Merampas Tanah Rakyat Antara Ghasab dan Zalim
HIDAYATUNA.COM – Kasus merampas tanah milik warga desa Wadas, Purworejo, Jawa tengah yang dilakukan oleh pemerintah adalah satu dari sekian kasus mafia tanah yang terjadi di tanah air. Penggusuran tersebut acap kali dilakukan secara paksa dan menzalimi masyarakat.
Maka tak heran jika mendapat penolakan dari warga yang berujung bentrok rawan, demi untuk melindungi hak mereka. Lalu bagaimana ulama membincang kasus-kasus seperti ini?
Dikisahkan bahwa ada seorang kakek tua berjalan dari Mesir ke madinah hanya untuk bertemu dengan Khalifah Umar bin al-Khatthab. Kakek tersebut mengadu kepada sang khalifah karena tanah dan rumahnya digusur paksa oleh salah satu gubernurnya bernama Amru bin ‘Ash untuk keperluan pembangunan masjid mewah.
Sang kakek Yahudi itu menolak rumahnya digusur meski ia telah diberi ganti rugi lebih banyak dari bangunan rumah dan tanah yang ditempatinya. Akhirnya, gubernur pun menggusur paksa rumah kakek Yahudi itu. Mendengar cerita itu, wajah Umar menjadi merah. Ia pun meminta kepada Yahudi agar diambilkan tulang. Kemudian Umar menggoreskan tanda lurus dari atas ke bawah pada tulang tersebut dan goresan melintang dari kanan ke kiri dengan pedangnya. Tulang tersebut lalu diberikan kepada sang Yahudi agar diserahkan kepada gubernur.
Ketika telah sampai di Mesir, si Yahudi segera menyerahkan tulang yang dibawahnya kepada Amru bin ‘Ash. Melihat goresan lurus dan melintang di tulang yang diterimnya, wajah gubernur menjadi layu. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengumpulkan anak buahnya dan memerintahkan kepada mereka untuk membongkar bangunan masjid yang sedang dibangunnya.
Namun sebelum dibongkar, si Yahudi melarang dan ia meminta agar dijelaskan maksud goresan lurus dan melintang pada tulang yang dibawanya. Sang Gubernur menjelaskan bahwa goresan lurus dari atas ke bawah artinya adalah perintah untuk berbuat adil seperti huruf alif yang lurus. Sedangkan garis melintang, jika sang gubernur tidak melaksanakannya, maka tak segan-segan khalifah akan memenggal kepalaku.
Penggusuran Tanah Milik Rakyat Adalah Ghasab dan Menzalimi Orang Lain
Kisah penggusuran rumah dan tanah milik orang Yahudi di atas menjadi salah satu prinsip keadilan dalam Islam. Para pemimpin/pemerintah dilarang keras mengambil tanah milik rakyatnya secara zalim.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an atau pun hadis yang mengecam keras tindakan mengambil atau merampas harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, di antaranya adalah QS. Al-Nisa’ ayat 29.
Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah dinasihati sahabatnya, Abu Maryam al-Azdi dengan mengutip hadis Rasulullah Saw. berikut:
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Barang siapa yang diserahi Allah untuk mengatur urusan-urusan umat Islam, kemudian orang tersebut tidak melaksanakan hajat dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah juga akan tidak akan memenuhi hajat, kepentingan dan kebutuhannya. Sang rawi mengatakan bahwa setelah mendengar hadis tersebut, Mu’awiyah segera mengangkat pejabat yang khusus menangani kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw. secara khusus juga pernah mendo’akan para pejabat yang bertindak menzalimi rakyatnya:
اللَّهُمَّ مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شَيْئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
Artinya :
Ya Allah, barang siapa yang diserahi urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkan dia. Dan barang siapa yang dipasrahi urusan dari umatku, kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia.
Alhasil, kasus pengambilan tanah rakyat oleh pemerintah di Indonesia khususnya yang dilakukan secara paksa – sebagaimana kasus di desa Wadas – jelas termasuk perbuatan zalim. Apalagi pengambilan tanah tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu, dan merugikan pihak lain. Bahkan perbuatan zalim (mengambil harta orang lain secara paksa) termasuk rentetan dari dosa besar, sebagaimana penjelasan imam al-Zahabi dalam kitabnya al-Kabair. Ia memasukkan perbuatan zalim (merampas harta orang lain) sebagai bagian dari besar urutan ke-26.
Karena itu konsekuensinya, pemerintah harus mengembalikan tanah yang telah disita, atau penggurusan tetap boleh dilakukan asal rakyat mendapat ganti rugi yang semestinya dengan disertai sikap saling ridha. Dalam hal ini, Ibnu Quddamah mengatakan:
فَعَلَى هذَا، إِنْ أَخَذَ شَيْأً لَزِمَهُ رَدُّهُ إِنْ كَانَ بَاقِيًا. وَإِنْ كَانَ تَالِفًا وَجَبَ مِثْلُهُ إِنْ كَانَ مِثْلِيًّا أَوْ قِيْمَتُهُ إِنْ كَانَ مُتَقَوَّمًا
Dengan berdasarkan ini, maka barang siapa yang mengambil harta orang lain, maka orang tersebut wajib mengembalikan jika harta tersebut masih ada. Sebaliknya, jika harta tersebut sudah rusak, maka yang mengambil wajib mengganti yang sepadan atau memberi ganti rugi. (Ibnu Quddamah, al-Mughni, juz 8, hlm. 459)
Penggusuran Tanah Rakyat Diperbolehkan Asal Mengandung Maslahah ‘ammah
Meski begitu, dalam konteks tertentu penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah boleh dilakukan asal mengandung maslahah yang sangat besar untuk masyarakat. Sebagaimana kaidah fiqh al-mashalih al-‘ammah muqaddamatun ala al-mashalih al-khassah (kemaslahatan umum lebih diprioritaskan daripada kemaslahatan pribadi).
Selain juga penggusuran tersebut memang sangat diperlukan dan dibenarkan oleh syari’at. Bahkan meski penggusuran tersebut dilakukan dengan paksa, asal pemerintah memberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan harga rumah atau tanah di wilayah setempat sesuai dengan kesepakatan bersama dengan prinsip tidak ada pihak yang dirugikan.
Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah melakukan penggusuran rumah-rumah di sekitar Majid al-Haram untuk keperluan perluasan masjid karena semakin membludaknya jemaah. Bahkan ketika ada beberapa pemilik rumah yang enggan menjual rumah dan tanahnya, Umar tetap saja melakukan penggusuran tersebut tetapi ia memberi ganti rugi dengan sejumlah uang tertentu sehingga mereka mau menerimanya.
Kebijakan Umar menggusur rumah dan bangunannya pun menginspirasi Khalifah Usman bin Affan. Ketika ia dianggkat sebagai khalifah, Usman melihat bahwa Masjid Nabawi perlu dibuatkan dinding.
Oleh karena itu, ia membeli rumah-rumah di sekitar majid Nabawi, lalu merobohkan bangunannya dan menetapkan harganya. Evakuasi tidak berjalan dengan lancar, karena beberapa orang menolak untuk menjual rumah dan tanahnya. Ia bahkan didemo oleh warga.
Para pendemo kemudian dipenjarakan karena dianggap provokator. Sampai pada akhirnya, seseorang bernama Abdullah bin Khalid bin Asad melakukan negosisasi, dan akhirnya ia melepaskan mereka kembali. (Imam Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 162)
Pengusuran Tanah Menurut Syaikh Musthafa Ahmad al-Zarqa’
Mengenai kasus penggusuran tanah, Syaikh Musthafa Ahmad al-Zarqa’ mengatakan:
وَالصُّوْرَةُ الثَّانِيَةُ هِيَ اَلْإِسْتِمْلَاكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ اِسْتِمْلَاكَ الأَرْضِ الْمُجَاوَرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوَسُّعِهِ وَذلِكَ بِالْقِيْمَةِ اَلَّتيِ يُسَاوِيْهَا الْعِقَارَ اَلْمُسَتْمَلَكَ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ اَلْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ الجَانِبِ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ
Contoh yang kedua adalah pengambilan milik orang lain untuk kepentingan umum. Syara’ memperbolehkan pengambilan hak tanah secara paksa dari pemiliknya yang berdampingan dengan masjid, jika pemilik tanah tersebut menolak untuk menjualnya.
Oleh karena bangunan masjid sempit sementara jemaahnya semakin banyak, dan hal itu dibutuhkannya. Sebagaimana ulama memperbolehkan kasus seperti itu karena untuk kepentingan perluasan jalan umum, dan masyarakat membutuhkannya.
Namun dengan syarat harus memberikan uang ganti rugi yang sepadan dari tanah yang diambil dari hak kepemilikannya. Bahkan ulama memperbolehkan sisi tertentu masjid dirobohkan untuk kepentingan perluasan jalan umum, jika memang hal itu dibutuhkan. (Musthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal fi al-Fiqh al-‘Am, juz 1, hlm. 284)
Walhasil, penggusuran tanah milik warga yang dilakukan oleh pemerintah termasuk perbuatan ghasab dan zalim. Jika hal itu dilakukan secara paksa dan tidak ada ganti rugi yang layak. Apalagi penggusuran tersebut tidak membawa maslahah ‘ammah bagi masyarakat.
Sebaliknya, pengusuran tanah dapat dibenarkan, meski dilakukan dengan paksa, asal ada ganti rugi yang sepadan sesuai dengan prinsip keadilan, dan tidak ada pihak yang dirugikan. Apalagi penggusuran dilakukan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan dan perluasan masjid, jalan umum dan lain-lain. Wallahu a’lam.