Menimba Kearifan Rebo Wekasan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Jika kita berfokus pada aspek tauhid atau ideologis dari penyelenggaraan Rebo Wekasan maka kemungkinannya cuma dua. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Jika dilihat dari segi hukum (fikih), maka jawabannya bisa bermacam-macam. Bisa haram, makruh, boleh, sunnah, bahkan wajib.
Namun fokus tulisan di sini tidak untuk menyinggung kedua aspek di atas yang sebenarnya sudah banyak diulas oleh berbagai kalangan.
Rebo Wekasan terdiri dari dua kata yakni Rebo berarti hari Rabu dan Wekasan berarti terakhir. Rebo Wekasan berarti hari Rabu terakhir pada bulan Shafar. Bulan kedua dalam penanggalan hijriah.
Apa yang menarik dari fenomena Rebo Wekasan adalah kenyataan bahwa pada satu sisi menggambarkan perasaan takut akan kesialan, wabah dan marabahaya berdasarkan informasi hadis yang diyakini dengan praktik atau ritus yang mencerminkan penyikapan yang diambil oleh pengamalnya.
Umat Islam yang rutin mengamalkan Rebo Wekasan percaya bahwa jika tidak mengadakan ritual maka dikhawatirkan kesialan akan menimpa dirinya.
Kepercayaan akan datangnya kesialan di bulan Shafar ini sebetulnya sudah ada sejak jaman jahiliyah.
Hanya saja, reaksi dan praktik yang berkembang atas keyakinan tersebut membuahkan perasaan sial (tasa’um).
Datangnya Islam mengubah cara pandang tersebut. Ini terlihat dari hadits berikut:
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR. Imam al-Bukhari dan Muslim).
Islam memandang sebuah persoalan secara lebih rasional, proporsional dan positif. Ketika ada situasi yang dianggap berbahaya, maka sebera hindari atau atasi.
Persis ketika kita menjumpai singa, maka pergilah menjauhinya. Di sisi lain juga terdapat mekanisme lain yang ditawarkan oleh Islam ketika mendapati situasi bahaya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ الْفَأْلَ الْحَسَنَ ، وَيَكْرَهُ الطِّيَرَةَ
Artinya:
“Abu Hurairah berkata: Rasulullah senang dengan tafaul (mengharap baik) dan tidak suka dengan tathayyur (merasa sial).” (HR. Ahmad)
عن أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ طِيَرَةَ ، وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ » رواه البخارى
Artinya:
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: Tidak ada kesialan. Sebaik-baik merasa sial adalah tafa’ul” Sahabat bertanya: “Apa Tafaul?” Nabi menjawab: “Yaitu kalimat yang baik yang didengar oleh kalian.” (HR. al-Bukhari)
Tafa’ul atau afirmasi positif ketika situasi sedang dirasa tidak baik-baik saja sejalan dengan rekomendasi kajian psikologi modern.
Praktik positif lainnya yang juga sejalan adalah dengan menyibukan diri pada kegiatan atau ritual yang positif.
Ini berarti ada hubungannya dengan mengapa anjuran untuk salat, berdoa, menghidangkan makanan-makanan tertentu dan bersedekah yang menyimbolkan makna tolak bala (menolak datangnya kesialan) lebih ditekankan oleh para ulama pada saat hari Rebo Wekasan.
Jadi, alih-alih kita merasa takut akan kesialan yang mungkin terjadi, lebih dianjurkan untuk segera mengambil inisiatif agar ketakutan tersebut tidak menguasai kita.
Bahasa kekiniannya overthinking. Kita tahu bahwa overthinking bisa dihentikan dengan aktivitas-aktivitas atau ritual yang positif. []