Menyusun Kembali “Nalar Nuzyus” dalam Pernikahan

Inilah 10 Adab Suami Kepada Istri agar Pernikahan Semakin Harmonis (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Bagian terpenting di dalam hidup adalah pernikahan, entitas yang telah menyatu dengan historisitas umat manusia dan telah menjadi habitus. Berabad-abad lamanya manusia secara turun-temurun telah melangsungkan akad dimaksud.
Pernikahan tidak hanya dipandang sebagai doktrin agama yang legal untuk memperbanyak keturnan, melainkan juga tradisi yang mengakar di lingkungan sosial. Dengan demikian, akan terlihat aneh jika kemudian terdapat orang yang enggan untuk melakukan pernikah musabab ia melawan arus tradisi itu tadi.
Realitanya, pernikahan tentu tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang ada di konsepsi, secara teoretik. Pada tataran faktual, pernikahan banyak mengalami hambatan-hambatan yang berpotensi untuk merusakan relasi dan kesepakatan(akad) yang sudah tercapai.
Baik potensi rusaknya pernikahan yang dipicu karena satu pihak seperti talak yang diomonopoli oleh lelaki, atau bahkan khuluk yang hanya dari pihak perempuan. Hal lain yang tidak bisa dilupakan juga adalah konsep nusyuz meski semula nalarnya hanya diklaim sebagai sesuatu dari pihak istri, namun belakangan juga turut direkonstruksi (mengembalikan ke awal).
Secara kata, nusyuz biasanya diartikan sebagai ‘tempat yang tinggi’ atau diartikan laku ‘duduk kemudian berdiri’. Tentu penjelasan yang terakhir ini bentuknya metaforis belaka. Artinya, nusyuz dalam pengertian yang dimaksud adalah tindak tanduk tidak patut kepada pasangan.
Ketimpangan dalam Pernikahan
Beberapa ulama langsung menjurus kepada istilah yang mendudukan posisi perempuan pada posisi keliru. Dengan kata lain nusyuz diartikan sebagai pembangkangan yang dilakukan oleh pihak istri terhadap suaminya.
Pengertian ini juga senada dengan apa yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI). Di beberapa buku yang saya telusuri, sekian penulis hanya memasukkan nusyuz istri terhadap suami, tidak sebaliknya.
Saya berpendapat bahwa ini dipengaruhi konsepi alam bawah sadar bahwa dalam keluarga yang menjadi kepala keluarga adalah lelaki. Dengan begitu, hal tersebut menjadikan ia sebagai sosok yang tidak terdapat celah, kebal dari segala macam salah dan luput.
Berbeda dengan perempuan yang posisinya sebagai orang yang dipimpin sehingga kemungkinan celahnya dibahas. Ini kemudian yang membuat saya beranggapan bahwa semula konsep terkait dengan nusyuz masih biasa gender.
Bagi saya, hal tersebut justru membuat pernikahan menjadi timpang dan tidak dalam posisi setara.
Kebencian Istri kepada Suami
Menarik, sejujurnya juga ulama yang mengartikan nusyuz dengan kacamata yang berbeda. Abu Manshur al-Lughawi, misal, memberikan definisi nusyuz yang lebih akomodatif.
Ia mendefinisikan nusyuz sebagai sebagai kebencian istri terhadap suami atau juga sebaliknya. Dengan definisi semacam itu, tentu nusyuz tidak hanya berlaku bagi istri saja.
Kedua belah pihak bisa dijatuhi label nusyuz tersebut. Argumen ini senada dengan apa yang disampaikan ar-Razy, bahwa nusyuz bisa terjadi dari kedua belah pihak. [Iffah Muzammil, 2019:153]
Hal ini sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa terdapat kontra wacana bagi orang yang mengkonsepsikan nusyuz secara timpang. Oleh karena itu, diperlukan adanya konsep nusyuz yang akomodatif sebagaimana yang ditawarkan tersebut.
Di mana pembangkangan atau ketidaktaaatan bukan hanya potensial dari pihak istri. Dari pihak suami juga punya potensi untuk membangkang dan tidak taat terhadap istrinya bahkan bisa bersikap sewenang-wenang. Dengan bahasa lain, pihak suami juga bisa nusyuz terhadap istrinya.
Apa Saja Nuzyuz Suami?
Ahmad ibn Mahmud Ali Rajab dalam an-Nusyuz wa Turuqu Ilajihi memberikan konsepsi bahwa nusyuz dari pihak suami bisa berupa segenap indikasi kejahatan. Termasuk di antaranya adalah memukul, mengutuk, menyumpahi istri, yang pada titik hakikinya menyakiti perasaan istri, maka bisa dijustifikasi sebagai nusyuz.
Selain hal tersebut, yang termasuk nusyuz dari pihak suami adalah tidak memberi nafkah terhadap istri, juga tidak menyetubuhi istri padahal ia mampu. Seterusnya, mencegah istri untuk silaturahim(secara khusus kepada orang tua) dengan tanpa alasan dan uzur syarak juga bagian dari nusyuz.
Wahbah az-Zuhaili menjabarkan bahwa istri memang sepantasnya mendapat hak-hak yang layak. Menurutnya, hak-hak bagi istri dibagi dua, hak yang sifatnya material dan nonmaterial.
Di antara hak material, secara spesifik harta, tidak lain ialah mahar dan nafkah. Hak-haknya yang nonmaterial relasi yang baik antara suami dan istri, perlakuan yang baik, serta keadalin.
Kesemuanya itu mengerucut kepada perlakuan yang pantas terhadap istri. Ia juga menyertakan landasan teologis terkait dengan hak-hak yang sifatnya material dan nonmaterial karena kedua hak-hak ini sudah dijelaskan berulang kali, baik dalam Alquran maupun sunah.
Relasi Suami-Istri
Intinya menerangkan bahwa seyogianya suami memperlakukan istrinya dengan tidak sewenang-wenang. Jika kedua hal ini tidak dipenuhi oleh suami, maka ia bisa dikategorikan sebagai nusyuz. [Wahbah az-Zuhaili, 1985:327]
Dengan konsep nusyuz yang bisa berlaku bagi kedua belah pihak itu, maka relasi dalam pernikahan tidak lagi mendudukkan perempuan pada derajat nomor dua. Ia dikonstruksi ulang menjadi relasi antara keduanya berada di dalam satu tingkatan yang sama.
Utamnya dalam memberikan hak dan kewajiban masing-masing. Hanya dengan merekonstruksi nalar nusyuz ini, kita membuka peluang bahwa suami juga punya potensi salah dan tidak diletakkan pada derajat yang kudus dan bersih dari kesilapan.
Rujukan
Ali ibn Rasyid, Syiqaq al-Zaujaini.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985).
Ahmad ibn Mahmud Ali Rajab. Tanpa Tahun. an-Nusyuz wa Turuqu Ilajihi, Vol. 1. hal 9.