Menikahkan Korban dengan Pelaku Kekerasan Seksual adalah Seburuk-buruknya Gagasan

 Menikahkan Korban dengan Pelaku Kekerasan Seksual adalah Seburuk-buruknya Gagasan

Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Politik (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa hari yang lalu, saya sempat membaca kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kementerian Koperasi dan UKM.

Berita tiba-tiba viral, setelah sebelumnya situs konde.co yang pertama kali memberitakan kasus ini mendadak down.

Diduga situs konde mendapat serangan dari pihak yang ingin melindungi pelaku.

Kasus kekerasan seksual, memang sangat banyak terjadi. Menurut CATAHU (Catatan Tahunan) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, selama tahun 2022 saja tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan adalah sebanyak 3.838 kasus.

Tentu saja masih banyak kasus yang tidak diadukan yang tidak tercatat. Mungkin korbannya tidak memiliki keberanian dan berada dalam pihak yang dilemahkan.

Menurut berita dari suara.com, kasus kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM itu terjadi pada akhir tahun 2019.

Sudah hampir tiga tahun berlalu. Namun, pelaku belum mendapat hukuman yang setimpal.

Dari kasus ini saja, kita bisa melihat betapa sulitnya perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya.

Di akhir 2019, korban mengalami kekerasan seksual oleh keempat rekannya sendiri. Sementara dua orang lain membiarkan kejadian ini berlangsung.

Mereka berjaga di depan pintu kamar. Sebelumnya, korban dicekoki miras oleh pelaku sehingga ia dalam keadaan tidak sadar.

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang laki-laki melakukan kekerasan seksual kepada seorang perempuan, padahal perempuan itu adalah kawannya sendiri.

Sebelumnya mereka keluar bersama ke suatu tempat hiburan. Hal ini cukup menggambarkan kedekatan hubungan pertemanan antara korban dan pelaku.

Sudah begitu, kekerasan seksual dilakukan oleh empat orang dan dua orang lain berjaga di depan pintu. Sementara pihak korban dalam keadaan tidak berdaya.

Hal yang lebih mengherankan adalah kejadian setelah itu. Di awal tahun 2020, keempat pelaku sempat ditahan selama 21 hari.

Sementara dua orang lain dibebaskan. Padahal mereka turut andil dalam kekerasan tersebut.

Selama proses penahanan, nampaknya keluarga pelaku ada yang menemui korban.

Di sinilah sebenarnya awal dari bencana itu. Seharusnya korban didampingi oleh kuasa hukumnya dan mendapat perlindungan hokum.

Korban tak boleh bertemu dengan pelaku atau keluarganya.

Pertemuan itu bisa membangkitkan trauma korban. Selain itu, dikhawatirkan korban mendapat ancaman dan tekanan dari pelaku untuk menempuh jalan damai.

Sehingga dalam upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual, sebisa mungkin korban tidak dipertemukan dengan pelaku atau pihak yang mendukung pelaku.

Pada akhirnya, laporan tersebut dicabut dari kepolisian. Pelaku dibebaskan. Kedua pelaku yang saat itu masih berstatus sebagai honorer dikeluarkan dari instansi.

Sementara pelaku yang berstatus sebagai ASN mendapat sangsi penurunan pangkat. Saya setuju dengan yang dikatakan oleh tempo.co bahwa sanksi ini terlalu ringan untuk pelaku kekerasan seksual.

Selain itu, yang lebih mengherankan tiba-tiba muncul solusi menikahkan korban dengan salah satu pelaku.

Ide itu nampaknya muncul untuk membebaskan pelaku dari jerat hukum serta agar pelaku tidak dikeluarkan dari pekerjaannya.

Menikahkan korban dengan pelaku adalah bencana besar. Bagaimana cara berpikir orang-orang di sekitarnya?

Apa mereka menganggap jika korban dinikahi pelaku maka urusan jadi beres? Apa orang-orang berpikir pelaku sudah bertanggung jawab atas kesalahannya jika mau menikahi korban?

Sungguh tidak masuk akal. Ini sama halnya menekan seseorang untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai juga tidak mencintainya.

Bahkan orang tersebut tidak menganggap korban sebagai manusia yang setara. Korban akan terus mengingat trauma itu sepanjang hidupnya.

Sementara pelaku tak akan mengganggap korban sebagai pasangannya. Apakah mungkin, pernikahan semacam itu mendatangkan kebahagiaan bagi korban?

Yang ada justru korban akan semakin tertekan dan tak kunjung pulih. Dapat dipastikan, pernikahan antara korban dengan pelaku lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Lagipula, dalam kasus ini pernikahan antara korban dan pelaku pun juga bermasalah.

Menurut pihak keluarga, suaminya jarang pulang dan hanya memberi nafkah sebesar Rp300.000,00 sebulan.

Setahun kemudian, suaminya menggugat cerai. Sungguh menggelikan. Pernikahan ini seolah menjadi cara pelaku untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya.

Sakit hati korban dan keluarganya bertambah manakala mendengar pelaku mendapat beasiswa dari kantornya.

Sementara korban dikeluarkan dengan alasan telah mengajukan surat pengunduran diri. Namun, korban dan keluarganya tak sekalipun merasa mengajukan surat pengunduran diri.

Posisi korban amat lemah, bahkan ia dilemahkan. Dikeluarkan dari pekerjaan dan tidak mendapat ganti rugi dari pelaku. Bahkan ia juga tak mendapat perawatan atas traumanya.

Menurut KUPI, kekerasan seksual baik yang terjadi di dalam ikatan perkawinan maupun di luar ikatan perkawinan hukumnya haram.

Sehingga semua pihak wajib melakukan upaya pencegahan dan jika terlanjur terjadi harus dilakukan penanganan.

Salah satu dasar hukum dalam fatwa KUPI tentang keharaman kekerasan seksual adalah ayat Al-Qur’an yaitu Q.S. Al-Isra ayat 70 menyatakan bahwa status manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama makhluk yang mulia.

Q.S An-Nisa ayat 19 menyatakan larangan melecehkan martabat perempuan dan perintah memperlakukan mereka secara bermartabat. Q.S. Al-Buruuj ayat 10 menyatakan larangan mendatangkan bencana pada orang yang beriman.

Ada banyak teks hadis yang menyatakan larangan tindak kekerasan seksual. Salah satunya dapat lihat dalam pesan hadis nomor 67 riwayat Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari.

‘Dari Abdurrahman bin Abi Barakah, dari ayahnya, dari Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya darah-darah kalian, kehormatan-kehormatan kalian adalah haram (untuk ditumpahkan, dikuasai secara zalin, dan dirobek-robek).”

Masih banyak Al-Qur’an dan hadis yang melarang tindak kekerasan seksual. Sebegitu buruknya dampak dari kekerasan seksual, hingga Al-Qur’an dan dan hadis mengulang-ulang pesan untuk menghindarinya.

Sebagai orang yang beriman dan berakal sehat harusnya kita paham dampak buruk dari kekerasan seksual bagi korban pada khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya.

Kita juga harusnya paham, siapapun yang melakukan tindak kekerasan seksual dan berupaya melindungi pelakunya justru menunjukkan bahwa ia telah gagal menjadi manusia.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM, sekali lagi menegaskan kepada kita semua.

Betapa masih lemahnya pendampingan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual.

Perjuangan panjang para korban kekerasan seksual harusnya mendapat dukungan dari lembaga hukum hingga mereka mendapatkan keadilan serta agar pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. []

Rezha Rizqy Novitasary

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *