Menilik Kisah di balik Api Abadi Mrapen, Grobogan

 Menilik Kisah di balik Api Abadi Mrapen, Grobogan

Kisah Perjalanan Spiritual Pendeta Australia yang Memutuskan Masuk Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita mengenal Api Abadi Mrapen sebagai lokasi wisata. Di sampingnya ada kolam air yang dikenal dengan Sendang Dudo.

Menurut penuturan lisan, air yang ada di sendang tersebut mujarab untuk menyembuhkan rematik dan penyakit kulit. Airnya terlihat mendidih dengan keluar banyaknya gelembung udara, tetapi tidak terasa panas.

Masih di lokasi sekitarnya, ada Batu Bobot. Bongkahan batu yang memiliki berat sekitar 20 kilogram. Konon siapa saja yang dapat mengangkat batu tersebut, sekian hajatnya bisa terkabul. Dari situs-situs bersejarah ini, banyak orang datang selain untuk plesiran, juga untuk ngalap berkah.

Karena di masa silam Api Abadi Mrapen ini dianggap sebagai warisan dari Sunan Kalijaga. Sunan yang masih belum rampung dibahas maupun didiskusikan seperti asal keturunan, riwayat remajanya, lokasi wafat, dan peninggalannya.

Diskusi Nasab Biologis Sunan Kalijaga

Terkait nasab biologis, setidaknya ada tiga pendapat yang diajukan oleh ilmuwan. Masing-masing pendapat bertolak dari temuan di lapangan, baik literatur maupun wawancara lisan dengan keturunannya.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga berasal dari Arab. Jika ditarik ke atas, akan bertemu dengan garis keturunan Kanjeng Nabi Muhammad. Pendapat ini didukung oleh J. Prof. J. Drewes, Mr. C. L. N. Van den Berg, dan Prof. Tujimah.

Pendapat selanjutnya menyatakan Sunan Kalijaga berasal dari China dengan nama Oi Sam Ik. Ayahnya Tumenggung Wilatikta memiliki nama China Oi Tik Too (Wilatikta).

Hal ini dikaitkan dengan garis Sunan Kalijaga yang ditarik ke atas akan bertemu dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Pendapat ini disampaikan oleh S. Wardi yang mengambil sumber dari Kumpulan Cerita Lama dari Kota Wali (Demak).

Pendapat terakhir merupakan pendapat yang umum dikemukakan oleh peneliti dan masyarakat pada umumnya. Keterkaitan antara Timur Tengah dan Persia dengan Pulau Jawa memicu munculnya keilmuan Islam.

Sunan Kalijaga lahir di Jawa, tetapi peroleh pengetahuan Islam dari para wali berketurunan Timur Tengah dan atau Persia.

Tutur Lisan Api Abadi Mrapen dengan Sunan Kalijaga

Cerita yang berkembang di masyarakat, awal abad ke-15 Sunan Kalijaga beserta rombongannya membawa pendopo Kerajaan Majapahit menuju ke Kesultanan Demak. Pendopo itu rencananya akan digunakan sebagai serambi Masjid Agung Demak.

Tetapi saat rombongan Sunan Kalijaga sampai di Desa Manggarmas, mereka merasa kelelahan. Sunan Kalijaga pun menancapkan tongkatnya, lantas keluar api yang kini dikenal sebagai Api Abadi Mrapen. Api yang tidak padam meski diguyur dengan curah hujan yang deras.

Setelah itu, Sunan Kalijaga kembali menancapkan tongkatnya lantas memancar keluar air. Air ini digunakan oleh rombongannya untuk melepas dahaga. Kini, air yang terpancar melalui tongkat Sunan Kalijaga akrab dikenal sebagai Sendang Dudo.

Sekembalinya kuat bertenaga, Sunan Kalijaga beserta rombongan hendak melanjutkan perjalanan. Hanya saja yang bertugas membawa umpak (landasan tiang) merasa keberatan. Akhirnya umpak tersebut ditinggalkan. Kini umpak tersebut juga menjadi situs sejarah yang dikenal sebagai Watu Bobot.

Fahruddin Faiz dalam artikelnya Mitos-Mitos di Seputar Petilasan Sunan Kalijaga (2012) memberi keterangan tentang tutur lisan mengenai Api Abadi Mrapen dan mitos semacamnya, yang melulu dilekatkan dengan Sunan Kalijaga.

Kutipan di buku, “… mitos seputar Sunan Kalijaga di masa kini tampak masih memainkan peran sosial dan budayanya di tengah masyarakat meskipun dengan porsi serta proporsi sosial budaya yang berbeda dengan sebelumnya.”

Mitos-mitos semacam ini memang telah peroleh pemaknaan baru. Di tengah menguatnya era modernisasi dengan indikasi pesatnya teknologi, mitos-mitos itu barangkali telah jadi objek konten di media sosial. Sisi spiritualnya memang masih ada dan terasa, tetapi sudah tereduksi atau malah telah disimplifikasi sebagai objek biasa. Semoga saja tidak demikian.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *