Muhammad Asad, Mufasir Mualaf yang Jatuh Cinta kepada Islam

 Muhammad Asad, Mufasir Mualaf yang Jatuh Cinta kepada Islam

Muhammad Asad (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Pada konteks modern, banyak Mufasir kontemporer yang mengeluarkan pandangannya dan dituang dalam penafsiran. Melihat dari konflik yang ada, membuat para Mufasir ingin keluar dari zona pemikiran yang terbilang klasik atau masih bersifat tekstual.

Hal itu mereka lakukan dengan pendekatan kontekstualnya dapat menjadikan penafsirannya hidup sesuai kondisi pembaca. Terutama masyarakat Indonesia, yang dapat dibilang lebih tertarik pada pemikiran modern dan klasik sehingga hanya menjadi rujukan kedua.

Khususnya Masyarakat Muslim Barat yang melihat Islam sebagai agama inklusif dan tidak baku. Para Mufasir Barat pun berusaha untuk bersikap toleran terhadap agama satu dengan lainnya.

Salah satunya Muhammad Asad, Mufasir Barat yang sangat terkenal dengan karya tafsirnya the Massage of the Qur’an. Siapakah Muhammad Asad? Mengapa seorang Mualaf dapat dipercaya Pandangan dan Penafsirannya?

Sebelumnya, Asad ini memang sudah sangat masyhur dikalangan akademisi terutama di masyarakat Muslim Barat. Asad lahir di Lemberg Austria Hongaria tahun 1900, sebelum masuk Islam ia bernama Leopold Weiss.

Asad lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun temurun adalah pemuka agama Yahudi. “Lalu bagaimana Asad bisa jatuh cinta dengan Islam?”

Mendalami Islam dari Timur Tengah

Asad memulai karirnya sebagai wartawan United Telegraph di tahun 1921 berkat pekerjaannya ini ia berkeliling negara, terutama ketika di Timur Tengah. Dari sinilah ia mulai mengenal Islam, kebudyaan dan peradabannya serta perilaku umatnya.

Ia mendapatkan sesuatu yang berbeda dengan masyarakat Eropa. Ia melihat kehidupan yang lebih tenang dan damai, maka hal ini membuatnya tertarik untuk mengenal Islam.

Seiring berjalan waktu, tahun 1925 di pegunungan Afganistan, seorang Gubernur menyampaikan padanya bahwa Asad ini seorang Muslim. Asad tidak menyadarinya sehingga ucapan ini membuat Asad terkejut dan selalu berpikir untuk menganut ajaran Islam.

Akhirnya di tahun 1926 ia memutuskan untuk masuk Islam dan mengubah namanya. Nama Leopold Weiss diganti menjadi Muhammad Asad yang dikenal sampai sekarang ini.

Sejak berislam, perhatian Asad tertuju pada umat Muslim di zaman sekarang yang memiliki sikap acuh tak acuh dan tidak peduli terhadap Islam. Jiwa spritualnya sudah mengurang, dan dari sinilah ia ingin membangkitkan kembali kejayaan Islam.

Pandangan Asad terhadap Islam di Barat

Menurutnya, Islam adalah sebuah bangunan dengan pondasi yang kuat yang sangat menghormati agama satu dengan lainnya. Islam adalah sikap berserah diri kepada Allah dengan tunduk dan ikhlas dalam menjalankan segala perintahnya.

Dengan pandangan Asad seperti ini, membuat pengertian bahwa, “Apakah semua agama dimata Asad ini benar? Dengan menerapkan sikap pasrah dan berserah diri kepada Tuhan dapat disamakan dengan kebenarannya terhadap agama Islam?”

Dari berbagai komentar para ulama yang pro dan kontra terhadap pemikirannya, menurut penulis, Asad hanya ingin menjadikan agama Islam agama yang inklusif. Tanpa mengklaim dirinya adalah yang paling benar dan menghakimi agama lain salah.

Menurutnya, Islam tidak pernah menjadi penghalang dalam kemajuan ilmu pengetahuan naum Asad menilai terhadap ijtihad beberapa Ulama fiqh jika hanya mengulang-ulang pendapat ulama terdahulu. Bagi Asad, ini adalah hal yang basi tanpa memberi warna baru terhadap konflik konteks modern.

Mengabadikan Islam dalam Karya

Dengan cintanya terhadap ajaran Islam, salah satu karyanya yang terkenal dan menjadi rujukan di Barat ialah the Massage of the Qur’an. Penjelasan dan penafsirannya hanya catatan kaki secara ringkas dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris karena ia ingin mengugkapkan makna yang terkandung dalam Alquran.

Salah satu yang membuktikan Asad sangat toleran dalam masalah agama ialah ia menikah dengan wanita Barat non Muslim. Inilah usaha Asad untuk mengajak umat Muslim Barat agar melihat Islam dan tertarik pada ajaran Islam.

Asad meninggal pada usia 92 tahun, ketika dirinya sudah meninggalkan segala karirnya dan fokus pada karya-karyannya. Dari semua kisah dari Muhammad Asad dapat menjadikan pelajaran bagi kita untuk lebih mencintai agama kita dengan tidak menghakimi agama satu dengan lainnya.

Wallahu A‘lām

Ulfa Nur Azizah

Mahasiswa Tafsir

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *