Mengenang Sayyid Abdullah Al-Haddad, Pengarang Ratib al-Haddad yang Istimewa

Membincang Sanad Dzikir Thariqah (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Al-Imam al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad atau yang biasa dikenal dengan Sayyid Abdullah Al-Haddad.
Ia dilahirkan di pinggiran kota Tarim, sebuah daerah terkenal di Hadramaut (Provinsi di Republik Demokrasi Rakyat Yaman Selatan), pada 5 Shafar 1044 H atau 30 Juli 1634 Masehi.
Nasab beliau sampai kepada Sayyidina Husain bin Ali dari keluarga besar kaum Alawiyyin atau yang biasa disebut Bani Alawi, yakni keturunan Alawi (Alwi) bin Ubaidillah bin Ahmad (al-Muhajir) bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal-Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah Saw.
Menurut Habib Ali Al-Habsyi (pengarang Maulid Simtudduror), seperti dituturkan ulang oleh Habib Jindan bin Novel dalam salah satu majelisnya, disebutkan bahwa Sayyid Abdullah Al-Haddad adalah seorang mujaddid pada masanya.
Sosok yang agung, penuh kemuliaan, penuh keilmuan, dan peneladan sempurna sunah Rasulullah Saw.
Beliau merupakan ulama sekaligus waliyullah yang keistimewaannya masyhur di seluruh dunia.
Salah satu bentuk keistimewaannya, beliau tidak bisa melihat secara fisik sejak usia 3 tahun karena penyakit cacar, tapi bisa mengarang banyak karya penting dalam khazanah Islam.
Berbagai karyanya masih terus dibaca dan dipelajari hingga sekarang. Beberapa yang terkenal antara lain, al–Nashaih al–Diniyyah, al–Da’wah al–Tammah, dan Ratib al–Haddad.
Khusus untuk Ratib al–Haddad, hingga kini masih dibaca dan diajarkan setiap malam di banyak rumah, masjid, surau, dan pondok pesantren di seluruh Indonesia.
Keistimewaan beliau yang lain, seperti dikisahkan Habib Umar bin Hafidz (salah seorang ulama besar dari Tarim), pada masa ketika Sayyid Abdullah al-Haddad masih hidup, ada sebagian orang yang meragukan bahwa beliau adalah pengarang berbagai kitab seperti yang telah disebut di atas. Keraguan tersebut muncul melihat kondisi fisik beliau yang memang tidak dapat melihat dengan baik.
Berdasar cerita Habib Umar, suatu waktu, pergilah salah satu dari mereka yang meragukan ini ke kediaman Sayyid Abdullah al-Haddad.
Sesampainya di sana, si tamu disuguhi kopi oleh sang pemilik rumah. Ketika si tamu hendak meminum kopinya, Sayyid Abdullah al-Haddad tiba-tiba berkata: “Wahai fullan, keluarkanlah lalat dari kopimu.”
Sontak si tamu yang tadi meragukan Sayyid Abdullah al-Haddad kaget bukan kepalang. Pasalnya setelah dilihat memang ada lalat di dalam kopinya.
Setelah itu, orang yang meragukan ini sadar dan yakin sepenuhnya dengan kemampuan Sayyid Abdullah al-Haddad.
Keistimewaan lainnya, seluruh kitab yang beliau karang hanya sekali dibacakan kepada muridnya untuk ditulis. Meski sekali, tapi nyatanya langsung menjadi kitab utuh.
Menurut Habib Umar, seluruh kitab yang didiktekan Sayyid Abdullah al-Haddad kepada muridnya, ditulis secara sistematis, dilihat dari pasalnya, tata bahasanya, dan sastranya.
Hal inilah yang membuat banyak orang ragu, mana mungkin berbagai kitab yang begitu indah tersebut disusun oleh orang yang tidak bisa melihat.
Tapi Allah Swt menganugerahkan keistimewaan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad. Dalam kondisinya yang tidak dapat melihat, beliau memiliki ketajaman mata batin dan kecerdasan yang begitu luar biasa.
Itulah sebabnya mengapa beliau bisa mengarang banyak kitab dan rutin berdakwah kepada semua orang.
Kini salah satu kitab Sayyid Abdullah al-Haddad yang biasanya tersebar dalam bahasa Arab, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan.
Kitab tersebut berjudul Risalat al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Mudzrah li al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk Thariq al-Akhirah, yang diterjemahkan menjadi Tasawuf Kebahagiaan (2017).
Tasawuf Kebahagiaan (2017), berisi latihan-latihan ruhani untuk memperbaiki hati yang bermasalah dan menyingkap makna batiniah dari ibadah-ibadah ritual.
Dengan cara itu, ibadah ritual akan bertransformasi dalam bentuk akhlak mulia yang berdampak pada kesalehan sosial.
Hati yang bermasalah adalah salah satu penyebab mengapa ketika kita salat, kita tidak bisa khusyuk, doa terasa hambar, sedekah terasa berat, ghibah terasa nikmat, dan maksiat terasa lezat.
Dari sinilah lalu Sayyid Abdullah al-Haddad melalui Tasawuf Kebahagiaan (2017) memberi kita latihan untuk mengatasi masalah hati tersebut..
Penerjemahan salah satu kitab Sayyid Abdullah al-Haddad ini, memudahkan umat Islam yang tidak memiliki latar belakang pesantren atau literasi berbahasa Arab, untuk juga dapat belajar dan menimba ilmu dari ulama besar sekaliber beliau.
Pasalnya, selama ini seluruh karyanya hanya tersedia dalam bahasa Arab, yang tentunya hanya bisa diakses secara terbatas oleh mereka yang memang bisa berbahasa Arab.
Syaikh Hasanain Makhluf (Mufti besar Mesir 1952-1954), dalam satu kesempatan pernah berujar mengenai berbagai karya Sayyid Abdullah al-Haddad, menurut Syaikh Hasanain,
“Dalam tulisan-tulisan beliau (Sayyid Abdullah al-Haddad), terdapat ilmu yang melimpah, kecerahan, dan cahaya yang merupakan suluh bagi ‘yang sedang berjalan dalam pencarian’ dan petunjuk bagi yang dalam kebimbangan.”
Untuk itu penerjemahan karya Sayyid Abdullah al-Haddad adalah sesuatu yang perlu diapresiasi secara positif.
Harapannya semoga berbagai karya beliau yang lain pun juga bisa diterjemahkan pula secara luas untuk semakin memperkaya khazanah Islam sekaligus memperkuat keimanan kaum muslimin di Indonesia.
Sayyid Abdullah al-Haddad wafat di usia 88 tahun, pada hari Selasa 7 Dzulqa’dah 1132 H dan dimakamkan di Zambal tempat pemakaman keluarga dan leluhurnya di Tarim.
Beliau meninggalkan warisan ilmu dan keteladanan penting untuk umat Islam setelahnya. Hingga kini makam Sayyid Abdullah al-Haddad masih terus diziarahi banyak umat muslim dari seluruh dunia.
Seluruh karya yang pernah beliau hasilkan akan terus abadi sampai kapanpun. []