Menyikapi Kesombongan dalam Diri Manusia

 Menyikapi Kesombongan dalam Diri Manusia

Kesombongan dan Keegoisan adalah Sumber Keburukan Moral (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu penyakit hati yang paling banyak dialami oleh semua orang adalah sifat sombong.

Kesombongan secara umum dalam Islam dapat diklasifikasikan ke tiga tipe yaitu riya’ atau pamer ibadah, ujub yang berarti kebanggaan secara berlebihan terhadap diri sendiri serta takabbur yang berarti kesombongan terhadap sesuatu yang ia bisa atau miliki.

Tapi mengapa kesombongan merupakan salah satu penyakit hati paling berbahaya?

Bukankah setiap orang berhak membanggakan apa saja yang ia miliki dan lakukan?

Ternyata, kesombongan merupakan sesuatu yang melekat pada Allah Azza wa Jalla.

Sebagaimana dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «العز إزاري، والكبرياء ردائي، فمن نازعني بشيء منهما عذبته»

Artinya:

“Rasulullah Saw. bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Keagungan adalah kain-Ku dan kesombongan adalah selendang-Ku. Siapa yang menandingi Aku pada salah satu dari keduanya, sungguh Aku akan mengazabnya.”

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, banyak kisah-kisah dalam Al-Qur’an tentang orang-orang terdahulu yang hancur akibat kesombongan dalam diri mereka.

Di antaranya ada Fir’aun yang bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan, Raja Namrud, Qarun, Kaum Aad, kaum Tsamud dan beberapa kisah-kisah lain.

Bahkan cerita rakyat yang berasal dari legenda tradisional Nusantara banyak menceritakan tentang azab atau kutukan akibat dari kesombongan seperti legenda Malin Kundang dan Bandung Bondowoso.

Itu artinya sudah sekian lama nenek moyang bangsa Indonesia memperingatkan penerusnya agar tidak bersikap sombong

Tapi lagi-lagi sebanyak apapun kisah dan ajaran yang berkaitan dengan kesombongan disampaikan dari mulut ke mulut, tetap saja tidak dapat menghapus kesombongan dari muka bumi ini.

Selain karena kesombongan merupakan sifat Iblis yang menyebabkan ia dilaknat oleh Allah, ternyata ada faktor psikologis yang menjadi penyebab munculnya kesombongan.

Seseorang yang memiliki kepripadian sombong yang kental dikategorikan sebagai Independen Pasif atau kepribadian narsistik.

Seseorang dengan kepribadian narsistik cenderung memiliki sifat superioritas yang tinggi, haus akan pengakuan atau self reward serta tidak mudah menerima masukan dari orang lain.

Ada beberapa aspek yang menyebabkan seseorang memiliki kepribadian narsistik.

Di antaranya adalah faktor perhatian secara berlebihan dari orang tua, arogansi, perilaku interpersonal (merasa hebat), kognitif style (fantasi kesuksesan) serta mood swing (perubahan suasana hati secara dinamis).

Saat ini, banyak konten-konten naristik yang menampilkan kegiatan mensyukuri nikmat Allah dan menunjukkan kesombongan terlihat sangat mirip dan bahkan beberapa diantaranya sulit untuk diidentifikasi.

Tapi terlepas dari itu, apapun yang ada di medsos semua tergantung perspektif pembuat konten dan penikmat dalam menyikapinya.

Sejatinya kepribadian narsistik tidak sepenuhnya buruk. Bahkan sangat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari seseorang yang memiliki kepribadian narsistik.

Seperti contohnya keterampilan leadership sangat ditunjang secara krusial melalui sikap fantasi kesuksesan dan kemampuan mengendalikan pikiran orang lain.

Cara menyikapi kepribadian narsistik kembali ke personal diri masing-masing.

Karena sebetulnya sangat mudah mengidentifikasi apakah seseorang tersebut berperilaku sombong atau tidak.

Karena membangun personal branding yang bagus adalah syarat menghadapi era teknologi agar mampu bersaing dengan SDM lain.

Membangun personal branding yang berlebihan pada akhirnya akan menimbulkan kesombongan yang tanpa disadari membuat orang lain tersinggung.

Apabila orang lain tersinggung maka akan muncul penyakit hati lain yaitu iri dan dengki dari pihak berlawanan. Sehingga muncullah oposisi biner berupa sombong >< iri dengki.

Ajaran Islam memposisikan pentingnya membangun relasi sosial kolaboratif yang baik antar satu sama lain.

Prinsip ukhuwah Islamiyah, ukhuwah basyariyah dan termasuk ukhuwah wathaniyah dapat menciptakan kerukunan di tengah masyarakat.

Dari sana akan muncul kebaikan-kebaikan lain seperti rasa toleransi dan prinsip gotong royong.

Apapun yang berkaitan dengan persepsi harus dikembalikan pada niat awal perbuatan tersebut dilakukan.

Tidak boleh terlalu mudah melakukan justifikasi apakah seseorang tersebut berbuat sombong atau tidak.

Yang lebih utama dari menilai seseorang adalah apabila ia salah maka ingatkanlah, dan apabila ia tidak berkenan maka biarkanlah.

Pada akhirnya disanalah konsep rahmatan lil ‘alamin akan muncul. Karena ajaran Islam adalah ajaran kebaikan, maka kebaikan tersebut harus pula disampaikan dengan cara yang baik.

Agar kebaikan tersebut menghasilkan kebaikan baru dapat menciptakan kebaikan bersama. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *