Menonton Film Porno, Bagaimamana Hukumnya?

 Menonton Film Porno, Bagaimamana Hukumnya?

HIDAYATUNA.COM – Beberapa waktu lalu sempat muncul statmen dari salah seorang tokoh publik kurang lebih begini “apa salahnya menonton film porno? Saya dewasa dan normal”. Jelas pernyataan tersebut menuai banyak pro dan kontra dengan segala argumen yang bertebaran di lini masa. Akan tetapi kami tentu tidak ingin ikut terlibat dan masuk ke dalam pusaran polemik tersebut secara tidak proporsional.

Bukan apa-apa karena hal demikian sudah menjadi persoalan publik yang pertaliannya sudah menyangkut banyak aspek bukan hanya soal benar salah tetapi juga etis atau tidak sebagai pejabat publik dan masih banyak lagi aspek lainnya. Kami akan mencoba mengulas bagaimana sebenarnya fikih Islam menghukumi praktek menonton film porno. Persoalan semacam ini masih menjadai tanda tanya berbagai kalanga, maka perlu penjelasan lebih mendalam mengenai hal ini.

Baiklah mari kita mulai, bahwa hukum dasar dari setiap perbuatan adalah mubah selama tidak dilarang. Lantas bagaimana dengan menonton film porno? Ini yang akan kita bahas lebih dalam. Kegiatan menonton erat kaitannya dengan pelibatan panca indra khususnya mata. Allah SWT berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Dalam ayat ini Allah secara jelas memerintahkan untuk menjaga pandangan dan kemaluannya dari perbuatan yang dilarang diantaranya zina. Apa saja yang disebut zina hadits dibawah ini menjelaskannya:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan batas-batas zina untuk anak Adam. Batas-batas itu adalah Zina mata dengan melihat (yang diharamkan), zina lisan dengan berkata (yang bohong), zina nafsu dengan membayangkan (pemicu syahwat yang terlarang). Sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan semua itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Firman Allah dan hadits di atas rasanya cukup menjadi fondasi untuk membahas lebih jauh lagi mengenai hukum menonton film porno yang ternyata memang terjadi perbedaan pendapat ada yang menghukuminya boleh dengan syarat tertentu dan ada yang tegas melarang tanpa kecuali. Dalam masalah fikih perbedaan pendapat sangatlah wajar, maka menjadi keharusan untuk melakukan penelaahan dan memperlajari lebih lanjut.

Pandangan membolehkan menonton film porno bagi pasangan suami-istri dikemukakan oleh Syihabuddin al-Qolyubi. Pendapat itu dikemukaan dalam kitab Hasyiyah al-Qalyubi dimana menurutnya haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah, meskipun itu sudah terpisah darinya, seperti kuku atau rambut kemaluannya baik dilakukan di balik kaca atau kain tenun yang tipis atau dalam air yang jernih. Namun menurut beliau tidak diharamkan jika melihat sosok atau bagian tubuh yang terpantul dari dalam air atau cermin walaupun disertai dengan syahwat.

وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَحْرُمُ رُؤْيَةُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا ، وَإِنْ أُبِينَ كَظُفُرٍ وَشَعْرِ عَانَةٍ وَإِبْطٍ وَدَمِ حَجْمٍ وَفَصْدٍ لَا نَحْوُ بَوْلٍ كَلَبَنٍ  وَالْعِبْرَةُ فِي الْمُبَانِ بِوَقْتِ الْإِبَانَةِ فَيَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ ، وَإِنْ نَكَحَهَا وَلَا يَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ زَوْجَةٍ وَإِنْ أَبَانَهَا ، وَشَمِلَ النَّظَرُ مَا لَوْ كَانَ مِنْ وَرَاءِ زُجَاجٍ أَوْ مُهَلْهَلِ النَّسْجِ أَوْ فِي مَاءٍ صَافٍ ، وَخَرَجَ بِهِ رُؤْيَةُ الصُّورَةِ فِي الْمَاءِ أَوْ فِي الْمِرْآةِ فَلَا يَحْرُمُ وَلَوْ مَعَ شَهْوَةٍ

Artinya: “Kesimpulannya, bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah meskipun dipisahkan, seperti kuku, rambut kemaluan, bulu ketiak, darah bekam, darah yang keluar dengan cara membelah pembulu darah vena (fashd), bukan semisalnya air kencingnya seperti air susu. Dan yang menjadi pegangan itu pada apa yang dipisahkan pada saat waktu pemisahan. Karenanya, haram apa yang terpisah dari perempuan ajnabiyyah meskipun sudah pernah dinikahi, dan tidak haram apa yang dipisahkan dari istrinya sekalipun suaminya memisahkannya. Melihat dalam konteks ini termasuk melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau air yang jernih. Dan terkecualikan dari melihat aurat perempuan ajnabiyyah adalah melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin.”

Bagi kalangan yang memperbolehkan melihat film porno bagi pasangan suami-istri mendasarkan dan menyamakan dengan melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin.

Meskipun begitu pendapat ini tidak semerta-merta dapat diikuti, karena ada pendapat lain yang dengan terang menentangnya. Melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram atau selainnya, selain istri, jika menimbulkan syahwat adalah haram. Bahkan keharaman ini menurut Ali asy-Syibramalisi mencakup juga keharaman melihat benda-benda mati (al-jamadat).

 أَمَّا النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ قَطْعًا لِكُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرِ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ 

Artinya: “Adapun melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram dan selainnya, selain istri dan budaknya, secara pasti adalah haram (Syarh Muhammad ar-Ramli). (Dalam hal ini) Ali asy-Syibramalisi menyatakan bahwa keumuman keharaman ini meliputi benda-benda mati. Karenanya, haram melihat benda-benda mati dengan disertai syahwat.”

Secara tegas dijelaskan bahwa melihat benda mati disertai syahwat saja diharamkan, maka jelas menonton film porno diharamkan termasuk bagi suami-istri. Apalagi jika kita menyandarkan pada hadits nabi di atas menonton film porno bisa dimasukkan sebagai salah satu bentuk zina mata. Demikian yang dapat kami sampaikan semoga dapat menjadi bahan pembelajaran Bersama dan menuntun kita pada kehati-hatian. Wallahu a’lam.

Sumber:

  • Sulaiman al-Bujairimi, at-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, al-Maktabah al-Islamiyyah-Turkey, tt, juz, 3, h. 326
  • Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi, Bairut-Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M, juz, 3, h. 2019

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *