Mengurai Konsep Ummah pada Piagam Madinah
HIDAYATUNA.COM – Di banyak literatur keislaman, Piagam Madinah dinilai sebagai semacam undang-undang yang paling modern di masanya. Piagam ini tidak hanya memuat kepentingan untuk menjaga umat Islam dan hukum formal benar-salah semata.
Lebih dari itu, Piagam Madinah saya rasa juga menjadi pijakan mendasar dari terbentuknya peradaban besar di masa-masa sesudahnya. Kendati di masa silam ada banyak kritik yang dialamatkan pada Ibn Ishaq (w. 151) dan Ibn Hisyam (w. 213) sebagai penulis paling awal mengenai Piagam Madinah ini.
Namun belakangan juga tidak sedikit ditemukan, bahkan dari intelektual non-muslim sendiri yang melegitimasi secara akademis dan komprehensif. Tentang majunya muatan di dalam Piagam Madinah.
Salah satu dari sekian muatan di dalam Piagam Madinah yang memiliki relevansi dalam konteks ke-Indonesiaan, saya rasa adalah konsepsinya tentang ummah. Sebab di negara kita, ummah ini lantas diserap menjadi umat dengan makna dan fungsi yang terus mengalami perkembangan.
Dulu umat hanya digunakan sebagai penyebutan umat Islam. Lantas meluas menjadi umat Kristen, umat Katolik, umat Hindu, dan umat-umat dari agama dan kepercayaan lokal lainnya.
Konsepsi Ummah di Piagam Madinah
Secara tidak langsung, serapan ini berdampak kepada relasi antara penganuat agama yang satu dengan agama lainnya. Bahwa mereka hidup dalam payung negara Indonesia, memang benar adanya. Akan tetapi relasi yang dilakukan tidak lantas terjadi secara alami, namun lebih cenderung karena adanya unsur kepentingan yang sifatnya lebih politis.
Bisa jadi, ketika ada konflik antar umat beragama, para pemuka agama akan sama-sama duduk bersama dan memberi pandangan terkait konflik yang terjadi. Kendati hasilnya tidak pernah sampai ke penganut agama yang ada di akar rumput.
Bisa jadi juga, saat ada program pemerintah ihwal kerukunan umat beragama, pemuka agama kembali menggalang kerja-kerja. Kerja yang dinilai masuk klasifikasi sebagai umat yang toleran.
Padahal jika mencermati, konsepsi ummah di Piagam Madinah tersebut, relasi yang terjadi antara umat Islam di masanya dengan penganut agama lain lebih jauh dari itu. Telaah yang dilakukan oleh Luqman Rico Khashogi dengan tajuk Konsep Ummah dalam Piagam Madinah (2012), memberi ciri. Seperti apa ummah itu sampai dibicarakan, ditulis, dikaji, dan terbukukan dari masa ke masa.
1. Ummah tidak ditentukan dari letak geografis
Pertama, ummah sifatnya tidak ditentukan oleh berbagai pertimbangan letak geografis. Ummah mencakup siapa saja selama bersepakat menaati ketentuan yang tertera di dalam Piagam Madinah. Maka dari itu, banyak intelektual baik muslim maupun Barat, tidak bisa memposisikan ummah seperti sekumpulan rakyat, penduduk, atau malah komunitas.
2. Ummah tidak terbatas pada ras tertentu
Kedua, karena ummah tidak ditentukan oleh letak geografis, maka ummah juga tidak terbatas pada ras tertentu saja. Konsepsi ummah tidak membedakan antara ras yang unggul dan ras pinggiran.
Ummah juga tidak memosisikan umat Islam memiliki strata lebih tinggi ketimbang penganut agama lainnya. Sehingga semua muslim di masa itu, baik yang berangkat dari kalangan budak, pedagang, penyair, ilmuwan, maupun tokoh ternama dilibatkan dalam program pemajuan.
Pun penganut agama lain juga diakui dan memiliki kedudukan yang sejajar dalam laku maupun porsi bersuara-pendapat mengenai problem-problem tertentu.
3. Ummah juga bukan negara
Menurut Munawir Sjadali di bukunya Islam dan Tata Negara (1990) malah dinilai sebagai perwujudan negara dunia. Dalam arti ummah meliputi beberapa atau banyak negara.
Dari ketiga ciri ini, maka tidak mengherankan bila Piagam Madinah menjadi representasi dari bentuk pemerintahan yang ideal. Sampai-sampai ada banyak umat Islam, termasuk yang mukim di Indonesia menghendaki pemerintahan seperti di masa itu dengan pemberlakuan Piagam Madinah.
Hanya saja mereka tidak menyadari bahwa kehendak itu justru malah mensimplifikasi segala yang termuat di Piagam Madinah hanya menjadi terbentuknya negara Islam (khilafah). Demi mewujudkan itu mereka melakukan sekian gerakan mulai dari yang berbentuk wacana, politik, sampai intimidasi berupa teror.
Mereka luput menyadari bahwa semangat yang termuat di dalamnya, apalagi dalam konteks ummah bukan bentuk formalnya. Melainkan pemberian ruang yang adil, tanpa membedakan latar belakangnya, dan bergerak bersama demi pemajuan peradaban.
Wallahu’alam.