Menyoal Polisi Akidah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Seyogyanya lapangan akidah itu lebih luas dari ibadah, tawajjuhat fikriyyah (kecenderungan pemikiran) dan sebagainya.
Maka, ketika kita tidak sama dalam tata cara ibadah atau pola pikir, setidaknya kita masih bisa sama dalam akidah, dan itu sudah cukup untuk kita bersaudara, saling membantu dan menguatkan.
Sayangnya, oleh sebagian orang akidah justru terkesan sempit dan membatasi.
Dan karena mereka sering membahas masalah akidah mereka merasa orang yang paling paham tentang akidah.
Akhirnya mereka bertindak sebagai polisi akidah.
Mereka menilai akidah orang lain. Bukan hanya masyarakat awam tapi juga para ulama.
Maka muncullah buku-buku dengan judul semisal: Akidah Ibnu Hajar dalam Timbangan, Nawawi dalam Pandangan Akidah Ahlussunnah, dan sebagainya.
Hei, Anda siapa sehingga berani menimbang akidah para ulama?
Apakah hanya karena Anda punya titel doktor dari sebuah perguruan tinggi lalu Anda merasa punya lisensi untuk mempreteli akidah para ulama lalu memvonis ini benar ini salah?
Kalau akidah para ulama saja mereka ‘cikarawi’ apalagi akidah masyarakat kebanyakan? Maka keluarlah vonis-vonis semacam, “Kelompok A berakidah Syi’ah Rafidhah,” “Kelompok B berakidah Mu’tazilah Qadariyyah,” dan seterusnya.
Sebagaimana ketika polisi melakukan razia, orang akan menanyakan mana surat tugasnya, maka untuk polisi-polisi akidah ini kita perlu bertanya,
“Apa buktinya kalau kelompok A berakidah B? Kalau hanya sekedar klaim maka Anda adalah da’iyy bukan da’i.”
والدعاوى إن لم تقيموا عليها بينات أبناءها أدعياء
[]