Mengenal Tasawuf Al-Junaidi dan Al-Ghazali
Mengenal tasawuf dari sosok Al-Junaidi dan Al-Ghazali. Keduanya merupakan ulama ‘alim dan memiliki banyak karya di bidang tasawuf.
Oleh: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj
HIDAYATUNA.COM – Tasawuf Al-Junaidi dan Al-Ghazali Al-Junaidi dan Al-Ghazali merupakan tipologi tasawuf yang ditetapkan dalam lingkungan Aswaja (terutama di kalangan Nahdhatul Ulama). Pemahaman ini sudah mengakar dalam benak warga Aswaja di seluruh tanah air, meskipun hal ini tidak tercantum di dalam AD/ART.
Permasalahannya, benarkah tasawuf kedua tokoh ini identik dengan tasawuf Sunni? Abul Qasim al-Junaid Ibn Muhammad Ibn al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) pernah mengeluarkan statemen sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa permulaan ibadah kepada Allah SWT adalah mengenal Dia (ma`rifâtullâh). Sedangkan pangkal mengenal Allah adalah bertauhid kepada-Nya. Sedangkan tatanan bertauhid adalah menafikan segala sifat dari diri-Nya. Dan dengan penafian itulah diperoleh dalil ke-esaan-Nya, dan sebab berdalil seperti itu adalah taufiq-Nya, lalu dengan taufiq Allah inilah terjadi tauhid kepada-Nya. Dari tauhid lahirlah tashdiq, dari tashdiq terjadilah tahqig dan dari tahqiq ini berproseslah ma’rifat. Dari ma’rifat muncullah istijabah kemudian ijabah. Dari sini terjadilah kotempalasi dan dari kontemplasi terjadilah itthishal. Dari itthishal timbullah bayan. Dari bayan timbullah kebingungan. Dari kebingungan hilanglah bayan dan dari hilangnya bayan terputuslah penyifatan terhadap-Nya dan dari keterputusan ini diperoleh hakikat wujud. Dari hakikat wujud diperoleh hakikat syuhud karena kehilangan wujud-Nya dan dari kehilangan tersebut jernihlah wujud-Nya dan dengan kejernihan tersebut terlepaslah dari sifat-sifat- Nya. Dari keterlepasan, hadirlah dengan segala totalitas-Nya. Dari sini jelaslah bahwa Allah itu ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada. Ia ada dimana ia tidak ada dan tidak ada dimana ia ada. Ia adalah Dia setelah la bukan Dia. Dengan demikian berarti la Maujud ada setelah maujud tidak ada.”
Dari teks di atas terlihat, bahwa menurut al- Junaid, tauhid tidak bisa dibuktikan secara aqliyyah, tidak bersifat teoritis. Tauhid lebih merupakan eksperimen untuk wushul ilallâhi taala bahkan menyatu dengan-Nya (al-Ittihad). Al-Junaid juga orang yang pertama kali mengklasifikasi tauhid dalam empat bagian, yaitu: Tauhid al-‘Awam, tauhid ahl haqaiq bi ilm al-zhâhir, tauhidul al Khas min ahl al-ma’rifah. Bagian yang ketiga ada dua macam, yaitu: a) Igrâr bil Wachdaniyyah bi-dzihâbi ru’vati hådzihi al-asy-yâ’ ma’a iqâmat al-amr fi al-zháhir wa al-bâthin bi izâlati mu`aradhat al-rahbah wa ol. raghbah mim man siwâh. (pengakuan terhadap keesaan Tuhan bersamaan dengan hilangnya perhatian terhadap segala hal disertai dengan penegakan perintah baik secara zahir maupun batin dengan menghilangkan pertentangan ra- sa suka dan tidak suka yang datang dari selain Allah). b) Syabahun qa’im baina yadaihi laisa bainahumâ tsâlits.” (persamaan yang konstan dihadapan Tuhan sehingga tidak ada orang ketiga (penghalang) antara dia dengan Tuhan). Dengan demikian, sebenarnya tasauf Junaidi lebih cenderung tashawwuf falsafi. Imam al-Ghazali juga membagi tauhid da- lam empat tingkatan:
- Isi (lubb). Mengucapkan kalimat “lâ ilâha illa-llâh“, sementara hatinya lupa atau ingkar kepada Allah. Tauhid dengan tingkatan ini merupakan jenis tauhid orang-orang yang munafiq (munâfiqîn)
- Isi dari isi (lubb al-lubb). Mentashdiq-kan ma’na lafzhiyyah kalimat tersebut dalam hati -sebagaimana berlaku di sebagian kaum muslimin. Tingkatan ini merupakan i’tiqâdul awwam.
- Qosyr (kulit). Kesaksian (musyahadah) akan hal tersebut secara intuitif (kaysf), dengan perantaraan Nur al-haq. Tingkatan ini merupa- kan maqam al-muqarrâbîn. Hal ini akan terim- plementasikan pada pemahaman bahwa “keanekaragaman itu bersumber dari satu titik.
- Qosyr al-qosyr (kulit dari kulit). Tidak melihat dalam wujud kecuali al-wâchid. Apabila ia tidak melihat dirinya sendiri, karena tenggelam dengan tauhidnya niscaya ia lenyap dari dirinya sendiri kedalam tauhidnya Dengan arti: bahwa ia telah lenyap dari pada melihat dirinya dan mahluk. Atau dalam bahasa tasawuf dikenal dengan alfana’ (transendental).
Kemudian, dalam kitabnya, Al-Misykat, Al- Ghazali menjelaskan:
“Wujud terbedakan dalam arti wujud lidzâtihi dan lighairihi. Kewujudan wujud lighairihi tergantung pada pihak lain bahkan jika dipandang dari zatnya sendiri pada hakikatnya ia ma’dum (tidak ada). Yang demikian itu bukan wujud hakiki. Dengan demikian al-maujûdal-haq hanyalah Allah SWT sebagai mana an-nur al-haq hanyalah Allah”.
Teks di atas dimaksudkan sebagai penjelasan tentang ‘haqiqah‘. Kemudian, Al-Ghazali menjelaskan pula dalam kitab tersebut pada sub judul ‘isyarah’, tentang haqiqatu al-haqa’ iq.
“Setelah orang-orang yang ma’rifat naik ke puncak hakikat, mereka sepakat bahawa tiada wujud yang tampak selain wujud al wâchid al haq. Tetapi sebagian dari mereka memiliki kondisi ini dalam bentuk ma’rifat ilmiah, ada yang dalam rasa. Dan hilanglah dari mereka semua keanekaragaman. Mereka larut dalam kesendirian yang murni dan dalam kesendirian tersebut akal mereka menjadi pasif, sehingga mereka layaknya orang yang terheran-heran dzatnya, tiada cukup kesempatan bagi mereka mengingat selain Allah, sekalipun terhadap diri mereka sendiri, Tak satupun di sisi mereka kecuali Allah. Mereka mabuk kepayang yang mengalahkan fungsi akalnya, sehingga terucaplah: “Anâ al-haq” (Aku adalah Yang Maha Benar); “Subhâni” (Maha Suci Aku); “Mâ-A’zhoma Sya’ní” (Alangkah besarnya aku). Kondisi seperti ini jika dialami seseorang maka disebut maqam fana, karena ia musnah dari dirinya, bahkan dinamakan juga fana ul fana karena ia fana dalam kefanaanya. Kondisi semacam ini jika di kaitkan pada orang yang mengalaminya– secara me-tafora disebut ittihâd dan secara definitif disebut “tauhid”.
Sinyalemen di atas, secara implisit dapat di-pahami bahwa tauhid yang ideal adalah tauhid Al-Hallaj dan Abu Yazid al-Busthami. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan jika pada akhirnya al-Ghazali dikategorikan sebagai ashhâb al-hulul/ittihad. Dia merupakan generasi penerus al-Junaid dalam mengembangkan tauhid teosofis. Tasawufnya pun lebih cenderung tasawuf falsafi.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Al-Junaidi dan Al-Ghazali adalah Tasawuf Sunni, penulis berpendapat bahwa beliau berdua bukanlah termasuk tipologi sufi sunni, beliau lebih merupakan sufi falsafi. Tentu pendapat ini térlepas dari konteks fiqh dan teologi beliau.
Sumber: Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah
Baca Juga: Thariqah Uwaisiyah dan Nasihat Ajaran Tasawuf Didalamnya