Menyikapi Orang yang Mengatakan Allah Ada di mana-mana

 Menyikapi Orang yang Mengatakan Allah Ada di mana-mana

Hari Ini Puasa Keberapa? Berikut Bacaan Doa Ramadhan Hari Ini agar Semakin Berkah

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya pernah kebagian ngetes pengetahuan mahasiswa. Yang saya test adalah anak yang betul-betul awam, gak pernah mondok, murni sekolah umum hanya saja takdir membawanya nyasar ke UIN Jember.

Di bagian tema akidah, saya iseng bertanya “di mana Allah” meniru pertanyaan khas komunitas sebelah. Dia menjawab, Allah ada di mana-mana.
Secara standar, itu jawaban yang salah sebab itu jawaban khas aliran sesat Jahmiyah dan Muktazilah di masa lalu.
Tapi apakah saya langsung bilang/memvonis bahwa dia sesat? Tidak. Bukan begitu SOP ketika berbicara dengan orang awam.
Semua pernyataan mereka harus ditahqiq dulu maksudnya sebab orang awam seringkali tidak dapat menyusun kalimat dengan baik meskipun maksudnya benar.
Saya tanya, “jadi menurutmu Allah ada di semua tempat gitu, di ruangan sini, di ruangan situ, di sakumu, di sepatumu, di tempat sampah itu?” sambil saya menunjuk lokasi-lokasi itu.
Dia agak kaget awalnya lalu kemudian menjawab, “Nggak Ustad, bukan begitu maksudnya.”
“Lalu gimana maksudnya?” saya tanya.
Dia kemudian mengilustrasikan:
“Maksudnya, kalau saya pergi ke mana pun di situ ada Allah yang mengawasi saya, mengetahui apa yang saya kerjakan.”
Saya mengonfirmasi lagi, “Jadi, maksudmu pengetahuan Allah yang ada di mana-mana, bukan Allah-nya terus ada di semua tempat?”
“Ya, begitu maksudnya,” katanya.
Saya lalu jelaskan bahwa kalau begitu akidahnya sudah benar. Hanya saja kalimat jawabannya yang pertama salah sebab menimbulkan salah paham. Kemudian saya jelaskan bagaimana jawaban yang benar bahwa hakikatnya Allah wujud tanpa tempat.
Begitulah sikap kita ketika mendengar jawaban atau pernyataan dengan kalimat salah seperti di atas. Maksud orang awam di atas sesuai dengan keterangan Imam ar-Razi dalam tafsirnya berikut:
وَالْمُسْلِمُونَ يَقُولُونَ إِنَّهُ تَعَالَى بِكُلِّ مَكَانٍ وَيُرِيدُونَ بِهِ التَّدْبِيرَ وَالْحِفْظَ وَالْحِرَاسَةَ
Artinya:
“Kamu muslimin (awam) berkata bahwa Allah Ta’ala di semua tempat, maksud mereka dengan ungkapan itu adalah pengaturan, perlindungan dan penjagaan Allah.” (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, V, 262)
Sebenarnya, orang Muktazilah di masa lalu juga begitu. Tidak semua mereka lantas meyakini bahwa Allah betul-betul bertempat di mana-mana seperti kaum Jahmiyah.
Beberapa dari mereka mengatakan di mana-mana dalam arti ilmu Allah yang ada di mana-mana meliputi semua tempat. Syaikh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Muktazilah menjelaskan:
فأما القول بأنه تعالى في كل مكان فإن المعتزلة يقولون ذلك و تريد به أنه و إن لم يكن في مكان أصلا فإنه عالم بما في كل مكان و مدبر لما في كل مكان و كأنه موجود في جميع الأمكنة لإحاطته بالجميع
Artinya:
“Adapun tentang ucapan bahwa Allah Ta’ala ada di mana-mana, maka Muktazilah mengatakan seperti itu dan yang mereka maksud adalah meskipun Allah sama sekali tidak bertempat, tetapi Allah mengetahui apa yang ada di semua tempat, mengatur apa yang ada di setiap tempat dan seolah-olah Allah ada di semua tempat sebab Ia meliputi segalanya.” (Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, III, 231).
Dengan demikian, tidak setiap ucapan bahwa Allah ada di mana-mana menandakan rusaknya akidah orang yang berkata seperti itu.
Ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah selalu dekat dan bersama dengan hambanya di mana pun berada, maka para ulama salaf semua kompak mentakwil dengan kebersamaan ilmu dan pengawasan dan bahwa kedua sifat Allah ini meliputi semua tempat, sama persis dengan penjelasan makna di atas.
Hanya saja dalam hal akidah kita dilarang mengatakan hal yang rawan menimbulkan salah paham seperti ucapan “Allah ada di mana-mana” itu. Saya pernah membahas soal larangan mengatakan kata ini di tulisan lain di FB mau pun di NU Online, silakan dicari bagi yang ingin penjelasan agak detail.
Ada pun berkata: “Allah dekat dengan kita” atau “Allah bersama kita di mana pun kita berada” maka tetap boleh sebab itu adalah nash Al-Qur’an.
Sama seperti berkata “Allah di langit” atau “Allah di atas Arasy” atau “Allah di depan orang shalat” juga boleh sebab alasan yang sama meskipun kadang ada yang salah paham juga.
Tinggal dijelaskan saja makna yang tepat bagi yang salah paham. Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *