Moderasi Beragama sebagai Kunci Penangkal Radikalisme
HIDAYATUNA.COM – Tindak radikalisme yang mengatasnamakan agama di dunia ini tidak pernah lebur dari peradaban.
Hal ini terbukti dengan adanya kejadian-kejadian yang ada di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Usut punya usut, tindakan tersebut dilakukan oleh umat yang ‘mengaku’ Islam dengan dasar berjihad di jalan Allah Swt.
Akan tetapi mereka melakukan dengan cara kekerasan. Padahal agama tidak mengajarkan tindakan sebagaimana demikian.
Sejatinya agama (Islam), dilihat dari asal katanya saja tidak mengajarkan unsur-unsur radikal dalam pengamalannya. Sebaliknya Islam justru menuntun penganutnya untuk bersikap ramah dan menebar rahmah.
Menurut Yeni Wahid, tindakan radikalisme tersebut pada dasarnya bukan berasal dari agama. Melainkan dari beberapa faktor yang berasal dari pribadi pelaku tindak radikalis tersebut.
Faktor-faktor itu antara lain adalah, pertama, kurang percaya diri. Pelaku radikal sebenarnya tidak yakin dengan apa yang mereka yakini sepenuhnya.
Mereka sering galau, terutama dalam hal keberagamaannya. Sehingga mereka sangat mudah untuk direkrut ke dalam kelompok radikal.
Kedua, lingkungan. Tidak dapat dipungkiri lingkungan merupakan pembentuk pribadi seseorang yang sangat berpengaruh.
Mereka yang terlibat dalam aksi radikal juga memiliki lingkungan yang sangat mendukung tingkah polah aksinya.
Ketiga, politik. Faktor ini juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Pasalnya, segala bentuk macam politik yang tidak sesuai dengan yang mereka anut atau tidak adanya kepuasan terhadap pemerintahan yang berkuasa menjadi satu penyebab tindakan radikalis.
Keempat, media sosial. Faktor ini juga berpengaruh besar terhadap tindakan seorang radikalis. Keadaan zaman digital yang serba instan (termasuk dengan pemahaman keberagamaannya), merupakan salah satu indikator pendukung yang menyebabkan pendeknya pengetahuan agama.
Mayoritas masyarakat ‘hanya’ sekedar membaca atau melihat konten-konten yang mengiming-imingi pahala surga dengan tindakan yang cenderung ‘ekstrim’ dan dianggapnya sudah benar.
Pada dasarnya tindakan radikal dapat ditanggulangi dengan pemahaman keagamaan secara mendasar dengan baik dan benar.
Moderasi beragama adalah bentuk upaya untuk menanggulangi tindakan-tindakan radikal yang ada dalam pribadi seseorang.
Moderasi sendiri berasal dari kata moderation yang berarti orang yang memiliki sikap sedang dan tidak berlebih-lebihan.
Dalam redaksi Bahasa Arab sering diistilahkan dengan wasathiyah yang menurut Raghib al-Asfahani berarti titik tengah, seimbang tidak terlalu ke kanan (ifrath) dan tidak terlalu ke kiri (tafrith).
Dalam konteks ini, moderasi diarahkan pada pemahamanan terhadap teks-teks keagamaan, yakni Alquran dan hadis.
Kedua sumber pokok tersebut sangat rentan dipahami dengan pemahaman ekstrem. Sehingga diperlukan kehati hatian dan ‘melek’ konteks dimana sebuah teks itu dihubungkan.
Adapun yang dimaksud dengan pemahaman ekstrem disini ialah mereka yang cenderung tekstualis. Memahami Alquran dan hadis dengan apa yang terucap dalam teks tersebut.
Sementara konteksnya dikesampingkan. Begitu pula sebaliknya, sisi ekstrem lainnya ialah dengan memahami Alquran dan hadis dengan konteks semata dengan mengesampingkan teks yang tertulis.
Bentuk pemahaman seperti itu sangat berbahaya, sehingga perlu untuk diluruskan.
Disinilah posisi pemahamam moderat, di mana bentuk pemahaman ini berupaya untuk mengakomodir keduanya. Pemahaman terhadap teks yang terucap, tetapi juga tidak mengesampingkan konteks. Dalam contoh kasus pemahaman terhadap perintah berperang (qital).
Dalam Alquran ada banyak ayat-ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya untuk berperang melawan orang-orang kafir. Di antaranya dalam Q.S. al-Hajj ayat 39-40, Q.S. al-Baqarah ayat 90 dan lain sebagainya.
Begitu pula yang diriwayatkan dalam hadis. Seperti yang tertera dalam Kitab Sunan Ibnu Majah, misalnya.
Memahami perintah demikian, mereka yang tekstualis cenderung bersikap keras terhadap semua orang-orang kafir (non-muslim).
Mereka akan memeranginya dimanapun mereka berada. Mereka tidak melihat konteks dimana ia berada, sebagaimana kasus yang ada di Indonesia.
Begitupula sebaliknya, pemahaman yang terlalu kontekstual memahami perintah perang dengan nuansa non fisik.
Seperti perang melawan kebodohan, melawan hawa nafsu, dan yang lainnya. Mereka yang demikian terkadang lupa dengan bunyi teks yang tertulis sehingga tampak tidak meyakini dan bahkan meniadakannya.
Pandangan moderat dan moderasi beragama tidaklah sama dengan kedua kelompok di atas. Pandangan moderat meyakini adanya perintah perang jikalau memang dibutuhkan untuk perang sungguhan.
Maksudnya dengan mengangkat senjata dengan musuh yang nyata. Akan tetapi juga tidak meniadakan konteksnya, sehingga perintah perang yang dimaksud jika dalam keadaan aman, bentuk perang tidak hanya ditafsirkan dengan ‘mengangkat senjata’.
Melainkan dengan bentuk perang non fisik sebagaimana kelompok kedua memahaminya.
Pemahaman moderat ini penting untuk digunakan sebagai cara pandang keagamaan. Karena, memang sebenarnya Islam menjadikan umatnya sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan) yang tersurat dalam Q.S. al-Baqarah ayat143.
Dengan demikian, membumikan moderasi beragama menjadi hal yang penting dan fundamental.