Menulis dan Dunia Literasi: Jalan Dakwah Bagi Santri Masa Kini
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Mari kita renungkan sebuah nasihat dari hujjatul Islam al-Imam Al-Ghazali mengenai pentingnya menulis dan menjadi penulis berikut ini, khususnya bagi para santri. Sederhananya, jika engkau anak seorang raja atau anak seorang ulama maka sudah pasti semua perkataan dan perintahmu akan didengarkan banyak orang bahkan akan dipatuhi.
“Jika kau bukan anak seorang ulama, jika kau bukan anak seorang raja. Maka jadilah penulis,” – Al-Ghazali.
Bayangkan jika perintah dan perkataanmu mengandung kebaikan seperti perintah untuk menunaikan salat, perintah untuk mengaji, perintah untuk belajar dan perintah kebaikan lainnya.
Maka hal tersebut dapat menjadi ladang untuk kita menuai pundi-pundi pahala. Namun sebaliknya, jika kita bukan anak seorang raja atau anak seorang ulama maka jangankan perintah terkadang perkataan kitapun tidak akan ada yang mendengarkan.
Oleh karenanya Imam Al-Ghazali berkata demikian, ketika kita menuliskan hal-hal positif lagi baik, dan ketika tulisan kita dibaca oleh banyak orang, hal tersebut berpotensi besar menjadi ladang untuk kita menyebarkan kebaikan dan kebermanfaatan secara lebih luas.
Di era revolusi Industri 4.0 ini mayoritas masyarakat belajar dan membaca melalui media sosial. Mereka dengan mudahnya mendapatkan informasi, wawasan dan kajian-kajian Islam dari media sosial. Terlepas dari informasi yang didapatkan tersebut baik atau buruk, benar atau tidak, bagi masyarakat awam namun hal tersebut merupakan hal yang menarik serta memudahkan untuk mempelajari ilmu agama.
Kesempatan emas inilah yang harus dimanfaatkan oleh para santri yang mengemban misi mulia yakni menebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Bayangkan jika masyarakat awam ingin belajar agama lalu belajar melalui platform di media sosial sedangkan platform yang mereka kunjungi menebarkan ajaran-ajaran Islam yang radikal.
Tentu amat disayangkan niat baik ingin semangat untuk mempelajari agama Islam dan hijrah ke jalan yang lebih diridhoi Allah Swt malah membuatnya terjerumus ke dalam ajaran-ajaran Islam yang radikal serta paham keagamaan yang intoleran.
Para santri harus segera sadar bahwa santri tidak hanya wajib untuk mengaji namun harus segera berkecimpung di dunia kepenulisan. Karena manfaat menulis bukan hanya dapat dirasakan oleh penulis itu sendiri melainkan dapat dirasakan oleh orang-orang yang membaca tulisannya.
Mengapa dunia kepenulisan sangat penting bagi kalangan santri? Terkadang kita sebagai santri memikirkan hal tersebut namun enggan untuk segera berkecimpung di dalamnya. Padahal ketika terjadi fenomena di masyarakat terkait paham Islam radikal kita selalu berkata ‘itulah akibatnya belajar tanpa guru.’
Kita harus menyadari bahwa tidak semua orang memiliki privilese seperti yang dimiliki santri yang belajar di pesantren. Misalnya privilese waktu yang cukup untuk belajar, guru atau kiai yang sanad keilmuannya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan serta tidak mengajarkan paham keagamaan yang radikal.
Mayoritas masyarakat beranggapan bahwa pada Era Globalisasi seperti masa sekarang ini, proses belajar mengajar tidak harus dilaksanakan di ‘ruang kelas’, termasuk belajar agama. Padahal penting juga terkait latar belakang keilmuan seorang guru agama.
Dengan teknologi, masyarakat bisa mengakses semua informasi yang mereka inginkan, mereka tidak sadar bahwa tidak semua informasi dan wawasan kajian Islam yang ada di media sosisal dapat dikonsumsi. Akankah kita para santri akan membiarkan orang-orang awam menjadi korban ajaran-ajaran agama yang radikal di media sosial?
Sayyid Abdullah Alawi Al-Haddad berkata,
“Sebuah karya tulis seseorang dapat menjangkau ke berbagai pelosok-pelosok daerah, ia akan tetap abadi meskipun penulisnya sudah tiada”.
Pendapat Sayyid Abdullah Alawi Al-Hadad agaknya berkaitan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
عن ابي غريرة رضي الله عنه, أن رسول الله صلى الله عليه سلم, قال اذ مات الانسان انقطع عنه عمله الا من ثلاتة: صدقة جارية, أو علم ينتفع به, أو ولد صالح يدعو له. روه مسلم
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a., sesunggunya Rasulullah saw berkata: ketiak menusia meninggal semua amal ibadahnya terputus kecuali tiga perkara: sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau dari anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (H.R. Muslim)
Mayoritas ulama sepakat bahwa tiga perkara yang dimaksud dalam hadist di atas bukan hanya terpaku pada tiga perkara tersebut, melainkan terdapat 10 perkara yang masuk ke dalam kategori amal saleh, salah satunya adalah mengajar, menulis atau menulis catatan.
Oleh karenanya Imam Nawawi berpendapat dalam kitabnya yang berjudul Majmu’ Syarah Muhadzab, beliau menyarankan bahwa ketika para santri sudah mapan dalam belajar maka segeralah untuk mulai menulis.
Karena dengan menulis, keilmuan dan pengetahuan seseorang akan bertambah dan cakrawala pemahamannya akan seamakin luas. Imam Subkhi menegaskan bahwa sealim apapun seseorang akan berguna hanya selama ia masih hidup.
Kecuali ia meninggalkan sebuah karya atau memiliki murid yang telah menyerap ilmunya dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat luas. Menulis adalah jalan bagi santri untuk menebarkan kebermanfaatan secara lebih luas, maka para santri, mulailah menulis.