Momentum Berbaik Sangka
Oleh: Ibn Ghifarie
HIDAYATUNA.COM – Bila kita menjalankan hidup dengan cara berbaik sangka untuk menjaga persahabatan, persatuan (ukhuwah), perdamaian di kalangan umat Islam, maka dipastikan tidak akan ada lagi usaha “menertibkan (pedagang) keyakinan” atas nama menghormati puasa dengan cara melakukan aksi sweeping, pengrusakan terhadap mereka yang menjajakan makanan di siang hari saat ramadhan tiba melalui tindakan kekerasa.
Pasalnya, puasa sejatinya harus mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga, menahan emosi, angkara murka dan selalu berbaik sangka terhadap sesama umat manusia. Benarkah tindakan dan perilaku kekerasan dalam menyelesaikan segala bentuk persoalan (ketidakadilan, menghormati) dengan main hakim sendiri ini dibenarkah atas nama Islam?
Justru ajaran Islam memberikan teladan melalui Nabi Muhammad untuk menyebarkan risalah Islam dalam berdakwah itu dengan cara yang baik, bijaksana, termasuk untuk mengurai permasalahan itu dengan cara berdialog.
Dengan demikian, segala bentuk tindakan kekerasan bukan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan. Boleh jadi penyediaan makanan itu dikhususkan untuk mereka yang tengah sakit, ibu hamil dan menyusui, haid dan sedang dalam perjalanan (musafir) yang memang diperbolehkan.
Pesan Puasa
Sejatinya, kehadiran puasa di bulan ramadhan ini harus menjadi kawah candradimuka (madrasah ruhaniyah) yang dapat melahirkan peradaban Islam Nusantara berbasis keimanan yang kukuh dan tidak menciderai kemanusiaan dengan tidak melakukan perbuatan tak terpuji, kotor, lalim dan berdosa.
Pasalnya, puasa tidak hanya bersifat ritual personal (hablu minallah) semata, tetapi memberikan dimensi kemanusiaan (hablu minnas), mulai dari peduli terhadap fakir, miskin, gerakan perubahan sosial, solidaritas sampai kesinambungan ajaran agama-agama.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Guru Besar UIN SGD Bandung menjelaskan puasa itu intinya akan melatih kita mengendalikan angan-angan dan khayalan. Pengendalian ini sangat sangat tidak mudah karena ia sering aktif tanpa disengaja. Tidaklah sembarangan puasa mampu memberikan tempat seperti itu.
Puasa Ramadhan dan puasa pada umumnya, adalah “pelengkap”, “penyempurna” usaha-usaha pada maqom sebelumnya (syahadat, shalat, zakat). Tujuan besar yang hendak dicapai dengan melaksanakan puasa Ramadhan ialah agar kita benar-benar dapat mengandalikan diri. Ini sungguh penting dalam kehidupan ini. Banyak kejadian yang sangat merugikan kita gara-gara kita kurang mampu mengendalikan diri.
Sebenarnya orang yang sungguh-sungguh mampu mengandalikan diri adalah mereka yang telah mencapai tingkat tinggi dalam penyucian diri. Agar puasa itu dapat memberikan dampak kemampuan pengendalian diri, puasa itu mesti ditunaikan dengan penuh kesabaran. (Prof. Dr. Ahmad Tafsir, 2012: 71&73)
Berbaik Sangka
Umat Islam menyakini orang yang berpuasa tidak boleh mempunyai pikiran jahat. Orang berpuasa harus menjaga hati dari sifat dengki, hasud, benci tanpa alasan yang dibenarkan syari dan dendam; menatap mata dari pandangan yang dilarang oleh agama.
Memang banyak persahabatan rusak dan kekacauan sosial (razi makan saat ramadhan) itu terjadi karena sebagaina dari kita lebih memilih untuk berbicara (keras, lantang) sambil menebar racun (kebencian, permusuhan) ketimbang berbagi tutur kata yang baik dan menjaga suasana damai (rukun, aman) dalam persahabatan. Allah memperingatkan, kalau ada orang yang suka menjelekkan ornag lain, bisa jadi justru yang bersangkutan tanpa sadar tengah menunjukkan kejelekannya sendiri.
Secara psikologis, orang demikian itu tergolong tidak sehat mentalnya. Dia tidak rela dan merasa sakit hati jika melihat ornag lain melebihi dirinya. Hal itu membuat orang tersebut selalu saja ingin mencari kekurangannya, bukan belajar dari kelebihannya.
Agar iman seseorang tidak rusak, janganlah senang menilai orang lain hanya berdasarkan dugaan. Jangan pula sellau ingin tahu urusab ornag lain yang tidak menjadi urusannya. Allah juga melarang untuk berbuat ghibah, menjelekkan orang lain dari belakang. Alquran memberi analogi yang sangat keras dalam bentuk pertanyaan: Apakah kamu senang memakan bangkai temanmu, yang kamu sendiri pasti risih dan membecinya?
Dari analisis psikologi, orang yang sering melihat kekurang orang lain dan selalu bersangka buruk maka dunianya akan menyempit dan suram. Hati dan pikiranya terhijab oleh egonya, sehingga sulit belajar dari kesuksesan ornag lain. Andaikan koleksi dan endapan emosi serta memorinya diaudit, yang tersimpan adalah yang serba negatif. Sudah semestinya kita selalu mensyukuri anugrah Allah berupa nurani dan akal sehat untuk memperbanyak amal soleh dan bersam-sama menciptakan peradaban dan perdamaian.
Dalam Alquran surat al-Hujurat 10-12, menjelaskan tentang pentingnya ihwal etika, rumus membangun dan menjaga persahabatan, persaudaraan antara mukmin-muslim dengan mengembangkan sikap berbaik sangka (husnu al-dhan). Bagaimana cara memelihara dan perdamaian dalam ayat 11 surat al-Hujurat itu memberikan formula dan bimbingan moral yang sangat aplikatif bagi orang yang mengaku dirinya beriman.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baiknya orang adalah yang membiarkan hati dan pikirannya selalu berperasangka negatif dan dengki atas segala prestasi teman (saudaranya). Dengan demikian, ayat-ayat dan hadis itu memberikan pelajaran yang tegas bagi kita semua bahwa orang yang bersikap positif dan berperasangka baik, maka hidupnya akan lebih sehat dan damai. Sebaliknya, mereka yang selalu melihat dunia dari sisi negatif, maka hidupnya akan sesak dan dunia tampak suram. (Komaruddin Hidayat,2010:31-35)
Kiranya, petuah Rasulullah tentang pentingnya menjaga (mengendalikan, menahan) diri dan terus berlomba-lomba dalam kebaikan (berbaik sangka) saat shaum ini perlu kita renungkan. “Barang siapa tidak mampu meninggalkan dengki (perkataan kotor) dan mengerjakannya, maka sesungguhnya Allah Swt. tidak memiliki kepentingan baginya untuk meninggalkan makanan dan minumannya; “Banyak orang berpuasa, tetapi dari puasanya ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali rasa lapar dan dahaga”
Dengan demikian, kehadiran puasa menjadi momentum untuk menahan diri dari segala bentuk tindakan dan perilaku kejahatan yang berawal dari hawa nafsu dan tempatnya berada dalam indra, pikiran, dan emosional.
Sudah saatnya, ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk saling berbagi dengan melakukan tindakan, sikap berbaik sangka terhadap orang lain dan menahan segala bentuk kekerasan karena cara ini bukan merupakan jalan terbaik dalam setiap menyelesaikan segala persoalan.
Apalagi yang melakukan perbuatan tak lalim itu umat Islam yang tengah menjalankan ibadah shaum. Sungguh perilaku ini akan memperburuk dan membenarkan, menegaskan citra agama dan umat Islam itu memang sangat akrab dengan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Prodi Religious Studies. Ayah dari 2 anak (Fathia dan Faraz) yang tinggal di Cibiru Bandung, dapat disapa lewat twitter @ibn_ghifarie instagram @ibnghifarie