Muhammad Zubair Abdul Karim

HIDAYATUNA.COM – Kiai Muhammad Zubair Abdul Karim, yang biasa dipanggil Mbah Muzakar, adalah salah seorang Pengasuh Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan, Bungah, Gresik, Jawa Timur. Beliau adalah salah seorang pengurus Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Ulama ahli falak ini menulis kitab ittifaq Dzatil-bain fi Ma’rifati Hisabi-l-Hilal wal Khusufain (mempertemukan dua hal yang bertentangan dalam pengetahuan tentang bulan dan peristiwa dua gerhana, bulan dan matahari) yang hingga kini masih menjadi rujukan dalam ilmu hisab dan perbintangan di Indonesia.
Kiai Muhammad Zubair bin KH Abdul Karim bin KH Muhammad Shalih Tsani lahir di Desa Sampurnan, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik pada hari senin kliwon tanggal 7 syawal 1339 H/13 Juni 1921 dari pasangan KH Abdul Karim dan Nyai Sa’diyah. Ayahnya adalah salah seorang ulama Bungah dan putra dari KH Muhammad Shalih Tsani (wafat 1902), pengasuh ke-5 Pesantren Qomaruddin Sampurnan, Bungah, Gresik.
Sejak kecil, Kiai Muhammad Zubair berguru kepada ayahnya sendiri di lingkungan Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah, ia dikenal sebagai orang yang arif, gigih, tekun, giat, cerdas, sederhana, bijaksana dan sangat demokratis serta penuh kewibawaan. Menurut penuturan putri kedua beliau, Nyai Afiyah, sejak kecil Kiai Muhammad Zubair masih belum bisa membaca dan menulis. Karena itu saat usianya 10 tahun, beliau diajak oleh ayahnya untuk sowan ke kediaman KH Murtadlo, salah seorang ulama Bungah, dan diberi air ludah. Setelah beliau pulang ke rumah, secara mengejutkan Kiai Zubair Abdul Karim sudah bisa membaca dan menulis.
Selama ngaji di Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan, Kiai Muhammad Zubair memperoleh pengetahuan dasar-dasar pemahaman mengenai Islam, berkenalan dengan masyarakat, dan juga mulai mengenal organisasi Nahdatul Ulama (NU) dari pamannya, KH Ismail bin KH Muhammad Shalih Tsani, yang merupakan pengasuh ke-6 dan ke-5 Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan. Beliau selalu dibawa oleh ayahnya maupun pamannya untuk mengikuti acara-acara NU di daerah Gresik, yang dikenal sebagai daerah santri dan salah satu basis pengembangan NU. Lewat NU inilah kiai Zubair berkenalan dengan para ulama dan kiai-kiai terkenal dari berbagai daerah.
Saat usianya 18 tahun Kiai Muhammad Zubair menikah dengan Nyai Roikhanah. Pernikahan keduanya tidak berlangsung lama, karena kahirnya keduanya bercerai karena tidak adanya kecocokan diantara keduanya. Setelah itu beliau nyantri ke ulama pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama nyantri, keinginan beliau untuk belajar semakin kuat dan beliau bekerja keras dalam menuntut ilmu.
Dari Tebuireng beliau berkelana menjadi mubaligh keliling, berdakwah dan menyebarkan agama Islam hingga ke Pulau Madura. Setelah itu beliau dipanggil kembali ke Gresik, untuk membantu sepupunya, KH Muhammad Shaleh Tsalis yang menjadi pengasuh ke-7 Pondok Pesantren Qomaruddin dalam mengembangkan pesantren.
KH Zubair Abdul Karim mendirikan Madrasah Aliyah Ma’arif NU Assa’adah pada tahun 1972 bersama KH Hamin Shalih, putra KH Muhammad Shalih Tsalits. Madrasah ini merupakan salah satu rintisan beliau di dalam mengembangkan Pondok Pesantren Qomaruddin. Saat pertama kali dibuka, muridnya hanya berjumlah 15 orang, terdiri dari 13 santri putra dan dua santri putri. Madrasah ini kemudian mencapai masa kejayaan pada tahun 1982 sampai 1998, dimana jumlah kelasnya mencapai 21 kelas dan jumlah siswanya yang mencapai 750 siswa. Madrasah ini bahkan menjadi kiblat madrasah lainnya di sekitar Bungah, Gresik.
Kiai Muhammad Zubair kemudian menikah untuk kedua kalinya. Ia menikah dengan Nyai nasikhah dan dikaruniai empat orang anak yakni, Nyai Afisah, Nyai Afiyah, KH Ahmad Nadhir dan Nyai Muslikhah.
Salah satu keahlian beliau yang diasah sejak muda adalah kegemarannya membaca buku-buku ilmu falak. Kepiawaiannya dalam ilmu ini diperoleh dengan cara otodidak karena tingginya rasa keingintahuannya terhadap ilmu bulan, tata surya dan perbintangan. Selama mengabdi di Pondok Pesantren Qomaruddin, Kiai Zubair mengajarkan ilmu ini, termasuk ilmu faraid, ilmu hisab, tafsir al-Qur’an dan beberapa kitab lainnya.
Disamping mengajar, beliau menyempatkan diri untuk menulis satu kitab ilmu falak yang diselesaikan pada tahun 1980, dengan judul Ittifaq Dzati-l-Bain fi Ma’rifati Hisabin-l-Hilal wa-l-Khusufain. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur. Hingga kini kitab ini masih menjadi rujukan dalam pengamatan hilal di wilayah Gresik. KH Hasan basri Gresik, misalnya, yang menjadikan buku ini sebagai pegangan dalam penentuan awal bulan.
KH Muhammad Zubair menggunakan data-data tentang matahari dan bulan yang dipakai dalam sistem haqiqi bit taqribi dari kitab Fathur- Rauf al-Mannan karangan KH Abdul Jalil bin Hamid Kudus. Sementara data-data sistem hisab haqiqi bit tahqiq bersumber dari kitab Badi’atul Mitsal yang disusun oleh KH Muhammad Ma’shum bin Ali Seblak Jombang. Dengan kata lain, dalam Ittifaq Dzati-l-Bain yang tebalnya 88 halaman ini, beliau berusaha mengkombinasikan kedua sistem dalam perhitungan bulan ini yang banyak dipakai umat Islam di Indonesia. Beliau mengambil basis perhitungan (mabda’) bulan dan gerhana itu di kota Surabaya.
Meskipun dalam buku ini masih ada beberapa kelemahan yang diamati kalangan oengkaji ilmu falak, kitab Ittifaq Dzati-l-Bain punya beberapa kelebihan. Diantaranya teori dan sistem yang digunakan lebih maju dan lebih teliti bila dibandingkan dengan sistem hisab haqiqi bi taqribi sebelumnya. Data-data yang dipakai dalam kitab ini sudah lebih akurat, teliti, dan lengkap. Bahkan data gerak matahari dan bulan diukur dalam satuan detik. Data tersebut lebih up to date dibandingkan data kitab generasi sebelumnya yang menggunakan sistem hisab haqiqi taqribi.
Untuk mengabdikan ilmu beliau kepada umat, Kiai Muhammad Zubair aktif di organisasi NU. Awalnya sebagai pengurus dan penasehat Lajnah Falakiyah PWNU, kemudian sebagai pengurus Lajnah Falakiyah PBNU. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan tugasnya sebagai ahli falak untuk selalu menghitung dan meneliti perhitungan awal bulan Hijriah dan perbintangan. Sampai-sampai meski dalam kondisi sakit dan tidka bisa berjalan, beliau masih sempat untuk melakukan ru’yah (melihat bulan) di Pantai Tanjung Kodok, Paciran, lamongan.
KH Muhammad Zubair wafat pada hari Sabtu tanggal 4 Dzulhijjah 1422 H/16 Februari 2002 dalam usia 81 tahun. Beliau dimakamkan dalam lingkungan Pesantren Sampurnan, Bungah, Gresik.