Mengenang Sastrawan Muslim, Fudoli Zaini
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ada banyak sastrawan muslim yang masyhur di negeri ini. Mereka menulis dan mengangkat sekian cerita bernapas keislaman, salah satunya adalah Fudoli Zaini.
Cerita melulu ditautkan pada nilai-nilai yang dinukil dari ayat-ayat di kitab suci, riwayat hidup para nabi dan tentu saja kalam ulama.
Hanya saja memang mesti kita akui, nama-nama sastrawan muslim ini kerap tidak peroleh perhatian yang cukup serius dari kalangan pemerhati maupun peneliti sastra.
Barangkali sastrawan yang memiliki nama lengkap Mohammad Fudoli Zaini dewasa ini mulai luput tidak diperhatikan.
Nama tersebut jarang dikutip lantas dimasukkan ke dalam jajaran bersanding dengan nama-nama sastrawan mashur lainnya.
Saya pernah bertanya pada salah seorang teman yang mendaku sebagai penggelut dunia sastra tanah air.
Teman saya luput tidak mengenal sastrawan yang satu ini. Ia malah akrab dengan nama pendatang baru yang saya rasa, dari segi kualitas sastra dan pesan yang disampaikan agak kurang membekas dalam benak pembaca.
Padahal di masa 1960-an, Fudoli Zaini sudah mulai merambah dunia sastra tanah air dengan berbagai cerita pendek yang telah termuat di berbagai majalah seperti “Malam-Malam Kelabu” di Majalah Widjaja yang diproduksi di Kediri (1961), “Kuda Kepang” termuat di Minggu Pagi (1964), “Si Kakek dan Burung Dara” dipublikasikan di Pustaka dan Budaja (1964). Cerpen yang terakhir ini juga dimuat ulang di Majalah Horison pada 1967.
Setelah di masa-masa itu, ia terlibat aktif dan produktif dalam mengisi rubrik cerita pendek di berbagai majalah.
Sampai-sampai Wildam Yatim dalam catatanya di Cerpen Mutakhir Kita (1975) menyebut nama Mohammad Fudoli Zaini sebagai cerpenis produktif yang banyak mengulas kesepian dan kesendirian hidup.
“Ia banyak mengangkat tema kesepian di perantauan yang jauh dari hubungan wanita-pria atau tidak menyentuh masalah seksual dan kadang-kadang berfilsafat tentang hidup dan mati,” tulisnya.
Interpretasi Wildam Yatim itu terhadap karya-karya Fudoli Zaini bisa kita duga sebagai pengingat seluruh umat manusia.
Bahwa kehidupan ini hanyalah perjalanan sebentar yang mesti dilalui dengan sepi dan sendiri.
Cerita yang mengajak insyaf pembacanya agar merenungi hidup yang tidak abadi di dunia ini. Kelak manusia akan kembali pada Maha Pemilik Segalanya.
Pesan ini juga tidak terlalu jauh dengan keilmuan filsafat, seperti yang telah disebutkan Wildam Yatim tadi.
Karena di dalam disiplin ilmu filsafat, pasal tentang metafisika, kemudian kehidupan yang transenden, dan semacamnya juga diulas oleh berbagai tokoh kenamaan.
Selain memang Fudoli Zaini sendiri ketika studi lanjutan di jenjang magister dan doktoral di Universitas al-Azhar juga mengambil keilmuan filsafat dan sastra.
Cerita pendek Si Kakek dan Burung Dara (1964) misalnya. Cerita ini berkisah tentang ziarah ke kubur si kakek bersama cucunya di makam istri dan anaknya.
Hanya saja dalam perjalanan ziarah itu, si kakek bersama cucunya hendak mengadu burung dara.
Naas, burung dara itu hilang dibawa musang. Tentu saja si kakek marah. Namun ia mengurungkan marahnya karena sadar, bahwa hilangnya burung dara karena kelalian dari cucu kesayangannya sendiri.
Cerita tersebut barangkali terkesan sederhana bagi pembaca hari ini. Problem remeh yang bisa dirampungkan dengan sikap berpikir pragmatis, biarkan saja, beli lagi di pasar atau mencari musang lantas membunuhnya sebagai bentuk balas dendam.
Tetapi kita bisa membacanya sebagai peristiwa kehilangan dalam hajat hidup manusia itu lumrah.
Rasa sesal, marah, dan kecewa juga lumrah. Tapi tidak diumbar lantas memperumit masalah yang mulanya sederhana dan biasa saja menjadi berlebihan.
Bagi kakek, musang menjadi simbol barang kesayangan yang suatu saat pasti hilang, begitu juga cucu kesayangannya.
Di titik inilah, Fudoli Zaini sebagai sastrawan muslim memberi pesan pada pembacanya. Pesan yang relevan dan bersahaja sampai akhir zaman.
Pesan yang mungkin luput tidak tersentuh oleh pembaca karena dibalut dengan kesederhaan cerita. Wallahul’alam. []