Mengkaji Visi Jihad, Bukan Hanya Mati Syahid

 Mengkaji Visi Jihad, Bukan Hanya Mati Syahid

Mufti Agung Mesir: Muslim Dunia Harus Meluruskan Makna Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kehidupan memaksa kita untuk mempersiapkan masa depan dan merancangnya sebaik mungkin.

Sebagaimana mempersiapkan bekal di akhirat, ialah tidak melulu tentang ‘mati syahid dan mampu menghadapi berbagai ujian.’

Akan tetapi, bagaimana agar anak cucu kita dapat mewarisi perjuangan lampau di masa depan.

Betul memang, kita dituntut untuk berkorban jiwa dan raga demi anak cucu kelak dapat menikmati kekuasaan Al-Qur’an.

Namun bukan berarti dengan meledakkan diri dan mati konyol di depan awak media yang haus akan peristiwa.

Masyarakat Indonesia cenderung tertinggal dengan negara-negara lainnya dalam segi pemikiran.

Lihat saja Negara Barat yang sudah lebih dulu “berjihad” (bukan makna sebenarnya), bahkan sampai berhasil menggaet umat Islam sebagai pengikut dalam model pendidikan.

Negara Barat berhasil menggulirkan proyek revisi kurikulum pendidikan sehingga anak-anak kita sempit sekali wawasannya selain keunggulan sejarah Barat.

Mereka, bahkan kita, turut mengejar ketertinggalan tanpa harus menghasilkan gagasan.

Hazim Al-Madani dan Abu Mush’ab As-Suri mengungkapkan dalam buku Visi Politik Gerakan Jihad (hal. 12), Negara Barat memang menargetkan akal pikiran umat Islam untuk meniru apa yang mereka contohkan.

Begitu juga dengan makna jihad yang belakangan ini bergeser dan merebak luas serta menjangkiti kelompok ekstremis.

Jika kini umat Islam tak lagi tertarik dengan hanya menjadi pengikut Negara Barat, agaknya mereka mengubah strategi dengan menjadikan umat yang rentan untuk turut menjadi pelaku atau boneka.

Bukan pemain karena, lagi-lagi pemain sebenarnya ada di balik para pelaku yang terjun ke lapangan.

Namun dugaan lain mencuat, barangkali kelompok ini geram dengan ulah Negara Barat yang lebih dulu unggul dalam berbagai bidang, sementara mereka tak dapat menandinginya.

Dengan dalih memerangi kafir, kaum ekstremis rela meledakkan diri demi ‘mati syahid’ untuk mengkavling surga dan mem-booking para bidadari yang mereka yakini dapat menghapus kegalauan selama hidupnya.

Salah kaprah dalam memahami ayat-ayat tentang jihad yang kerap disampaikan oleh orang yang memang tak paham Islam, ataukah justru orang yang tak suka dengan Islam? Wallahu’alam bi showab.

Padahal jika kita melihat ke belakang, umat Islam pra Masehi begitu luar biasa kemajuannya.

Berkiblat dari Negara Islam seperti Saudi, Mesir, dan Maroko mampu mengubah keadaan dengan melibatkan semua umat Islam melalui berbagai cara, baik dengan jihad di bidang politik—kepemimpinan yang solid dan komplit—maupun dakwah.

Jihad ini kemudian dinikmati oleh generasi sesudah mereka, para penerus yang betul-betul mengejar apa-apa yang dicintai Tuhannya, hingga diabadikan dalam lembar sejarah umat.

Jihad di bidang politik ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi akhir zaman, Muhammad saw. dalam menegakkan peradaban manusia dengan mengelola masalah sosial, dakwah dan jihad di medan tempur. Bukan politik kotor yang diagung-agungkan para pengejar duniawi.

Tak perlu jauh-jauh melongok ke zaman sebelum Masehi, di negara tercinta kita saja, Indonesia, para pendahulu berjihad dengan meninggalkan warisan budaya dan sosial yang kita nikmati hingga kini.

Para syuhada itu tak melupakan visi gerakan jihad yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.

Tidak mudah memang jihad di bidang politik, tetapi tidak mustahil untuk berhasil sebagaimana ‘jihad’-nya kaum ekstremis yang berhasil menyebarkan ketakutan massal (terror), bahkan kepada umat agama lain.

Menyebut kata jihad agaknya terlalu berat, meski dalam aplikasinya sangat dekat dengan keseharian.

Apalagi untuk melebeli seseorang yang justru mencemarkan istilah jihad itu sendiri menjadi makna ‘jahat.’

Hal yang sangat bertolak belakang dengan visi jihad yang digerakkan umat Islam dan tokoh yang berkiprah di bidang politik dan dakwah dengan ramah.

Mental militer umat Islam sejak zaman kenabian sudah tak perlu diragukan, bahkan rela berkorban nyawa untuk generasi sesudah mereka, tanpa ada ketakutan dan trauma yang ditinggalkan.

Justru narasi kebanggaan atas keberhasilan umat Islam yang kini melekat dalam lembar-lembar sejarah.

Oleh sebab pengorbanan umat Islam dahulu berakhir dengan kedamaian yang dirasakan anak cucunya. []

Pipit Enfiitri

https://hidayatuna.com/

Suka menulis hal-hal random yang dekat dengan dirinya.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *