Mengira Amal Diterima Allah dan Kisah Imam Atha Assalami
HIDAYATUNA.COM – Agama islam merupakan agama yang sempurna & diridhoi Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Maidah ayat 3.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah : 3)
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. maha baik, dan tidak menerima sesuatu kecuali yang baik-baik.”
Hal ini menunjukkan bahwa agama islam sangat menganjurkan kepada para penganutnya agar senantiasa istikamah beramal dengan sebaik-baiknya. Janji Allah SWT. dalam firmannya yaitu “tidak ada balasan bagi kebaikan melainkan kebaikan (pula).”
Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan bahwa balasan kebaikan yaitu mendapat pahala yang tak ada putus-putusnya. Sudah semestinya tanda-tanda yang telah Allah tetapkan, menjadi pelajaran agar kita lebih rajin mengisi hari dengan amalan-amalan salih.
Namun kiranya ketika dalam beramal pun hendaknya kita bersihkan amalan tersebut dari keinginan dipuji, bangga, malas. Apalagi timbul penyakit hati lainnya sehingga hal tersebut tidak membuat kita merasa cukup atas kebaikan yang telah kita kerjakan.
Tak bisa dipungkiri bahwa tidak selamanya kebaikan yang kita kerjakan sudah sempurna & tak ada kekeliruan. Maka hendaknya orientasi kita tidaklah berpusat pada balasan akan kebaikan yang telah kita kerjakan. Akan tetapi lebih dari itu ialah memperhatikan bagaimana amal tersebut diterima oleh Allah SWT.
Kisah Imam Atha Assalami
Imam Atha Assalami merupakan seorang ulama yang berprofesi sebagai penjual pakaian dari anyaman. Beliau sudah menggeluti pekerjaan itu dalam waktu yang cukup lama, sehingga beliau sudah mahir dalam hal tersebut.
Suatu ketika beliau membuat sebuah pakaian yang menurutnya sudah paling bagus & baik dalam pengerjaannya. Beliau merasa optimis akan mendapat nilai yang sangat tinggi dari pembeli.
Kemudian beliau berangkat ke sebuah pasar, menawarkan hasil kerjanya. Ketika sampai ke sebuah toko beliau menawarkan kepada pembeli dengan menetapkan harga 20 dirham.
Lalu sang calon pembeli tersebut melihat pakaian tersebut, dan karena merasa barang itu biasa saja. Terdapat cacat didalamnya, akhirnya dia pun menawar menjadi 5 dirham kepada Imam Atha.
Mendengar hal tersebut, Imam Atha sontak menangis seketika. Sang calon pembeli tersebut pun kaget bukan kepalang. Akhirnya calon pembeli itu berkata “sudah, sudah. Baiklah kalau begitu, saya akan beli dengan harga Anda, asal Anda tidak menangis.”
Lalu Imam Atha membalas, “Aku menangis bukan karena kau tidak sepakat dengan hargaku. Tetapi aku menangis karena aku mengira barang yang sudah aku buat ini sudah sangat bagus. Aku membuatnya dengan sebegitu teliti dan disertai pengorbanan yang luar biasa.
Namun ternyata engkau yang sudah punya pengalaman menjual pakaian, melihat sekilas saja. Sudah bisa menyatakan bahwa pakaian ini ada cacatnya yang bahkan saya tak sadari akan hal tersebut.
Mengira Ibadah Diterima
Imam Atha yang sudah 60 tahun itu pun mengingat ibadahnya. Mengira kalau ibadah yang sudah dilakukan 60 tahun sudah diterima. Salat, puasa, dan ibadah lainnya sudah sempurna dihadapan Allah SWT.
Bagaimana nanti ketika menghadap Allah SWT. ternyata ibadah saya selama 60 tahun tersebut semuanya cacat? 60 tahun tidak ada baik-baiknya sama sekali. Inilah yang sebenarnya Imam Atha tangisi.
Kalau pedagang pakaian saja, dengan sekali melihat bisa mengetahui kekurangan barang yang ada dihadapannya. Bagaimana dengan Allah SWT. yang sangat teliti dan maha melihat seluruh perbuatan hambanya?”
Semoga Allah SWT ampuni dosa-dosa kita serta memperbaiki semua amalan yang telah kita kerjakan. Pada saatnya kita berjumpa Allah SWT., kita berjumpa dalam keadaan Allah ridha kepada kita dan kita pun ridha kepada-Nya.