Menimbang ‘Keputusan’ Childfree dalam Tinjauan Maqashid Syariah
HIDAYATUNA.COM – Childfree adalah keputusan untuk tidak memiliki anak, baik anak kandung maupun anak asuh, meskipun memiliki pasangan yang sah. Di luar negeri, terutama negara-negara maju, childfree bukan menjadi kajian yang asing lagi. Disana childfree dibolehkan bagi pasangan yang menginginkan demikian, yang disertai motif dan alasan yang beragam.
Sementara itu, baru akhir-akhir ini di Indonesia marak bertebaran di berbagai media sosial tentang hal itu. Di Indonesia childfree masih menjadi pertanyaan bagi sebagian orang apalagi jika dikaitkan dengan hukum Islam. Tentu bahasan akan menjadi lebih menarik.
Pernikahan sejatinya adalah proses yang sakral dalam rangka melegalkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Baik Islam maupun agama lain, memiliki tradisi dan cara yang berbeda-beda dalam pelaksanaanya.
Adapun tujuannya, dalam Islam (baca: Alquran) disebutkan tujuan pernikahan adalah untuk meraih ketenangan batin (sakinah) dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) sesama pasangan (Ar-Rum: 21).
Mereka itu harus saling melindungi satu sama lain, yang dalam hal ini Alquran mengibaratkan “pakaian” sebagai penutup dan pelindung (al-Baqarah: 187).
Childfree dan Tujuan Pernikahan
Bagi masyarakat Indonesia, secara umum tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapat keturunan yang tujuannya sebagai generasi penerus perjuangan orangtuanya.
Orangtua juga berpikir panjang bahwa dengan memiliki anak, mereka berharap kepada anak-anaknya yang akan dijadikan sebagai ‘ladang’ keluh kesah, memelihara ketika orangtua sedang sakit dan memeliharanya ketika sudah menua.
Keyakinan seperti ini dipegangi betul, bagi mereka yang sudah menikah. Sementara itu bagi yang belum dikaruniai keturunan akan berusaha semaksimal mungkin, mulai dari terapi, memungut anak dari saudara atau panti.
Bahkan rela untuk mengeluarkan uang berjuta-juta untuk bayi tabung yang hasilnya saja belum tentu berhasil. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapatkan keturunan yang diinginkan.
Namun, tujuan ini tidak ada pada pasangan yang memutuskan untuk childfree. Kita tidak bisa memaksa apalagi mengintimidasi dan menghakimi pasangan tersebut karena itu menjadi hak atas kemerdekaannya untuk menentukan jalan hidup sehingga hal itu menjadi sah dan wajar bagi mereka.
Dengan berbagai alasan seperti stres dan trauma saat melahirkan, perjalanan panjang nan melelahkan dalam reproduksi perempuan yang semua itu ditanggung oleh kaum perempuan saja. Begitu juga dengan alasan lain, semisal rumitnya relasi anak dan orangtua;
Khawatir tidak dapat memberikan hal yang terbaik bagi anak, khawatir tidak bisa menafkahi anak. Bahkan kekhawatiran akan adanya cap “durhaka” pada diri anak, dan lain sebagainya.
Syariat Islam untuk Merawat Keturunan
Keputusan para pasangan yang memilih childfree saya rasa perlu dipertimbangkan lagi. Pada konteks ini, Imam as-Syatibi dalam al-Muwafaqat nya memaparkan tujuan dan maksud syariat Islam.
Beliau memaparkan ada 5 tujuan syariah yang biasa disebut dengan kulliyatul khomsah yaitu khifz din (memelihara agama), khifz aql (memelihara akal), khifz nafs (memelihara jiwa), khifz nasl (memelihara keturunan), dan khifz mal (memelihara harta benda).
Dari kelima itulah pada dasarnya syariat Islam dipijakkan. Dari kelima hal tersebut pula, salah satu hal yang patut disorot, dalam konteks ini adalah khifz nasl (merawat keturunan).
Berkaitan dengan itu, pernikahan yang notabene merupakan satu hal yang disyariatkan dalam Islam dan menjadi satu-satunya jalan untuk merawat dan menjaga keturunan. Hal demikian dilakukan untuk menunjang tujuan-tujuan syariat yang lain, misalnya untuk merawat dan menjaga agama agar tetap lestari.
Selain itu, pada masa kontemporer ini misalnya, ada yang menambahkan tujuan syariat adalah dengan khifz bi’ah (merawat/menjaga lingkungan). Dengan tetap adanya reproduksi manusia, ekosistem di dunia ini akan seimbang dan terus berproses menuju tujuan penciptaan.
Keistimewaan Laki-laki dan Perempuan
Apa jadinya, jika manusia tidak bertumbuh dan tidak memiliki generasi penerus. Disaat semua sudah menua, sudah tidak produktif, kira-kira apa yang terjadi dengan dunia ini. wallahu a’lam
Jadi, bersyukurlah kalian yang telah ditakdirkan menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Semua manusia dijadikan sebagai khalifah fi al-ardh. Semua manusia dihadapan Allah setara.
Keunggulan manusia dihadapan-Nya hanyalah taqwa. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan merupakan makhluk yang istimewa, yang memiliki kekurangan dan kelebihan pada diri masing-masing. Oleh karenanya jika dipasangkan keduanya akan ‘klop’ saling mengisi dan melengkapi.
Masing-masing memiliki peran tersendiri. Laki-laki memiliki tubuh yang kekar dan kuat untuk melindungi perempuan yang fisiknya cenderung lebih lemah.
Namun pada saat yang sama, perempuan memiliki kekuatan untuk menahan gejolak reproduksi yang ada pada tubuhnya. Haid, melahirkan anak, nifas, menyusui, dan lain sebagainya yang semua itu merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Inilah kekuatan perempuan yang harus disyukuri.
Dengan ‘menjalankan’ tugas masing-masing sesuai porsinya. Itulah pada dasarnya, yang dinamakan sebagai khalifah fil ardh yang bisa mengantarkan umat manusia pada tujuan penciptaan. wallahu a’lam..