Menilik Narasi Sejarah Kaligrafi
HIDAYATUNA.COM – Dalam sejarah perkembangan Islam, seni memperoleh apresiasi yang tinggi. Sekian macam seni mulai musik, rupa, arsitektur, termasuk kaligrafi muncul dengan tokohnya masing-masing.
Semua seni menyumbang keindahan yang sampai hari ini, berpuluh-puluh juta umat Islam masih melestarikannya. Misalnya dengan tetap mempertimbangkan muatan sekaligus relevansi semangat zaman.
Berbicara tentang kaligrafi, kita kerap menjumpainya dalam kondisi tertempel di dinding rumah, masjid, musala, dan dijajakan dalam acara pengajian dengan sekian harga. Kaligrafi itu terbeli dan terpajang.
Kaligrafi juga menandakan bahwa pemiliknya, secara tidak langsung hendak memberi nuansa keindahan Islam. Kendati mereka mungkin kadang luput tidak mengetahui muasal kaligrafi itu sendiri.
Perkembangan Kaligrafi dari Masa ke Masa
Prof. Mohd. Bakhir Hj. Abdullah dari Universiti Islam Antarbangsa Malaysia dalam risetnya berjudul Sumbangan Kaligrafi Arab dalam Kesenian Islam: Suatu Kajian Sejarah (2007), memberi uraian ihwal perjalanan kaligrafi dalam kesenian Islam.
Di situ tercatat bahwa pada masa Kanjeng Nabi, tawanan perang bisa dibebaskan jika mereka mau mengajarkan anak-anak Islam menulis dan belajar bahasa Arab. Pernyataan itu saya rasa berangkat dari dua hal.
Pertama, Kanjeng Nabi memberi penekanan pada pendidikan dan pengajaran yang bersesuaian dengan wahyu pertama yang diterima. Kemudian yang kedua, secara sosial-ekonomi, mayoritas penganut Islam awal adalah para budak dan mereka yang memiliki status rendah sehingga banyak yang masih buta huruf.
Maka pengajaran itu berguna untuk memudahkan komunikasi antara Kanjeng Nabi dan pengikutnya. Kendati ada juga pembesar Quraisy yang di awal sudah masuk Islam. Namun secara kuantitas lebih sedikit dan dinilai kurang memadai untuk memberi pengajaran.
Sejarah Kaligrafi di Masa Dinasti Umayyah
Menulis dan belajar bahasa Arab di masa Kanjeng Nabi itu menjadi babakan awal sejarah kaligrafi. Meskipun belum peroleh sentuhan estetika yang berlebihan.
Baru pada masa Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), salah satu penguasa Dinasti Umayyah, kaligrafi peroleh perkembangan yang cukup signifikan. Pasalnya, ia membuat kebijakan bahwa setiap dokumen resmi negara mesti menggunakan huruf Arab.
Di masa ini juga nama Qutbah al-Mihr muncul. Ia merupakan kaligrafer ternama dengan membawa dua jenis tulisan Arab: tumar dan jalil. Jenis tulisan Arab tumar ini yang kemudian menjadi tulisan resmi pada Dinasti Umayyah.
Seiring berjalannya waktu, Dinasti Umayyah runtuh lantas kekuasaan Islam berada di bawah Dinasti Abbasiyah. Seperti uraian di banyak literatur sejarah Islam, kita kerap menemui narasi bahwa pada dinasti ini, Islam mengalami masa keemasan yang mungkin tidak bisa disandingkan dengan masa-masa sebelum maupun sesudahnya.
Dinasti Abbasiyah juga memunculkan sekian nama masyhur pada seni kaligrafi. Dua nama diantaranya adalah Ibnu Muqlah dan Abu Hasan Ali bin Hilal.
Gaya Penulisan Kaligrafi
Ibnu Muqlah sendiri menjabat sebagai wazir (menteri) namun juga memberi perhatian yang lebih pada urusan estetika Islam, khususnya kaligrafi. Ia membuat semacam sistem jenis tulisan Arab. Ia juga membagi huruf Arab dalam enam gaya berbeda: kufi, naskhi, riqah, diwani, ta’liq, dan sulus.
Sementara itu Abu Hasan Ali bin Hilal atau yang lebih akrab dikenal sebagai Ibnu Bauwab membuat dua jenis huruf lain yaitu muhaqqaq dan raihani. Ia juga mulai menjelaskan tulisan secara ilmiah dengan ketentuan agak ketat.
Dalam sejarah tercatat ia pernah menyalin Alquran dengan 64 gaya tulisan yang berbeda. Hanya saja salinannya ini banyak yang hilang atau terbakar karena kontestasi politik internal maupun eksternal.
Bergeser ke masa Dinasti Usmani, perkembangan tulisan Arab hanya pada teknik menulisnya. Di masa ini dikenal teknik menulis tugra. Teknik ini digunakan oleh Dinasti Usmani untuk mengantisipasi medium tulisan yang terbatas seperti stempel atau lambang resmi pemerintahan yang berukuran mini.
Alasan Seni Kaligrafi Eksis dari Zaman ke Zaman
Tulisan Arab dari masa ke masa ini yang kemudian dijadikan rujukan dalam menulis seni kaligrafi. Pun ketika seni kaligrafi merangsek masuk ke umat Islam negeri ini tempo dulu. Bahkan sampai sekarang masih banyak didapati orang yang dengan tekun belajar seni kaligrafi dengan merujuk sekian jenis tulisan dan tekniknya.
Abdul Hadi W.M dalam bukunya berjudul Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999) memberi argumen lebih lanjut untuk menjawab kenapa seni kaligrafi masih eksis sampai hari ini.
Pertama, berkenaan dengan peran kaligrafi sebagai media penulisan kitab suci Alquran dan pendistribusiannya yang memuat nilai estetika tinggi. Kedua, seni kaligrafi mengawali lahirnya seni rupa Islam di mana pun agama ini berkembang.
Ketiga, sejalan dengan perkembangan seni rupa, kaligrafi Islam menjadi elemen estetik yang relevan bagi pembaharuan seni rupa Islam. Maka dari itu, seni kaligrafi Islam ditujukan sebagai media ekspresi berkesenian dengan tidak menegasikan muatan-muatan ilahiah.
Selain itu juga sebagai perantara dakwah, bahwa dalam Islam juga tersedia unsur-unsur wajah yang lebih ramah dan bernuansa indah.