Menimbang Konsep Ekonomi Darul Ahdi wa Syahadah
Oleh: Mukhaer Pakkanna
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
HIDAYATUNA.COM – Pancasila yang lahir 1 Juni 1945, bagi Muhammadiyah, dianggap sebagai ideologi berbangsa dan bernegara yang sudah final. Deklarasi yang disampaikan Muhammadiyah terutama pada Muktamar ke 47 di Makassar, semakin meneguhkan ihwal itu. Muhammadiyah mengkonstatasikan, negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir (2015) menyampaikan, darul ahdi artinya negara tempat kita melakukan konsensus nasional. Negara kita berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik, sepakat untuk mendirikan Indonesia.
Pada Kata Pengantar Buku “Negara Pancasila: Darul Ahdi Wa Syahadah” (2016), Haedar menjelaskan, konsep Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini menjadi pedoman dan rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, dan khittah Muhammadiyah.
Bagi warga Muhamadiyah, segenap Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh warga Muhammadiyah dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Secara kontekstual, tentu ihwal ini berdasarkan pandangan Islam Berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif ke-Islaman Muhammadiyah.
Dalam bidang ekonomi, konsep ekonomi Pancasila memiliki kompatibilitas dengan spirit darul ahdi wa syahadah. Dalam ekonomi Pancasila, disebutkan bahwa perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama (at-ta’wun) beradasarkan atas asas kekeluargaan dan kerjasama (syirkah). Dalam pasal 33 UUD 1945, terang benderang menyebutkan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“
Berdasarkan gambaran konsep darul ahdi wa syahadah, sejatinya ajaran Islam, menurut Muhammadiyah, memiliki sistem dan tatanan hidup dengan prinsip universalisme.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Pancasila telah dijadikan dasar dan falsafah hidup. Sebagai common sense, apapun yang hendak dikembangkan di Tanah Air, sejatinya merujuk pada falsafah Pancasila.
Kemudian, di sudut lain, ajaran Islam, yang memiliki sistem dan tatanan hidup dengan prinsip universalisme dan kosmopolitanisme (Madjid, 2002). Sangat tepat jika disebutkan, ekonomi Pancasila, yang memiliki nilai-nilai universal dan berlandaskan maqashid syariah, yakni memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama dan suku.
Menegaskan hal itu, rumusan universalitas dasar ekonomi darul ahdi wa syahadah, yakni, pertama, bertujuan untuk mencapai masyarakat sejahtera. Kedua, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama serta yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja. Ketiga, dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar.
Keempat, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin. Kelima, pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat. Keenam, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang. Ketujuh, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal (Chapra, 1999).
Beranjak pada falsafah ekonomi darul ahdi wa syahadah, kompatibilitas dalam gerakan dan perjuangan untuk mewujudkan ekonomi masyarakat yang berkeadilan di Tanah Air, sudah tidak bisa lagi dipertentangkan. Pelbagai macam kebijakan dan perilaku ekonomi yang mencampakkan rasa keadilan sosial, harus dilawan. Penindasan, eksploitasi, diskriminasi, favoritisme, dan eksklusivisme dalam hidup berekonomi, menjadi musuh dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Mengingat kompatibilitas itu, dalam merumuskan dasar ekonomi Negara, Bung Hatta (1975) menggagas “…Ketuhanan yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Bung Karno, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya.”
Selanjutnya Hatta (1980) mengatakan: “…dasar yang memimpin bagaimana hendaknya hidup kita dalam masyarakat. Kemanusiaan yang adil dan beradab ialah kelanjutan daripada sila kesatu tadi, yang mengakui dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Persatuan Indonesia hendaklah kita pelihara baik-baik. Sila keempat ialah supaya kita menjalankan demokrasi kerakyatan yang didasarkan kepada hikmah kebijaksanaan dan musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat. Musyawarah itu penting karena demokrasi ada hubungannya dengan musyawarah. Demokrasi harus berdasarkan musyawarah, musyawarah dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang membawa kepercayaan rakyat ke sana. Kemudian sila kelima ialah sila keadilan sosial. Kalau menerima sila keadilan sosial ini sebagai bagian dari Pancasila, maka hendaklah dipraktikkan.”
Semakin jelas bahwa kepatuhan dan komitmen pada falsafah Pancasila sebagai konsep darul ahdi wa syahadah, merupakan necessary condition, karena posisi Pancasila “mengikat seluruh lapisan masyarakat, terutama mengikat pemerintah dan instrumen-instrumen negara yang bertugas sebagai eksekutor”.
Dalam konteks itulah, sungguh tepat, jika ingin terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral dan akidah, serta ketertindasan, teologi Surat Al-Ma’un menjadi dasar pijak yang kompatibel dengan spirit ekonomi Pancasila.
Rasulullah SAW menukil: “almuslimuna syuroka’u fi tsalatsatin, fil ma’i, wal kalai wan nari” (orang-orang Islam bersyarikat dalam tiga hal: air, rumput (pangan), dan api. (HR Abu Daud). Hadits ini mendeskrpsikan, komoditas publik (air, pangan, dan energi) adalah hak milik bersama dan menjadi kewajiban negara untuk “menguasai”, melindungi, mengawasi dan mengoptimalisasikannya untuk kesejahteraan rakyat.
Dengan dasar itu, sejatinya kebijakan ekonomi harus “disusun” sesuai makna demokrasi ekonomi. Secara imperatif, Negara harus menyusun dan mendesain sistem kelembagaan. Kata Swasono (2010), wujud “ketersusunan”, yaitu sebagai usaha bersama berdasar kebersamaan dan kekeluargaan.
Karena itu, sangat tepat jika “ketersusunan” ekonomi tidak diserahkan pada liberalisme pasar yang rakus, yang melahirkan penindasan, eksploitasi, dan penghancuran alam, tapi harus sengaja di desain.
Dalam QS al-Hasyir ayat 7, Allah memberi ruang kepada manusia untuk menyusun dan mendesain model terciptanya pemerataan distribusi pendapatan.
Demikian juga, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama (at-ta’wun) beradasarkan atas asas kekeluargaan dan kerjasama (syirkah). Tentu, instrumen operasionalnya, adalah koperasi (Abbas, 2010). Koperasi, menurut Bung Hatta, memberikan tempat yang sama antara kaya dan miskin untuk saling kerjasama. Hatta menginginkan agar dalam koperasi, mereka yang miskin harus dibela dan diberi kesempatan.
Tentu, hal ini sejurus QS. al Ma’un: 1-3; “pendusta agama adalah orang yang menyia-nyiakan anak yatim dan tidak mau membela dan memberi makan orang miskin”.
Dalam konteks keterlibatan negara, spirit ekonomi Pancasila menegaskan, untuk menguatkan potensi ekonomi rakyat, negara tidak boleh absen dalam kerakusan free fight liberalism. Rakyat harus diberi kesempatan dalam demokrasi ekonomi, yakni kesempatan partisipasi dan emansipasi. Dalam demokrasi ekonomi, semua bisa duduk bersama. Oleh karena itu, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus simultan.
Karawaci, 1 Juni 2020