Mengkategorikan Semesta

Iman adalah Sebuah Pengalaman (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Semesta dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘alam. Yang dimaksud ‘alam adalah segala sesuatu selain Allah. Dengan demikian, kata lain bagi alam adalah makhluk sebab Allah adalah satu-satunya Khaliq dan selain-Nya adalah makhluk.
Al-Qur’an berulangkali menegaskan bahwa semesta adalah tanda-tanda petunjuk (ayat) untuk manusia agar mengenal Allah.
Dengan kata lain, dengan memahami alam semesta maka manusia akan memahami Allah.
Dengan memahami bahwa alam semesta berawal, maka akan tahu bahwa alam diciptakan oleh yang tak berawal; dengan tahu bahwa alam tidak kekal, maka akan diketahui bahwa penciptanya kekal, dan seterusnya.
Rumus yang diajarkan oleh Al-Qur’an sederhana, yakni laisa kamitslihi syaiun (tak ada satu pun yang sama dengan Allah).
Dari sini kemudian para mutakallim merasa perlu memetakan hakikat alam semesta dalam berbagai kategori terperinci supaya tahu bahwa Allah tidak seperti alam itu.
Masalahnya mau memakai kategori seperti apa dan teori apa? Terserah mau pakai apa saja selama rumus di atas dipakai.
Mau pakai kategori ala Aristoteles yang membagi isi semesta menjadi 10 kategori, yakni:
1) Substansi,
2) Kuantitas,
3) Kualitas,
4) Relasi,
5) Lokasi (yang berkaitan dengan tempat),
6) Waktu,
7) Posisi, kepemilikian (possession),
9) Aktif,
10) Pasif,
Silakan saja terserah. Asalkan kesimpulan akhirnya bahwa Allah bukan salah satu dari yang sepuluh itu, maka itu benar.
Mau pakai kategori pembagian materi semesta menjadi tiga, yakni zat padat, cair dan gas, juga boleh. Sah-sah saja membagi semesta menjadi tiga seperti itu asalkan kesimpulannya bahwa Allah bukan zat padat, cair atau gas.
Mau pakai kategori ala tabel periodik unsur juga tidak masalah. Dalam kategori ini, alam semesta dibagi menjadi 118 unsur (hingga kini) seperti Li, Be, Na, Mg, H, dan seterusnya.
Selama kesimpulannya bahwa Allah bukan salah satunya, maka itu benar.
Mau pakai kategorisasi ala Mutakallim Sunni bahwa semesta dibagi menjadi jauhar, jisim dan aradl juga boleh. Lagi-lagi selama kesimpulannya bahwa Allah bukan salah satunya.
Bagaimana kalau pakai kategorisasi sesuai nama-nama yang disebut Al-Qur’an? Tentu saja boleh.
Misal kita bagi alam semesta menjadi jamadat (benda), hewan, insan, jin, malaikat, iblis.
Silakan saja memakai kategorisasi ini selama kesimpulannya adalah Allah bukan salah satu dari semua itu.
Perdebatan ilmiah kemudian terjadi dalam kategorisasi ini, dan ini wajar.
Misal apakah suatu atom masuk pada jauhar atau pada jisim? Apakah nukleus layak disebut jauhar? Apakah udara jisim?
Kategorisasi mana yang paling tepat dan tidak overlapping? dan seterusnya. Tapi perlu diingat, ini bukan perdebatan akidah, sama sekali bukan.
Ini hanya perdebatan soal kategorisasi alam semesta yang bisa saja masing-masing orang punya pikirannya sendiri. Jadi tidak ada yang sesat gara-gara berbeda soal ini.
Sampai sini anda juga tahu bahwa perdebatan apakah ruh termasuk jisim atau bukan juga perdebatan soal kategori isi semesta yang dijawab bagaimana pun tetap bukan bagian ilmu akidah yang berkonsekuensi sesat atau tidak sesat.
Dengan demikian, kritik sebagian orang yang tidak paham ilmu kalam yang tidak setuju bila memakai kategorisasi Aristoteles sebab itu adalah pemikiran Yunani atau menggugat kategorisasi ala Muktazilah sebab mereka sesat sebenarnya adalah kritik unfaedah sebab kategorisasi itu bukan bahasan akidah.
Itu hanyalah pembahasan soal alam semesta yang bebas mau memakai yang mana pun.
Membuat kategorisasi sendiri juga boleh asalkan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Yang menjadi bagian akidahnya adalah kesimpulan akhir bahwa laisa kamitslihi syaiun yang berarti Allah bukan termasuk salah satu dalam kategori itu.
Apabila menyangkal laisa kamitslihi syaiun ini, misalnya dengan berkata bahwa hakikat Allah adalah zat padat, adalah jisim, adalah energi, adalah salah satu unsur dalam tabel periodik dan sebagainya, maka itulah akidah yang sesat.
Demikianlah logika dalam ilmu akidah/ilmu kalam. Allah pasti berbeda dengan seluruh makhluk dan tidak ada yang sama satu pun dengan-Nya.
Ilmu kategorisasi ini kemudian dikenal dengan ilmu maqulat. Anda boleh tidak mempelajari ilmu ini tetapi jangan sampai salah dalam kesimpulannya.
Logika berpikir ilmu maqulat secara sederhana adalah seperti yang saya terangkan ini. Semoga bermanfaat. []