Mengenal Trik Syekh Ibnu Taymiyah Ketika Membahas tentang Jisim

 Mengenal Trik Syekh Ibnu Taymiyah Ketika Membahas tentang Jisim

Metodologi Imam Fakhruddin Arrazi dalam Pembelajaran Ilmu Kalam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebenarnya saya sudah beberapa kali menulis tema ini, tetapi saya rasa perlu menulisnya kembali dengan bahasa yang berbeda agar para pembaca lebih mudah memahami bagaimana sebenarnya titik tengkar antara Syaikh Ibnu Taymiyah Sang Mujassim dan Ahlussunnah Wal Jamaah terutama tentang jisim.

Saya mengambil sampel dari satu kitab beliau yang berjudul Minhaj as-Sunnah, tapi ini hanya sekedar sampel sebab trik serupa beliau lakukan nyaris di semua kitabnya.

Pertama, perlu diketahui bahwa Syaikh Ibnu Taymiyah sebenarnya paham betul apa itu defisini jisim secara kebahasaan. Beliau mengatakan:
منهاج السنة النبوية (2/ 198)
فَإِنَّ الْجِسْمَ عِنْدَ أَهْلِ اللُّغَةِ هُوَ الْبَدَنُ، أَوِ الْبَدَنُ وَنَحْوُهُ مِمَّا هُوَ غَلِيظٌ كَثِيفٌ، هَكَذَا نَقَلَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ اللُّغَةِ.
Artinya:
“Jisim menurut ahli bahasa adalah badan atau fisik dan yang serupa itu yang besar dan tebal. Makna ini dinukil oleh banyak ahli bahasa.”
Andai saja beliau memakai definisi ahli bahasa di atas, tentu semua clear dan mudah. Tapi, agar tajsimnya semakin samar bagi pembaca awam, beliau tidak membahas apakah Allah adalah jisim menurut definisi bahasa itu, sama sekali tidak. Padahal persoalan aslinya adalah apakah Allah adalah jisim menurut definisi di atas?
Alih-alih membahas pokok masalah, beliau malah membahas panjang lebar perdebatan para mutakallim, baik itu mutakallim sesat mau pun mutakallim ahlussunnah, tentang barang-barang (makhluk) tententu apakah layak disebut jisim ataukah tidak.
Semisal apakah udara adalah jisim atau tidak dan semacamnya. Beliau juga membahas aspek teoretis tentang jisim makhluk apakah dapat dibagi-bagi menjadi unsur yang lebih kecil atau tidak dan seterusnya yang semuanya itu sejatinya adalah pembahasan tentang ilmu pengetahuan umum (sains) tentang isi semesta, bukan tentang Tuhan. Ingat, bahasan utamanya adalah tentang Tuhan apakah Ia Jisim atau bukan.
Setelah berpanjang-panjang membuat pembaca lelah dengan semua bahasan yang sama sekali tidak relevan dengan pokok masalah itu.
Beliau mulai memberi perincian-perincian tentang makna jisim yang seolah-olah ilmiah dan para Taymiyun betul-betul terkesima dengan bagian ini hingga menganggapnya alim dan objektif. Beliau mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut perlu diperinci maksudnya sebab ada yang maknanya benar dan ada yang salah. Makna yang benar diterima namun harus dengan makai istilah yang benar pula dan makna yang salah ditolak.
منهاج السنة النبوية (2/ 198)
فَإِنْ ذَكَرَ فِي النَّفْيِ أَوِ الْإِثْبَاتِ مَعْنًى صَحِيحًا قَبِلَهُ، وَعَبَّرَ عَنْهُ بِعِبَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ (4) ، لَا يُعَبِّرُ عَنْهَا بِعِبَارَةٍ مَكْرُوهَةٍ فِي الشَّرْعِ ; وَإِنْ ذَكَرَ مَعْنًى بَاطِلًا رَدَّهُ
Artinya:
“Apabila dia menyebutkan makna yang benar dalam penafian dan penetapan, maka diterima dan diungkapkan dengan ungkapan yang sesuai syariat, tidak boleh diungkapkan dengan ungkapan yang tidak disukai dalam syariat. Apabila dia menyebutkan makna yang batil, maka ditolak.”
Sepintas pedoman itu memang terlihat objektif sekali bukan?
Jadi, seolah beliau ingin berkata bahwa jangan memutlakkan istilah baru semisal kata “jisim” untuk Tuhan, tapi perinci dulu maksudnya apa.
Perkataan ini sebetulnya benar, tetapi sayangnya justru dipakai untuk maksud yang tidak benar, yakni untuk memalingkan pembaca dari pokok masalah. Di sinilah trik yang sesungguhnya dimainkan.
Di bagian akhir, beliau lalu membuat perincian-perincian makna yang sama sekali tidak relevan dengan pokok masalah dan terkesan konyol mengada-ada sebagai berikut:
1. Ketika ada orang yang mengatakan bahwa Allah jisim, maka ditanya padanya apakah maksudnya adalah awalnya Allah terpisah-pisah kemudian ada yang menyusun bagian-bagiannya atau kemudian bagian yang terpisah itu tersusun dengan sendirinya? Kalau itu yang dimaksud maka makna itu salah.
Qultu: Masalahnya siapa yang berpikir konyol seperti itu? Tidak ada satu pun muslim yang akan kepikiran seperti itu sehingga perlu masuk perincian
2. Kalau yang dimaksud jisim adalah yang wujud (sebagaimana definisi Mujassiman Hisyamiyah dan Mujassimah Karramiyah), yang mandiri, yang punya sifat, yang bisa dilihat di akhirat, dan makna lain yang benar sesuai syariat, maka maknanya benar tetapi penggunaan kalimatnya bid’ah.
Qultu: Jawaban ini benar dan sama seperti pernyataan Sulthalul Ulama Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Asy’ari.
Masalahnya, bukan ini titik tengkar yang dipermasalahkan para ulama atas para mujassim.
Mujassim dianggap sesat karena menganggap Allah punya badan dan punya ukuran tertentu, bukan karena meyakini Allah wujud, istawa, memiliki sifat dan bisa dilihat di akhirat.
Mujassimah Hisyamiyah dan Karramiyah pun sejatinya hanya ngeles ketika mendefinisikan jisim sebagai wujud agar kaum muslimin bisa menerima akidah sesat mereka.
Definisi semacam ini salah dari segi bahasa, syariat dan akal sehat. Tidak ada yang mendefinisikan jisim sebagai wujud kecuali para mujassim itu sendiri.
Mereka terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ‘aradl adalah wujud juga tapi bukan jisim menurut semua pihak, baik mutakallim atau bukan.
Lalu bagaimana bisa ada yang mengartikan jisim sebagai wujud?
3. Apakah yang dimaksud dengan jisim adalah ada oknum lain yang menyusun bagian-bagian dari diri Allah? atau apakah diri Allah tidak dapat dipisah-pisahkan (diamputasi) bagian satu dari bagian lainnya?
Qultu: Tidak ada satu pun muslim yang berpikir konyol semacam itu sehingga perlu dibahas dalam perincian yang mengada-ada.
Membenarkan perincian semacam Ini sama saja dengan membenarkan orang yang mengatakan bahwa Allah punya badan yang kebal bacok dan tidak dapat dipotong-potong.
Kembali ke pokok pembahasan, apakah Allah adalah jisim dalam definisi ahli bahasa? atau dengan kata lain apakah Allah punya badan yang ukurannya besar dan tebal?
Ini adalah poin utama yang sayangnya sama sekali tidak disebutkan dalam semua perincian Ibnu Taymiyah di kitab tersebut.
Padahal itu adalah pembahasan inti dan titik tengkar yang diperdebatkan. Kalau mau dijawab jujur, itulah akidah asli Syaikh Ibnu Taymiyah yang dia sembunyikan sekuat tenaga dalam alur bahasan yang rumit agar pembaca kebanyakan tidak sadar bahwa dia adalah mujassim (tetapi sayangnya masih dapat dideteksi dari sela-sela pernyatannya di tempat lain sebagaimana pernah saya ulas).
Itulah trik ketika beliau membahas jisim; Berpanjang-panjang kalam keluar dari pokok masalah lalu di bagian akhir sama sekali tidak membahas pokok masalah tapi malah sibuk dengan perincian yang mengada-ada.
Ini juga trik ngeles yang dipakai para Taymiyun di seluruh dunia ketika membahas apakah Allah jisim atau tidak menurut mereka. Paling mentok mereka akan berkata,
“Pertanyanmu bid’ah” tanpa mereka sadari bahwa keyakinan yang mereka sembunyikan dan perincian-perincian yang mereka jelaskan seolah ilmiah padahal mengada-ada itu juga bid’ah.
Di awal dengan tegas menyatakan bahwa makna yang benar diterima dan makna yang salah ditolak, tapi di akhir malah sama sekali tidak membahas apakah orang yang meyakini Allah punya badan besar adalah keyakinan yang benar atau salah?
Percuma menulis berlembar-lembar apabila isinya tidak nyambung dan hanya membuang-buang waktu tanpa menjawab inti permasalahan.
Adapun kitab-kitab ulama Ahlussunnah tidak memakai metode berbelit-belit dan fudhuli semacam itu.
Apabila membahas apakah Allah adalah jisim, maka ulama Ahlussunnah langsung membahas substansi maknanya yang sama seperti definisi kebahasaan di atas meskipun dengan ungkapan yang berbeda-beda lalu dengan tegas menyatakan Allah bukan jisim alias tidak punya badan, baik badan yang berukuran besar atau kecil.
To the point, objektif, lugas, jujur dan yang pasti sesuai tuntunan Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *