Menyingkap Makna Sifat Allah dengan Pendefinisian Akurat (Bagian 2)
HIDAYATUNA.COM – Berikutnya saya akan melanjutkan Pembahasan Sifat ini, yang kedua adalah sifat nuzul. Nuzul secara harfiah berarti turun. Apakah definisi turun itu?
Genus dari ‘turun’ adalah gerakan sedangkan diferensianya adalah dari tempat asal ke tempat yang lebih rendah. Jadi, turun sama dengan bergerak dari tempat asal ke tempat yang lebih rendah.
Dalam versi KBBI, kata turun didefinisikan sebagai: bergerak ke arah bawah, bergerak ke tempat yang lebih rendah daripada tempat semula.
Definisi ini sama persis dengan definisi yang disebutkan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang menjelaskan bahwa untuk terjadi sebuah gerakan ‘turun’, maka dibutuhkan keberadaan tiga jisim, yaitu jisim yang berada di atas, jisim yang di bawah dan jisim yang bergerak dari jisim atas ke jisim bawah. (lihat dalam Iljamul ‘awam ‘an ‘ilmil Kalam, karya al-Ghazali).
Nah, sekarang apakah makna seperti itu akan kita sematkan kepada Allah yang Maha Berbeda dari segala hal? Tentu tidak mungkin.
Apabila kita memakai makna itu, maka berarti kita harus menetapkan adanya bentuk fisik Allah, batasan fisik yang lebih kecil dan ruang yang lebih besar untuk menampung fisik Allah itu.
Kita juga harus menetapkan bahwa ketika turun, maka ada sesuatu yang posisinya lebih tinggi secara fisik bagi Allah. Kesemua hal ini mustahil kita tetapkan bagi Allah sebab selain tak ada satu pun ayat dan hadisnya, juga merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk.
Bahkan pendaku salafi harusnya menolak makna ini sebab mereka takkan terima bila dikatakan ada suatu benda yang posisinya lebih tinggi secara fisik dari Allah. Bila kenyataannya mereka tak mempermasalahkan arti turun seperti ini, itu sebab mereka memang tak konsisten.
Yang menarik adalah tulisan Abdul Wahab Ahmad dalam bukunya yang berjudul “Dialog Akidah dengan Wahabi-Salafi.” Dia menulis demikian:
“Imam al-Ghazali menerangkan bahwa mengartikan turun-Nya Allah sebagai turun dari atas ke arah bawah hanya membuat salah paham di hati anak kecil atau orang awam dewasa yang pikirannya seperti anak kecil.
Untuk meluruskan pemahaman anak kecil itu, cukup ditanya kepadanya,
“Untuk apa Allah turun seperti itu? Kalau hanya untuk memanggil makhluk-Nya, maka kita tidak mendengar apa pun. Selain itu, memanggil bisa dilakukan tanpa harus turun ke langit dunia. Kalau turunnya Allah hanya untuk mendekat, maka apa gunanya turun ke langit dunia? Bukankah kita ada di bumi dan tetap tidak dapat melihat atau mendengar Allah yang berada di langit dunia itu?”
Dengan begitu, si anak akan sadar bahwa makna “turun” itu bukan dalam arti yang dia pahami sebelumnya. Ini kalau anak kecil, entah kalau Salafi-Wahabi apa bisa sadar dengan argumen seperti ini.
Semoga mereka mendapat hidayah”. (Lihat: Dialog Akidah)
Karena itulah, para Imam menyatakan dengan gamblang bahwa nuzul-nya Allah bukanlah suatu gerakan. Simak pernyataan mereka berikut:
الاعتقاد للبيهقي (ص: 117)
وَأَنَّ إِتْيَانَهُ لَيْسَ بِإِتْيَانٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّ مَجِيئَهُ لَيْسَ بِحَرَكَةٍ، وَأَنَّ نُزُولَهُ لَيْسَ بِنَقْلَةٍ
Artinya:
“Dan bahwasanya kedatangan Allah bukanlah kedatangan dari satu tempat ke tempat lain, dan bahwasanya tibanya bukanlah perpindahan, dan bahwasanya turun-Nya bukanlah perpidahan/pergeseran tempat.” (al-Baihaqy dalam al-I’tiqad).
Lalu kalau nuzul/turun tak bisa dan tak boleh didefinisikan sebagai sebuah gerakan, lalu apa? Inilah sulitnya lagi. Karena kita tak tahu hakikat Dzat Allah, maka kita lagi-lagi tak dapat membuat definisinya. Paling maksimal kita hanya memaknainya sebagaimana keterangan Imam Baihaqy berikut:
الأسماء والصفات للبيهقي (2/ 371)
فِي أَخْبَارِ النُّزُولِ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ فِعْلٌ يُحْدِثُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي سَمَاءِ الدُّنْيَا كُلَّ لَيْلَةٍ يُسَمِّيهِ نُزُولًا بِلَا حَرَكَةٍ وَلَا نُقْلَةٍ، تَعَالَى اللَّهُ عَنْ صِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ
Artinya:
“Dalam hadis nuzul, sesungguhnya yang dimaksud adalah sebuah perbuatan yang diadakan oleh Allah di langit dunia setiap malam yang Dia sebut sebagai nuzul, dengan tanpa ada gerakan atau perpindahan. Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk.” (al-Baihaqy dalam al-Asma’ was Shifat)
Sudah jelas, keterangan tersebut bukanlah definisi esensial sebab tak bisa memberi kejelasan yang definitif. Tapi memang tak mungkin kita mendefinisikan sifat Tuhan secara definitif sebab kita tak tahu hakikat Dzat-Nya.
Lalu kalau makna seluruh sifat itu tak bisa kita definisikan secara sempurna, maka bagaimana kita memahaminya? Apakah berarti semua ungkapan Allah dan Rasul itu tak bermakna?
Apakah berarti kita tolak saja keberadaan maknanya sebab kita tak bisa mendefinisikannya seperti kita mendefinisikan sifat makhluk? Saya akan jawab semua pertanyaan ini di tulisan selanjutnya. Jangan lewatkan!
Sebelum saya akhiri harap diperhatikan bahwa semua keterangan panjang lebar ini berbicara tentang makna sifat. Definisi hanyalah berkaitan dengan makna, bukan lainnya.
Sama sekali saya tak berbicara tentang kaifiyah sehingga jangan ada yang salah paham seperti yang sudah-sudah.
Tiap saya membicarakan makna, maka disanggah dengan sanggahan yang berisi kaifiyah. Ini tak nyambung namanya. Nanti di tulisan lain saya akan membahas apa itu kaifiyah dan bagaimana kaifiyah itu bila disematkan pada Allah.
Semoga bermanfaat. []