Mengkaji Ulang Doktrin “Ta’dzim al-Syuyukh”, Sikapi Pencabulan di Pesantren

 Mengkaji Ulang Doktrin “Ta’dzim al-Syuyukh”, Sikapi Pencabulan di Pesantren

Pengadilan Tinggi Prancis Resmi Larang Pemakaian Abaya Muslim di Sekolah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Kasus pencabulan atau pemerkosaan yang muncul belakangan di lingkungan pendidikan terutama pesantren, tidak terlepas dari doktrin ta’dzim al-syuyukh (menghormati guru) yang beredar di kalangan santri. Seorang pelaku berkedok sebagai pengasuh pondok tahfiz telah memangsa korban mencapai 12 anak dari umur 13-17 th, bahkan sembilan diantaranya sampai melahirkan.

Gagasan ini dalam beberapa kasus dimanfaatkan oleh para oknum “kiai” atau “ustad”—saya beri tanda kutip karena tidak semua kiai itu demikian. Untuk melakukan pencabulan terhadap santrinya dengan dalih harus menurut apa perintah guru.

Kitab yang sering menjadi rujukan dalam menghormati guru (ta’dzhim al-syuyukh) di pesantren adalah Ta’lim Muta’alim karya Burhan al-Islam al-Zarnuji. Menurut Martin Van Bruienessen hampir mayoritas pondok pesantren yang ada di Indonesia menggunakan kitab ini, bahkan melebihi kitab washaya, Akhlaq li al-Banin, Akhlaq li al-Banat dan Irsyad al-Ibad. (Martin Van Bruienessen, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h. 163-165).

Dalam kitab al-Zarnuji, bagian yang seringkali menjadi argumen bahwa santri harus menurut dengan guru adalah cerita tentang gurunya al-Zarnuji yang bernama Syaikh Islam Burhanuddin. Ia pengarang Kitab al-Hidayah yang pada saat itu sedang mengajar para muridnya. Kemudian melihat anaknya gurunya sedang berjalan, dan seketika itu Syaikh Burhanuddin berdiri untuk menghormati anak gurunya tersebut.

Cuplikan proses ta’dzim tersebut meniscayakan bahwa seorang murid itu harus benar-benar menghormati guru, bahkan pada level anaknya juga harus dihormati. Pemahaman kaku seperti inilah yang membuat kontruksi paradigma dalam pesantren cenderung mengkultuskan kiai tidak peduli apa yang dilakukan kiai tersebut.

Memaknai Kembali Hormat kepada Guru

Perlu adanya pemaknaan ulang terkait penghormatan kepada guru tersebut, salah satunya adalah dengan melihat konteks kitab tersebut ditulis. Kira-kira latar belakang apa yang membuat al-Zarnuji mengarang kitab itu. Kemudian melihat posisi dari kitab tersebut, benarkan sebagai kitab akhlak? Baru kemudian analisis kritik terhadap isinya.

Sayangnya untuk memahami secara utuh apa yang gagaskan oleh al-Zarnuji tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan kitab syarah dari  Ta’lim Muta’allim ini, seperti milik Ibrahim bin Ismail. Ia hanya mensyarahi secara lughawi (bahasa) saja tidak menyinggung terkait siapa itu al-Zarnuji, kiprahnya dan perannya dalam khazanah dunia Islam. Informasi seperti itulah yang justru penting untuk memahami secara apa yang ingin disampaikan oleh al-Zarnuji.

Sosok al-Zarnuji tidak begitu dikenal dalam dunia Islam, tidak seperti al-Ghazali, Ibnu Sina atau ulama populer lainnya. Pendapat yang kuat yang pasti menyatakan bahwa ia hidup sekitar tahun 620 H/1223 M.

Hal ini merujuk pada kitab A’lam al-Akhyar min fuqaha madzhab nu’man al-mukhtar (nama-nama ahli fiqh dari madzhab Hanafi) karya Mahmud bin Sulaiman al-Kaffawi. Ia menempatkan al-Zarnuji sebagai ulama Hanafiyah generasi ke-12.

Uniknya al-Zarnuji, meskipun dia seorang ulama Hanafiyah yang cenderung lebih mengandalkan rasionalitas. Namun banyak ditemukan dimensi tasawuf dalam kitab Ta’lim Muta’allim-nya di mana dunia sufi biasanya cenderung irasional. Salah satu contohnya adalah konsep Barakah dan Tabaruk.

Seperti dalam kasus seorang Khalifah Harun al-Rasyid yang mengirimkan anaknya untuk belajar seorang syaikh di Arab, ke Syaikh Asma’i. Bahkan ketika Syaikh Asm’ai berwudhu anaknya disuruh oleh sang Khalifah untuk membasuh kaki gurunya agar mendapat keberkahan darinya.

Pentingnya Ilmu Tasawuf dan Filsafat dalam Pesantren

Keganjalan al-Zarnuji ini berhasil dijawab oleh penelitian Edward Van Dyek, ia menemukan bahwa al-Zarnuji bukan hanya seorang filosof, namun juga seorang sufi. Bahkan ia menyejajarkan dengan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina. Ia juga menyebutkan bahwa kitab Ta’lim Muta’alim ini bukan kitab akhlak, melainka kitab yang berisikan petuah-petuah tasawuf.

Atas dasar inilah kiranya perlu diperhatikan oleh para guru-guru di pesantren dalam memosisikan kitab Ta’lim Muta’allim ini. Sebab akan berbeda ketika memahami kitab tersebut sebagai kitab akhlak dan kitab tasawuf.

Jika memahaminya sebagai kitab akhlak maka seorang pengkaji akan menerapkan secara mutlak apa yang disampaikan dalam kitab tersebut, aturan-aturannya cenderung baku dan kaku.

Namun, ketika memosisikan sebagai kitab tasawuf maka maknanya tidak terpaku dengan apa yang ada dalam kitab dan cenderung bisa mengeksplorasi makna lebih jauh. Maka, makna ideal-moral lebih bisa didapat daripada rumusan-rumusan legal formal di dalamnya.

Dengan demikian, dalam aturan-aturan ta’dzim al-syuyukh yang diajukan oleh al-Zarnuji tidaklah baku dan mutlak. Bahkan ia sendiri memberikan warning dalam hal ‘menurut perintah guru’, yaitu jika melihat keterangan lebih lanjut dalam kitab Ta’lim Muta’allim tersebut.

Tampak jelas bahwa “Ia harus menjalankan perintah gurunya sepanjang tidak dalam koridor ma’shiyyah kepada Allah. Sebab pula, tidak diperkenankan taat kepada seseorang yang menyimpang dari-Nya”. (al-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, h. 17)

Lepas dari Belenggu

Melihat maraknya kasus pencabulan kiai terhadap santrinya belakangan ini di mana seorang kiai menyuruh dalam hal kemungkaran harusnya tidak serta merta dituruti begitu saja. terlepas minimnya pengetahuan bagi santri itu sendiri, wajar juga melihat korban dalam kasus kemarin itu diambil dari daerah-daerah terpencil yang minim akses pendidikan, sehingga hal yang jelas-jelas negatif pun tidak berani menolak.

Maka di sini perlunya pihak orang tua, guru atau siapapun yang lebih tahu untuk memberikan pengetahuan tentang pendidikan seksual sejak dini. Terutama pada perempuan-perempuan yang cenderung rentan.

Perlu juga diberikan motivasi untuk bisa lebih berani dalam mengungkapkan kebenaran dan kejahatan. Terkadang tabiat perempuan cenderung pasif tidak berani melawan ini yang justru merugikan diri mereka.

Ketika orang tua ingin ‘memondokkan’ anaknya pun harus melihat latarbelakang pesantren dan kiainya. Tidak boleh sebatas janji iming-iming sekolah gratis atau apapun tapi juga perlu melihat track record dari pesantren-pesantren itu.

Seorang Imam al-Bukhari saja ketika mencari seorang guru harus benar-benar wara’i, meninggalkan hal yang fasik. Suatu ketika ia menemukan rumah calon gurunya dan Imam al-Bukhari melihat guru tersebut terlihat sedang kesusahan memegang ayam.

Akhirnya dia memanipulasinya dengan memberikan makanan sehingga terpeganglah ayam tersebut. Sampai begitu Imam al-Bukhari mencari seorang guru. Apalagi di zaman modern saat ini mencari jejak seorang itu mudah sekali tinggal melacaknya lewat dunia digital.

Kasus-kasus ini jika ditelisik lebih jauh sangatlah banyak terjadi kalangan masyarakat, hanya saja belum ketahuan dan belum terekspos saja. Perlu usaha bersama-sama dalam mengentaskan masalah ini, bukan hanya perempuan yang menjadi korban.

Terutama bagi para lelaki yang tidak bisa menjaga hasyratnya untuk saling menjaga satu sama lain. Bagi perempuan, jangan takut dan tetap bertahan!.

Muhammad Firdaus

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *