Menilik Sebuah Pondok Thariqah di Madura
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pesantren ini bernama An-Naqsyabandiyah Assalafiyah, Ombul Sampang, didirikan oleh KH. Fathul Bari seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyah dan makamnya terletak di Peniraman, Pontianak.
Saat ini dilanjutkan oleh putranya KH Darwisy, yang juga sebagai Mursyid, semoga Allah memberikan kesehatan, panjang umur dan keberkahan.
Beliau seumuran dengan Abah saya dan menjadi teman mondok di Darul Ulum, Peterongan Jombang, di masanya Yai Romli Tamim.
Kemarin, pesantren ini mengadakan haflah imtihan dengan menghadirkan Gus Kautsar.
Sebab putra-putri Kiai Darwis banyak yang mondok di Ploso termasuk Lora Muhammad Ashim, tidak jauh angkatannya dengan masa, saya yakni sekitar akhir 90-an.
Sebelum ceramah Gus Kautsar, paman-paman misanan saya menyuruh ngisi waktu kosong dahulu.
Akhirnya saya sampaikan soal dalil keabsahan Thariqah. Sebab bagaimanapun nanti santri lulusan pesantren ini ketika sudah berada di masyarakat atau punya medsos akan berhadapan dengan tuduhan bahwa Thariqah dituduh bidah, menyimpang dan seterusnya.
Cara menjawabnya adalah sebagai berikut:
1. Jika dituduh ilmu Thariqah tidak ada di zaman Nabi, maka semua nama ilmu juga tidak ada di zaman Nabi.
Ilmu Tajwid misalnya, di masa Nabi dan yang dipraktekkan oleh sahabat tidak mengenal nama bacaan iqlab, ikhfa’, idzhar dan lainnya.
Tajwid sebagai ilmu tata cara membaca Al Qur’an baru dibukukan oleh Abu Ubaid Qasim bin Salam di abad ke III Hijriah. Demikian pula ilmu Thariqah yang menjadi sub ilmu Tasawuf baru dikenalkan oleh Imam Al-Junaid.
2. Praktek Thariqah. Sebagaimana ilmu Tajwid mengambil bacaan dari Nabi yang diajarkan kepada Sahabat, maka Thariqah pun mengambil sisi zikir Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagaimana disampaikan oleh Sayidah Aisyah:
«ﻛﺎﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺬﻛﺮ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺃﺣﻴﺎﻧﻪ»
Artinya:
“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam selalu berzikir kepada Allah di semua keadaan.” (HR. Bukhari)
Di antara amalan Thariqah adalah memperbanyak zikir. Sumbernya juga dari Nabi. Mengapa melalui Thariqah?
Sebab guru atau Mursyid akan membimbing untuk melakukan zikir secara bertahap. Kedudukan Mursyid ini bisa kita ibaratkan sebagai dosen pembimbing di zaman sekarang.
Gus Kautsar pada kesempatan mauidzahnya selalu memberi semangat agar kita bangga menjadi santri dan terus mengaji agar keluarga kita bisa beribadah kepada Allah sesuai dalam tuntunan agama.
Dalil yang beliau sampaikan adalah hadis:
«ﻻ ﻳﻠﻘﻰ اﻟﻠﻪَ ﺃﺣﺪٌ ﺑﺬﻧﺐ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﺟﻬﺎﻟﺔ ﺃﻫﻠﻪ»
Artinya:
“Tidaklah seseorang menjumpai Allah dengan dosa yang lebih besar dibanding kebodohan keluarganya.”
Saya bukan ahli hadis yang hapal hadis, tapi ahli hardisk dengan membuka aplikasi kitab.
Ternyata riwayat tersebut dicantumkan dalam kitab Ihya’ dan dikomentari oleh Al-Hafidz Al-Iraqi bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari Abu Sa’id Al Khudri. []