Menyoal Perbudakan dan Bagaimana Respons Islam Terhadapnya
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perbudakan merupakan salah satu tradisi jahiliah di mana dalam proses penghapusannya melewati masa yang panjang. Lantas sejak kapan terjadi perbudakan dan bagaimana Al-Qur’an merespon fenomena tersebut?
Perbudakan ada sejak zaman Mesopotamia. Bahkan di Persia, perbudakan (manusia) menjadi sebuah objek riset. Di Arab sendiri perbudakan terjadi mulai abad 7 M.
Hal ini terjadi disebabkan oleh empat faktor yaitu sebab perang, utang, fakir dan merampok.
Zaman dahulu orang saling berperang dan pihak yang menang berhak mengambil harta rampasan perang termasuk perempuan yang dijadikan tawanan serta berhak dimiliki.
Budak dari utang, ketika seseorang terdesak memiliki utang dan tidak mampu membayar dalam tempo yang ditentukan dan berakhir menjual istrinya.
Budak demi uang (fakir) di mana seseorang ingin bertahan hidup dan survive sehingga tega menjual anak atau istrinya.
Inti tujuan adanya perbudakan zaman itu adalah untuk memperkaya diri.
Al-Qur`an adalah agama yang damai dan menjunjung tinggi kasih sayang serta kemanusiaan.
Dari tiga bentuk respon dialektika Al-Qur’an dengan realitas, respon Al-Qur’an terhadap perbudakan adalah melarang (tahrim).
Meskipun dalam ayat Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit akan tetapi terbukti adanya spirit yang menghalangi perbudakan.
Memang saat itu budak dibiarkan terlebih dahulu kemudian Islam mempersempitnya.
Dari keempat faktor di atas yang mulanya menjadi sebab legalnya hak atas budak, menjadi satu faktor saja yaitu dari harta rampasan perang.
Hal itu pun tetap dilakukan dengan cara yang baik dan santun. Al-Qur’an menegaskan bahwa budak dari perang bisa ditebus dengan uang atau dibebaskan secara cuma-cuma. Manna ba’du wa immā fidā’an.
Bentuk tahrim ini dalam prosesnya terbagi dalam dua peridoe. Pertama, periode Mekah.
Ketika periode ini, Islam membolehkan sayyid menggauli budaknya tanpa melewati akad.
Justru jika seorang sayyid melakukan akad nikah dengan budaknya ini, akad nikahnya menjadi batal.
Sebab budak ini sudah menjadi milik sayyid lewat jalur milk al-yamin. Sehingga, akad milk al-yamin lebih kuat dari akad nikah.
Akan tetapi, terdapat syarat budak yang akan digauli. Bahwa budak itu merupakan miliknya, bukan dari kongsi, curian atau rampok.
Jika sayyid berhubungan dengan budak bukan miliknya maka hukumnya tidak zina tetapi syubhat dan hanya dikenai sanksi ta’zir.
Kedua, periode Madinah. Ketika itu Islam mempersempit budak dalam bentuk kampanye.
Era Mekah, uang yang diberikan pada budak dinamakan sedekah. Sedangkan di era Madinah, uang yang diberikan untuk budak dinamakan zakat.
Jika periode Mekah, seorang sayyid bebas menggauli budaknya tanpa akad nikah, maka hukum di sini berganti sehingga sayyid wajib menikahi budaknya melalui lembaga pernikahan resmi.
Bentuk lain mempersempit budak adalah dengan adanya diyat atau kafarah.
Terdapat kafarah sumpah dhihar misalnya yaitu dengan memerdekakan budak.
Dalam bentuk-bentuk spirit inilah Islam menghapus perbudakan perlahan.
Ketika masa Abbasiyah dan Umayah masih terdapat perbudakan seperti Yazid Ibn Muawiyah yang memiliki banyak budak yang melayaninya.
Sampai akhirnya, di masa Turki Usmani budak resmi di hilangkan yaitu pada tahun 1960 oleh Kemal Pasha Attaturk.
Meskipun spirit penghapusan ini berdasar oleh rasa kemanusiaan bukan agama.
Abad 18 perbudakan masih ada, yaitu kerja rodi masa Belanda.
Seolah sudah hilang rasa kemanusiaan sehingga bebas menjadikan manusia sebagai objek.
Di zaman sekarang pun, di era society 5.0 perbudakan menjelma dalam bentuk human trafficking.
Terlebih media online semakin canggih dan menciptakan berbagai kejahatan lewat media sosial.
Banyak sekali penjualan anak atau wanita yang dijadikan budak tanpa dibayar sepeserpun.
Para pekerja seks lomersial, TKI yang tertipu kemudian dijual dalam pasar perbudakan manusia yang ilegal.
Sebab dimana pun negara, tetap tidak ada yang melegalkan perbudakan.
Dari dulu hingga kini, perbudakan merupakan sesuatu yang terlarang dan keluar dari batas kemanusiaan.
Untuk itu, perlunya bersama-sama menjaga dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta memiliki rasa empati terhadap kasus maupun benih-benih perbudakan disekitar kita. []