Meninggalkan Dosa Lahir dan Dosa Batin
HIDAYATUNA.COM – Mengupas QS. Al-An’aam ayat 120 yang memerintahkan kita untuk meninggalkan dosa yang lahir dan dosa yang batin. Dosa yang lahir mudah disadari, tapi dosa yang batin, sudahlah jarang disadari juga sulit dideteksi.
Padahal dampaknya jauh lebih besar dari dosa-dosa lahir. Oleh karena itu, perhatian kita untuk mengenali dosa-dosa yang batin ini, seperti al-kibr, al-‘ujb, at-taraffu’ dan sebagainya, mesti lebih besar. Kalau kita fokus saja pada dosa-dosa batin ini (mengenalinya, mengobatinya dan membentengi diri darinya), kita tidak akan punya waktu untuk melihat dosa dan kesalahan orang lain.
Di akhir majlis, seorang ibu bertanya, “Tapi masalahnya, Ustaz, sekarang banyak terjadi perbedaan. Bahkan tak jarang para ustaz ‘bertengkar’ di mimbar dan media sosial. Kita sebagai orang awam tentu merasa bingung ; mana yang benar dan mana yang salah. Tanpa disadari kita pun sering terbawa dalam arus pertengkaran itu. Ini juga berdampak pada kondisi batin kita. Bagaimana menyikapi ini, Ustaz?”
Sekarang bayangkan saja, anggap Anda tidak pernah tahu dan mendengar sama sekali apa pun yang diperdebatkan itu. Anda tidak pernah mendengar perdebatan tentang sifat-sifat Allah.
Anda tidak pernah mendengar tentang manhaj A dan manhaj B. Anda tidak pernah mendengar perdebatan tentang sunah atau bid’ah. Apakah ketidaktahuan Anda tentang hal-hal yang diperdebatkan itu mengurangi kualitas Iman dan Islam Anda?
Apakah mengetahui hal itu, apalagi ikut membicarakannya, berdampak pada selamat atau tidak selamatnya Anda nanti di akhirat? Sederhananya, apakah semua itu penting bagi Anda?
Biarlah Menjadi Urusan ‘Mereka’
Sesungguhnya, apa yang kita butuhkan untuk selamat di akhirat nanti jauh lebih ‘sederhana’ dari yang kita kira. Tauhid yang benar, ibadah yang fardhu, dan akhlak yang baik.
Lebih dari itu sifatnya tambahan, diketahui bagus, bagi yang ingin berkonsentrasi dalam ilmu syariat dan memiliki tanggungjawab untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Apabila mengetahuinya secara tidak utuh, yang membuat kita malah semakin bingung, atau menganggu ketentraman hati. Sesungguhnya tidak mengetahuinya jauh lebih baik daripada mengetahuinya (الجهل به خير من العلم).
Sebenarnya yang membuat Anda menjadikan semua itu sebagai masalah adalah karena Anda ‘ikut campur’ dalam hal yang sebenarnya tidak perlu Anda ‘kakok’. Biarlah itu menjadi urusan mereka.
Mereka yang ‘diuji’ (مبتلون) untuk mengkaji semuanya secara mendalam, berimbang, memiliki dalil dan argumentatif. Lalu memberikan jawaban yang kuat, meyakinkan dan sekaligus menyejukkan.
Anda hanya perlu melakukan hal yang sangat sederhana. Kurangi interaksi dengan media sosial lalu sibuklah dengan diri Anda sendiri.
Kenali penyakit hati kita, dosa batin kita, pertahankan semangat ibadah kita. Lalu bantu perbaiki orang-orang di sekitar semampu kita. Cukup itu.
يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم … (المائدة : ١٠٥)
“Hai orang-orang beriman, perhatikan (jaga) dirimu… tidak ada bahaya terhadapmu orang-orang yang sesat apabila kamu telah mendapat hidayah…”
Hal yang membuat sebuah masalah benar-benar menjadi ‘masalah’ adalah karena media sosial dan sorak-sorai orang-orang di sekitar masalah itu, antara pro dan kontra. Kalau pendapat yang terlihat ‘kontroversial’ itu disampaikan di kalangan terbatas dan kepada orang-orang yang memiliki dasar, tentu ia hanya akan menjadi mas-alah (sesuatu yang ditanyakan) biasa saja.”