulai dari Muktamar Makassar 2015, gagasan berkembang menjadi Bogor Message yang menjadi sumbangan Indoneisa dalam moderasi beragama di tingkat global yang terkait dengan Amman Message. Bahkan sekarang menjadi dokumen negara sebagai bahan diplomasi,” jelas Abdul Mu’ti. (AS/HIDAYATUNA.COM)