Menyoal Level Keilmuan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kedalaman ilmu agama seseorang memang tidak se-eksak ilmu sains. Tapi paling tidak bisa terukur juga.
Misalnya, kalau kita ingin tahu sedalam apa ilmu kedokteran seorang dokter, secara sederhana kita bisa ukur dari pendidikannya.
Kalau hanya S-1 berarti levelnya baru dokter umum. Kalau dokter spesialis, harus S-2 tentunya.
Dibilang spesialis, berarti ruang lingkup ilmunya semakin sempit, tapi kualitasnya lebih mendalam.
Dokter spesialis THT pastinya lebih paham urusan telinga, hidung dan tenggorokan dibandingkan dokter spesialis kandungan.
Dokter spesialis paru tentu lebih paham paru-paru ketimbang masalah kulit.
Kurang lebih begitu juga dalam pembagian ilmu-ilmu keislaman.
Kalau urusan tafsir Al-Quran, maka yang studi doktoralnya di bidang tafsir pastinya lebih nyambung ketimbang lulusan ilmu nahwu dan sharaf.
Ilmu-ilmu keislaman itu sendiri ada banyak cabangnya. Tidak semua ustadz lantas bisa jadi pakar di semua bidang itu.
Sebagaimana kita jarang ketemu dokter yang memborong sekian banyak spesialisasi sekaligus.
Tapi setidaknya semua dokter spesialis pernah duduk di bangku S-1 fakultas kedokteran. Pernah jadi dokter umum dulu.
Sayangnya ada sementara orang yang kurang apresiatif dengan ilmu-ilmu keislaman dan cabang-cabangnya. Nyinyirannya khas:
“Buat apa belajar ilmu agama tinggi, tapi tidak diamalkan?”
Belum apa-apa sudah main tuduh tidak diamalkan. Terkesan kita ini tidak usah belajar yang tinggi. Toh nantinya tidak akan diamalkan juga sih.
Urusan ya jadi ribet nih. Alih-alih mengajak orang untuk belajar mendalami ilmu agama, ternyata terjebak jadi membenci ilmu sekaligus membenci orang yang berilmu.
Padahal Al-Quran sendiri yang menegaskan bahwa Allah meninggikan derajat orang beriman yang berilmu.
يرفع اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya:
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujadilah ayat 11). []